Senin, 30 September 2019

Wacana Perpu Revisi UU KPK : dari alasan Subyektif ke Obyektif


Opini  :


Wacana Perpu Revisi UU KPK :  dari alasan Subyektif ke Obyektif

(Presiden Berhak Mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK)

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Salah satu solusi atas polimik revisi UU KPK yang mencuat belakangan ini adalah pada instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Dikatakan begitu, dari azas manfaat serta dari keberluakuan kaedah hukum secara sosiologis, psikologis dan filosofis, Perpu merupakan pilihan yang paling tepat dan dapat mengantisipasi resiko besar yang mungkin terjadi. Dikatakan demikian, karena Penolakan terhadap revisi UU KPK yang baru disahkan relatif besar, baik dari sisi formil maupun material, dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa.  Pembuatan Perpu adalah hak yang berada di tangan presiden, pejabat-pejabat di bawah Presiden tak punya hak atau wewenang untuk mengeluarkan Perpu.
            Dari gerakan demontrasi mahasiswa yang memprotes revisi UU KPK yang mengemuka akhir-akhir ini, yang telah menelan korban jiwa dari sisi mahasiswa perlu diapresiasi. Dikatakan demikian, karena jika terjadi demontrasi mahasiswa semasif dan sebesar yang terjadi di bulan September 2019 ini, maka biasanya karena ada unsur keadilan yang  perlu  diperjuangkan mahasiswa, karena memang selama ini kegiatan para mahasiswa terfokus di kampus.
            Mengingat Perpu  merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk mengatasi polemik UU KPK, perlu didepankan dasar hukum Perpu. Bila disimak, landasan hukum yang ada, maka perlu dikedepankan dasar hukum Perpu pada uraian berikut.
Pertama, pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Disana dikatakan :”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Pada bagian penjelasan pasal 22 ayat 1  UUD 1945 dijelaskan : ”pasal ini mengenai noodverordeningrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat….”.
            Kedua,  Pasal 1 angka 3 Perpres No.87/2014. Ketentuan ini menyatakan :”Perpu adalah Peraturam Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam  ikwal kepentingan yang memaksa”.
            Ketiga, pasal 1 angka 4 UU No.12/2011. Pada pasal ini dikatakan :” Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
            Keempat, Putusan Mahkamah Konsitusi No.138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010. Pada putusan MK ini, khususnnya pada angka 3.10 bagian pertimbangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila : 1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
            Kelima, Putusan MK No.003/PUU-III/2005 tertanggal 7 Juli 20015. Pada bagian menimbang angka 3.8 putusan MK ini  disampaikan :” Menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan : 1) Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; 2) Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa; 3) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
            Dari hal-hal yang disebutkan di atas, tentang wewenang Presiden menetapkan atau mengeluarkan  Perpu, seperti Perpu tentang masalah revisi UU KPK  dengan batasan frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dapat dikatakan lebih tepatnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-undang. Dan menurut pasal 22 ayat 3 UUD 1945 manakala Perpu tidak disetujui oleh DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Perihal mekanisme  pengajuan Perpu oleh Presiden  sampai ke pembahasan di DPR diatur pada pasal 52 UU No.12/2011, yaitu  1). Perpu  harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;  2). Pengajuan Perpu sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang;  3). DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu; 4). Dalam hal Perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;  5). Dalam hal Perpu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;  6). Dalam hal Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang tentang Pencabutan Perpu; 7). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;  8). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama.
Berangkat dari uraian di atas, keputusan Presiden untuk untuk mengeluarkan Perpu yang terkait untuk mengatasi masalah revisi UU KPK adalah hak subyektif Presiden dan menjadi obyektif setelah mendapat persetujuan dari DPR, adalah memiliki landasan hukum yang kuat dan sah. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko yang paling buruk. Ada baiknya, kalau memungkinkan, presiden dalam waktu dekat dapat mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK. Semoga.
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat dan Pengamat Masalah Hukum).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar