Minggu, 20 September 2020

Catatan Hukum : Konsekuensi Tergugat Meninggal Dunia sebelum Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata

 

Cacatan Hukum :

Konsekuensi  Tergugat Meninggal Dunia  sebelum
Tahap Kesimpulan pada Perkara Perdata

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Pada Hukum Acara Perdata sudah dikedepankan  serangkaian tahapan hingga sampai pada tahap putusan, mulai dari pengajuan gugatan, pemanggilan para pihak, pelaksanaan mediasi, pembacaan gugatan, jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian, Kesimpulan.  Salah satu kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa hukum pada tahapan gugatan adalah kemungkinan meninggalnya Tergugat sebelum tahap Kesimpulan. Sengaja dikedepankan sebelum tahapan kesimpulan pada tulisan ini, karena tahap itu sudah  termasuk bagian akhir dari sebuah perkara perdata, karena sesudahnya akan memasuki tahap putusan perkara.

          Sebelum sampai tahap kesimpulan pada perkara perdata biasanya sudah melampaui waktu sekitar 5 sampai dengan 8 bulan, dan lazimnya sumber dana yang digunakan Penggugat, selaku pihak yang dirugikan atau yang merasa haknya dilanggar, pada sebuah perkara perdata, baik pada pokok perkara ingkar janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)  dan juga pihak Tergugat, baik untuk membayar jasa hukum Advokat, maupun menghadirkan saksi-saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli,  sudah relatif besar.

          Untuk menjawab konsekuensi jika Tergugat meninggal dunia sebelum masuk ke tahap kesimpulan, tentu pihak-pihak terkait dengan perkara harus memahami dan menerapkan seluruh kaidah hukum yang berlaku pada domain Hukum Acara Perdata, seperti HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.

          Misalnya saja, pada yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.322/K/SIP/1971 menyebutkan :”Dalam hal sebelum  perkara diputuskan, Tergugatnya meninggal dunia, haruslah ditentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang  menjadi ahli warisnya dan terhadap siapa selanjutnya gugatan itu diteruskan, karena bila tidak, putusannya tidak dapat dilaksanakan”.

          Dalam bukunya M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata (2005, 131-132) menyebutkan :”Meninggalnya salah satu pihak, tidak mengakhiri maupun menggugurkan gugatan. Pemeriksaan berjalan terus, sampai sengketa dapat dituntaskan penyelesaiannya. Tergugat meninggal dunia, digantikan oleh Ahli warisnya. Apabila pihak Tergugat meninggal selama proses persidangan berlangsung seperti  pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri….maka kedudukan Tergugat digantikan oleh ahli warisnya. Peralihan penggantian itu berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan sendirinya menurut hukum. Berarti penggantian kedudukan tersebut, tidak memerlukan persetujuan dari Penggugat, sebab tampilnya ahli waris menggantikan pewaris sebagai Tergugat bukan merupakan hak, tetapi kewajiban hukum bagi ahli waris yang bersangkutan. Dengan demikian Penggugat tidak perlu memperbaiki atau memperbaharui (renewal) gugatan”.

          Salah satu contoh  Yurisprudensi, yang diperiksa dan diputuskan sebelum tahap Kesimpulan dalam perkara perdata  adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 904/Pdt.G/2007. Kedudukan Tergugat I yang meninggal dunia dalam gugatan tersebut digantikan oleh para ahli warisnya, setelah lebih dulu dilakukan panggilan kepada ahli waris dari Tergugat I.

          Urgensi penggantian Tergugat (asal) yang meninggal oleh ahli warisnya, karena lazimnya ganti rugi atau obyek sengketa pada gugatan adalah menjadi bagian dari atau boedel warisan atau obyek warisan. Dalam pada itu, baik dalam pokok gugatan wanprestasi, seperti yang diatur pada pasal 1243 KUHPer yang menyebutkan :”Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”, maupun  pokok gugatan perbuatan melawan hukum, seperti yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyebutkan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”, Tergugat biasanya dituntut Penggugat (asal) dalam Petitum gugatan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Penggugat, selaku pihak yang merasa haknya dilanggar.

