Opini
:
Wacana Perpu Revisi UU KPK : dari alasan Subyektif ke Obyektif
(Presiden Berhak Mengeluarkan Perpu Revisi UU
KPK)
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah satu solusi atas polimik
revisi UU KPK yang mencuat belakangan ini adalah pada instrumen Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu). Dikatakan begitu, dari azas manfaat serta dari
keberluakuan kaedah hukum secara sosiologis, psikologis dan filosofis, Perpu
merupakan pilihan yang paling tepat dan dapat mengantisipasi resiko besar yang
mungkin terjadi. Dikatakan demikian, karena Penolakan terhadap revisi UU KPK
yang baru disahkan relatif besar, baik dari sisi formil maupun material, dari
berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa. Pembuatan Perpu adalah hak yang berada di tangan
presiden, pejabat-pejabat di bawah Presiden tak punya hak atau wewenang untuk
mengeluarkan Perpu.
Dari gerakan demontrasi mahasiswa
yang memprotes revisi UU KPK yang mengemuka akhir-akhir ini, yang telah menelan
korban jiwa dari sisi mahasiswa perlu diapresiasi. Dikatakan demikian, karena
jika terjadi demontrasi mahasiswa semasif dan sebesar yang terjadi di bulan
September 2019 ini, maka biasanya karena ada unsur keadilan yang perlu diperjuangkan
mahasiswa, karena memang selama ini kegiatan para mahasiswa terfokus di kampus.
Mengingat Perpu merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk
mengatasi polemik UU KPK, perlu didepankan dasar hukum Perpu. Bila disimak,
landasan hukum yang ada, maka perlu dikedepankan dasar hukum Perpu pada uraian
berikut.
Pertama, pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Disana dikatakan
:”dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang”. Pada bagian penjelasan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dijelaskan : ”pasal ini mengenai noodverordeningrecht Presiden. Aturan
sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin
oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk
bertindak lekas dan tepat….”.
Kedua,
Pasal 1 angka 3 Perpres No.87/2014.
Ketentuan ini menyatakan :”Perpu adalah
Peraturam Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam ikwal kepentingan yang memaksa”.
Ketiga,
pasal 1 angka 4 UU No.12/2011. Pada pasal ini dikatakan :” Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Keempat,
Putusan Mahkamah Konsitusi No.138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010. Pada
putusan MK ini, khususnnya pada angka 3.10 bagian pertimbangan disebutkan bahwa
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila : 1) adanya
keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada
sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama
sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Kelima,
Putusan MK No.003/PUU-III/2005 tertanggal 7 Juli 20015. Pada bagian menimbang
angka 3.8 putusan MK ini disampaikan :”
Menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan : 1) Pemberian kewenangan
kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang; 2) Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam
keadaan kegentingan yang memaksa; 3) Peraturan pemerintah pengganti
undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan
berikutnya; bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1)
tidak sama dengan “keadaan bahaya”
seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi
obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang; bahwa “hal
ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945
memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika
disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Dari hal-hal yang disebutkan di
atas, tentang wewenang Presiden menetapkan atau mengeluarkan Perpu, seperti Perpu tentang masalah revisi
UU KPK dengan batasan frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa”
dapat dikatakan lebih tepatnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian
akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai
Undang-undang. Dan menurut pasal 22 ayat 3 UUD 1945 manakala Perpu tidak disetujui
oleh DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Perihal mekanisme pengajuan Perpu oleh Presiden sampai ke pembahasan di DPR diatur pada pasal
52 UU No.12/2011, yaitu 1). Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang
berikut; 2). Pengajuan Perpu sebagaimana
dimaksud dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang
penetapan Perpu menjadi Undang-Undang;
3). DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap Perpu; 4). Dalam hal Perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat
paripurna, Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang; 5). Dalam hal Perpu tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku; 6). Dalam hal
Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang tentang Pencabutan Perpu; 7).
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum
dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 8). Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama.
Berangkat dari uraian di atas, keputusan
Presiden untuk untuk mengeluarkan Perpu yang terkait untuk mengatasi masalah
revisi UU KPK adalah hak subyektif Presiden dan menjadi obyektif setelah
mendapat persetujuan dari DPR, adalah memiliki landasan hukum yang kuat dan
sah. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko yang paling buruk. Ada
baiknya, kalau memungkinkan, presiden dalam waktu dekat dapat mengeluarkan
Perpu Revisi UU KPK. Semoga.
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat dan
Pengamat Masalah Hukum).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar