Minggu, 18 Agustus 2019

Usaha Finansial, Prosperity dan Poverty

Catatan Finansial :
Usaha Finansial,  Prosperity dan Poverty
Oleh : Kardi Pakpahan*
            Usaha Finansial atau Penyelenggara Jasa Keuangan, baik perbankan (seperti, Bank Umum, Bank Pekreditan Rakyat/BPR) maupun non perbankan ( seperti Fintech P2P Lending, Multifinance, Perusahaan Asuransi, Pegadaian), jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan kesejahteraan (prosperity) bagi nasabah/cutomer atau pengguna jasa, tetapi bila tidak dikelola dengan baik dapat pula mengakibatkan kemiskinan atau kemelaratan (Poverty). Tak dapat disangkal beberapa usaha finansial yang illegal, seperti institusi investasi, fintech illegal, telah banyak yang membuat customer menderita kerugian, dan beberapa diantaranya jadi miskin atau bertambah miskin.
            Supaya usaha finansial dapat mengetahui customernya semakin sejahtera atau bertambah miskin perlu dilakukan penelitian secara kontiniu dan konsisten. Misalnya, dalam publikasi Amartha sebagai salah satu perusahaan fintech P2P lending mengungkapkan bahwa sepanjang 2018,  data penurunan angka kemiskinan para mitranya atau customernya. Berdasarkan data Sustainable Accountability Report 2018, pendapatan perempuan desa mitra Amartha naik dari Rp 4,2 juta menjadi Rp 6,7 juta per bulan. Dari contoh yang mengemuka ini, maka dapat dikatakan bahwa Amartha dapat membawa customer-nya ke zona prosperity, bukan ke zona poverty.
            Prinsip mengelola customer secara seimbang perlu dilakukan supaya dapat membawa customer ke zona prosperity. Misalnya, Jangan sampai terlalu fokus ke sisi customer acquisition (mendapatkan customer baru) dan mempertahankan customer lama (customer retention), tetapi melupakan program Customer Satisfaction dan Customer Value.
            Customer Value didapatkan setelah dikalkulasi total manfaat yang diterima Customer, baik tangible maupun intangible dikurangi dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Semakin besar selisihnya maka kepuasaan customer atau customer satisfaction semakin tinggi dan index kesejahteraan atau prosperity customer pun dapat semakin tinggi karenanya.
            Untuk membawa customer memasuki zona prosperity, disamping Usaha Finansial, bisa menjalankan keseimbangan dalam mengelola Customer, juga perlu melakukan pembenahan internal, seperti, pengelolaan sumber daya manusia yang baik, penyempurnaan aplikasi transaksi, penerapan tata kelola, pengelolaan dan pengendalian seluruh resiko secara kontiniu dan konsisten.  
 (*Alumnus FH-UI, Advokat & Trainer, IG : kardi_pakpahan, WA : 0813-2895-0019)

Sabtu, 17 Agustus 2019

Merdeka Seutuhnya di Bidang Hukum

Catatan Hukum : 
Merdeka Seutuhnya di Bidang Hukum
Oleh : Kardi Pakpahan*

Kaedah hukum merupakan bagian penting bagi sebuah Negara merdeka, seperti Indonesia. Dikatakan demikian, karena untuk hidup yang seimbang, selaras dan seyogianya, tidak cukup hanya mengandalkan kaedah sopan santun, kaedah kesusilaan aau kaedah kepercayaan.
Dalam pada itu, negara yang maju tidak hanya cukup mengandalkan substansi hukum, tetapi isi kaedah hukum itu musti progresif. Krisis di suatu negara dapat terjadi manakala pranata hukum tidak memadai.
Bagaimana dengan kondisi hukum Indonesia, setelah 74 tahun merdeka pada 17 Agustus 2019 ? Tampaknya masih perlu diupayakan kemerdekaan seutuhnya di bidang hukum. Dikatakan demikian, masih ada beberapa hukum, yang termasuk banyak diterapkan hingga saat ini, yang belum merupakan karya anak bangsa, tetapi karya dari negara yang pernah menjajah Indonesia, yaitu negara Belanda. Sebagai contoh, walapun seseorang pencari keadilan di bidang keperdataan misalnya, tinggal di Jakarta Pusat, namun masih relatif lama manakala ingin mendapatkan putusan Kasasi dari Mahkamah Agung, karena kondisi hukum acara perdata. Padahal saat ini, sudah era revolusi Industri 4.0.
Diantara peraturan yang berlaku saat ini, yang berasal dari hukum yang berlaku pada era Hindia Belanda, seperti 1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgerlijk Wetboek; 2) Hukum Acara Perdata (HIR=Hettherziene Inonesisch Reglement atau RIB = Reglemen Indonesia Baru); 3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht); 4) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek Van Koophandel voor Indonesie. Hukum yang berasal dari Kolonial Belanda ini diberlakukan hingga saat ini melalui ketentuan pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan :”Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Untuk mendukung kemerdekaan di bidang hukum seutuhnya, Pemerintahan Presiden Jokowi dan juga DPR untuk periode 2019 sd 2024, dapat mengganti seluruh hukum peninggalan kolonial menjadi hukum nasional. Penggantian seutuhnya hukum yang berasal dari hukum kolonial ke hukum nasional dilakukan pula untuk mendukung realisasi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Semoga.
(*Alumnus FHUI, Advokat & Trainer)