          Untuk penggantian Tergugat yang meninggal dunia oleh ahli warisnya, didasarkan pada ketentuan hukum waris, yang menyatakan seluruh harta maupun kewajiban si Pewaris beralih kepada ahli waris (pasal 833 KUHPer jo 1318 KUHPer). Pada pasal 833 KUHPer disebutkan :”Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal” dan pada pasal 1318 KUHPer disebutkan :”Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dan sifat persetujuan itu bahwa bukan itu maksudnya”.

          Dalam pada itu, dengan meninggalnya Tergugat dalam perkara perdata, yang biasanya memberikan surat kuasa kepada Advokatnya, maka Surat kuasa  tersebut berakhir (Vide : pasal 1813 KUHPer). Pada pasal 1813 KUHPer disebutkan :” Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa”. Dengan demikian, kalau persidangan diteruskan pada tahap selanjutnya hingga putusan, tanpa mengganti posisi Tergugat yang meninggal dunia dengan ahli warisnya, maka putusan tidak dapat dijalankan atau gugatan menjadi kurang pihak, sehingga putusanya dapat menjadi NO (Niet Ontvankelijk Verklaard) atau gugatan tidak diterima.

          Pada kondisi meninggalnya Tergugat sebelum tahap kesimpulan, maka setelah Majelis Hakim membuka persidangan dan mendapatkan pemberitahuan tentang meninggalnya salah satu Tergugat dari Penggugat atau dari Tergugat lain atau sumber lainnya, maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut memberikan waktu kepada Penggugat untuk menyampaikan nama ahli waris Tergugat itu kalau sudah ada untuk dipanggil pada persidangan berikutnya,  menggantikan posisi Tergugat yang meninggal dunia. Tata cara pemanggilan tersebut didasarkan pada Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg  jo Pada Pasal 7 RV.  Pada pasal Pasal 390 (2) HIR/ 718 (2) R.Bg  disebutkan :”Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat juru sita itu disampaikan pada ahli warisnya, jika ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa ditempat tinggal terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang asing maka surat juru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada balai harta peninggalan”.

          Pada pasal 7 RV (Reglement of de Rechtsvordering) dinyatakan  :”Terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia, pemberitahuan gugatan atau pemberitahuan lainnya dilakukan terhadap semua ahli waris dan sekaligus, tanpa menyebut nama  dan tempat tinggalnya, ditempat tinggal terakhir almarhum dan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan setelah meninggalnya”.

          Adalah keliru bila Majelis Hakim yang memeriksa sebuah perkara perdata yang Tergugatnya ada yang meninggal dunia sebelum tahap Kesimpulan, setelah Penggugat misalnya menyampaikan usul kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut supaya dilakukan panggilan kepada ahli waris Tergugat yang meninggal dunia, selanjutnya Majelis Hakim menghimbau supaya Penggugat mencabut gugatan atau menyampaikan Kesimpulan tanpa melakukan penggantian posisi Tergugat dengan ahli warisnya, bukan ?

          Untuk mencegah sikap seperti itu,  maka Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut ada baiknya benar-benar menjalankan 2 azas hukum yang terkait, yaitu Pertama, azas ius curia novit, yaitu azas yang menyatakan hakim tahu akan Hukum, seperti seluruh ketentuan hukum yang terkait dengan Hukum Acara Perdata, seperti   HIR/RIB, RBg, Rv, Undang-undang (UU) tentang Mahkamah Agung, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), UU Perkawinan, UU Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Yurisprudensi, doktrin.

          Kedua, azas peradilan yang sederhana, cepat dam biaya ringan, sebagaimana yang diatur dalam pasal  2 angka 4 UU No.48/2009, yang berarti penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.     

 (*Adalah seorang Advokat dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Selasa, 08 September 2020

Opini : Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan

 Opini :

Penggunaan Cap Jempol pada Dokumen di Bawah Tangan

(Transaksi Pengalihan Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan)


Oleh : Kardi Pakpahan, SH*

          Penggunaan Cap Jempol dalam berbagai pembuatan dokumen di bawah tangan masih sering dilakukan. Dokumen yang dimaksudkan misalnya pada  Surat Perjanjian, Surat Pernyataan, Surat Persetujuan, dan lain-lain. Sebagai contoh, penulis pernah temukan sebuah dokumen perjanjian pengalihan tanah yang belum terdaftar (masih status girik), dari pihak yang mengalihkan menggunakan cap jempol tanpa dilegaslisasi Notaris, yang kemudian  digunakan untuk pendaftaran tanah sampai dikeluarkan status Sertifikat Hak Milik (SHM) pada sebuah kantor pertanahan.

          Dari sisi hukum supaya cap jempol sah, memerlukan syarat tertentu sebagaimana diatur pada pasal 1874 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KHUPer) jo pasal 286 ayat 2 RBg. Pada pasal 1874 ayat 2 KUHPer disebutkan :” Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuhan cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa di akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut”. Sedangkan pada pasal 286 ayat 2 RBg atau Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura dinyatakan :”Cap jari atau cap jempol yang dibubuhkan di bawah surat di bawah tangan disamakan dengan tanda tangan asal disahkan dengan suatu surat keterangan yang bertanggal oleh notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan menerangkan bahwa ia mengenal pemberi cap jari atau cap jempol yang diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap jari dan bahwa cap jari tersebut dibubuhkan di hadapannya”. Dengan demikian, supaya dokumen di bawah tangan - yang bukti persetujuannya melalui cap jempol disamakan dengan tanda tangan manakala pembubuhan cap cempol dilaksanakan di hadapan notaris atau pejabat lain yang diatur oleh Undang-undang  dan tanggal pembubuhan cap jempol pada dokumen tersebut di hadapan notaris, dihitung tanggal mulai berlakunya dokumen di bawah tangan tersebut. Proses pengesahan tanda tangan atau cap jempol di hadapan notaris, saat ini dikenal dengan istilah Legalisasi.

          Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini, merupakan pengertian legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan oleh Notaris. Ringkasnya, inti dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris, kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak sebagaimana diatur pada pasal 15 ayat 2 hurtuf a UU  No.30/2004 yang diubah dengan UU No.2/2014 tentang UU Jabatan Notaris.

          Legalisasi tentu berbeda dengan warmerking atau legalisir. Warmerking dilakukan Para Pihak manakala  atas perjanjian di bawah tangan yang sudah ditandatangani beberapa hari atau waktu sebelumnya, dibawa ke Notaris untuk  didaftarkan  dalam Buku Pendaftaran Surat di Bawah Tangan (Vide : pasal 15 ayat 2 huruf b UU Jabatan Notaris).

          Legalisir adalah kewenangan Notaris pada proses pencocokan dokumen fotocopy dengan dokumen asli di bawah tangan. Notaris akan memberikan cap atau stempel dan paraf di setiap halaman fotocopy dan pada halaman paling belakang, Notaris akan memberikan tanda tangan serta keterangan bahwa dokumen fotocopy tersebut sama dengan dokumen asli yang diperlihatkan di hadapan Notaris (Vide : Pasal 15 ayat 2 huruf c UU Jabatan Notaris).

        Dengan demikian, bagaimana sisi  hukum  bagi pihak ketiga yang dirugikan pada pengalihan tanah, yang disinylair merupakan budel waris Pihak Ketiga dan belum terdaftar, yang dilakukan dengan cap jempol yang dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, kepada pihak yang menerima pengalihan, dan digunakan sebagai dokumen permohonan pendaftaran tanah pertama di kantor pertanahan sampai terbit sertifikat Hak Milik  ? Sisi Hukum utamanya dapat dilihat dari 3 hal.

        Pertama, tentang keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian. Supaya sebuah Perjanjian, seperti Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar, supaya sah dan mengikat (Vide : pasal 1320 KUHPer jo 1338 KUHPer) harus memenuhi 4 syarat, yaitu 2 syarat subyektif yaitu a) adanya kata sepakat; b) pihak yang melakukan perjanjian sudah Dewasa dan 2 syarat obyektif, yaitu   a) hal tertentu; b) sesuatu yang halal atau yang diperjanjikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika syarat subyektif Perjanjian tidak dipenuhi, misalnya pihak yang mengalihkan  lagi sakit keras dipaksa membubuhkan cap jempolnya pada perjanjian pengalihan tanah maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan bila syarat obyektif tidak dipenuhi, misalnya terhadap perjanjian di bawah tangan pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan cap jempol dari pihak yang mengalihkan  tidak dilegalisasi Notaris, maka Perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum, yang karenanya sertifikat hak milik, yang diperoleh dari perjanjian pengalihan tersebut dapat dikatakan tidak sah atau tidak mengikat serta dapat dimintankan pembatalannya.

Kedua, perbuatan melawan hukum. Rangkaian peristiwa membuat Perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan menggunakan cap jempol dari pihak yang mengalihkan dan tidak dilegalisasi Notaris, yang sesungguhnya masih obyek sengketa waris dan menggunakannya sebagai dasar permohonan hak pada pendaftaran tanah pertama sekali dan merugikan pihak ketiga, dapat dinyatakan adalah sebuah perbuatan melawan hukum atau onrechmatige daad, sebagaimana yang diatur pada pasal 1365 KUHPer, yang menyatakan :”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut“. Ada 4 unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu : a) ada perbuatan melawan hukum; b) ada kesalahan; c) ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan; d) ada kerugian.

Dalam konteks perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah yang belum terdaftar dengan penggunaan cap jempol oleh pihak yang mengalihkan tanpa dilegalisasi Notaris, dan digunakan untuk mendaftarkan tanah di kantor pertanahan sehingga terbit sertifikat Hak Milik dan merugikan pihak ketiga dapat dikatakan adalah termasuk dalam perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer, sehingga pihak-pihak yang terkait atau melakukan perbuatan melawan hukum tersebut haruslah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Ketiga, jaminan ganti rugi dari sebuah perbuatan melawan hukum. Landasan perikatan untuk melakukan ganti rugi dari pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum kepada pihak yang dirugikan  tentu didasarkan sumber perikatan seperti yang diatur pada pasal 1233 KUHPer, yaitu 1) karena perjanjian (Vide : pasal 1313 KUHPer) dan karena Undang-undang (Vide : pasal 1352 KUHPer).  Dalam hal ini sumber perikatan untuk melakukan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum oleh pihak atau para pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPer, adalah perikatan karena undang-undang akibat perbuatan orang. Dengan demikian, jaminan yang bisa didapatkan oleh pihak yang dirugikan dalam sebuah perbuatan melawan hukum, disamping pengembalian obyek yang dipersengkatakan atau berupa pembayaran,  adalah seluruh aset (baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) dari pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1131 KUHPer, yang dapat diperoleh dengan menempuh upaya gugatan perbuatan melawan hukum dengan memohonkan penetapan atau putusan sita jaminan atas pihak atau para pihak melakukan   perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Tentu disamping tiga sisi hukum utama di atas, pihak yang dirugikan dari sebuah peristiwa hukum pada pelaksanaan perjanjian di bawah tangan atas pengalihan tanah ( yang belum terdaftar) dengan menggunakan cap jempol tanpa dilegalisasi Notaris, seperti yang disampaikan pada uraian sebelumnya, maka sisi hukum yang masih dapat digunakan adalah pada sisi pidana, manakala pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum, diduga juga menggunakan keterangan atau dokumen palsu (Vide : pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), atau sisi hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal ada cacat yuridis pada penerbitan sertifikat terkait.

(*Penulis adalah seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)