Budaya :
Resiko
Hukum Mengubah Kumpulan Marga dengan Dugaan
Menggunakan
Keterangan Palsu
Silsilah pada kumpulan marga
atau toga merupakan unsur
identitas masyarakat hukum adat. Masyarakat
hukum adat adalah Masyarakat Hukum Adat seperti Desa di Jawa, Marga di Sumatera
Selatan, Nagari di Minangkabau, Huta di
Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri
sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear, matrilinear, atau
bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas
pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air,
ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan.
Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri,
Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai
peranan yang besar (Prof Dr Soerjono Soekanto, SH, 2012 :43).
Silsilah
atau tarombo pada Batak Toba terbentuk dan dikembangkan dari suatu masyarakat
hukum adat, yang bermula dari huta (perkampungan induk), yang kemudian huta
dikembangkan dengan sebutan lain, seperti Lumban, Sosor, Banjar, Lobu, dan
lain-lain. Pada umumnya yang bermukim
pada suatu masyarakat hukum adat adalah memiliki pertalian darah (genealogis)
secara patrilinear atau berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian,
suatu marga atau kumpulan marga memiliki asal perkampungan atau huta, yang
disebut juga tempat pamoparan. Kalau
sebuah marga saat ini tidak memiliki perkampungan asal, perlu diverifikasi
apakah marga atau kelompok marga tersebut pendatang ke sebuah kumpulan marga
atau apakah marga terkait pernah mendapatkan sanksi hukum adat, seperti
diasingkan atau dipabali dari sebuah
masyarakat hukum adat dikarena tingkah laku yang tidak sesuai dengan
norma-norma hukum adat atau diduga marga yang tidak mempunyai huta merupakan pendatang atau diain atau dirajahon pada suatu
masyarakat hukum adat. .
Sampai
saat ini masyarakat hukum adat dari segi regulasi diatur baik dalam lingkup
internasional, nasional maupun lokal. Dalam pengaturan transnasional,
keberadaan masyarakat hukum adat di atur pada 169
Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989.
Dalam lingkup nasional di sini, pengaturan tentang masyarakat hukum adat bisa
dibaca dari ketentuan pasal 18 B UUD 1945. Disitu disebutkan :”Negara mengakui dan menghormati
kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Pengaturan
yang lain, bisa dibaca pada ketentuan pasal 28 I UUD 1945. Disana dikatakan :”Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Unsur identitas, dalam
masyarakat hukum adat, seperti silsilah/tarombo
diteruskan atau diwariskan dari satu generasi ke generasi. Merubah silsilah
pada generasi Pertama dari suatu kumpulan marga atau toga yang telah berusia
sekitar 450 tahun yang lalu dengan asumsi 1 generasi 25 tahun misalnya,
tentu harus lah didukung dengan
bukti-bukti yang kuat, terutama yang memiliki titik persesuaian satu
sama lain, bukan dibangun atau disusun di atas pondasi yang rapuh.
Kalau ada kumpulan marga atau
toga, yang berusia sekitar 450 tahun, kalau pun disusun kembali atau dilakukan
reformulasi mulai dari generasi I, sudah sebaiknya disusun dengan beberapa
prinsip utama. Sebagian dari prinsip itu, dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama,
berangkat dari masyarakat hukum adat. Wujud dari masyarakat hukum adat pada
Batak Toba, berangkat dari huta atau
perkampungan induk dari sebuah marga atau kumpulan marga sebagai episentrum.
Sebuah marga yang asli atau memiliki hubungan darah dengan generasi I sebuah
marga atau silsilah, harus bisa mempertahankan dan meneruskan huta atau masyarakat hukum adatnya.
Kalau ada suatu marga tidak memiliki huta
atau tempat pamoparan, maka biasanya ada petunjuk yang perlu diverifikasi,
misalnya apakah marga tersebut merupakan pendatang pada sistem sosial
masyarakat hukum adat, atau pernah diusir atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat.
Pada komunitas masyarakat
hukum adat Raja Sonang di Kecamatan Onan
Runggu Samosir, diduga ada 4 pendatang dan perlu diverifikasi lebih mendalam,
yaitu 1) diduga Hutabalian pada Toga Gultom; 2) diduga Sirahut Hole pada Toga
Samosir; 3) diduga Silakkitang Jauh atau sebutan lain pada Toga Pakpahan; 3) diduga
Sihapit Saong pada Toga Sitinjak. Pada Dokumen 18 September 1936, didepankan
tentang acara adat Raja Bius Toga Gultom, di Onan Runggu, Samosir tentang acara
penegasan Hutabalian sebagai marga yang “dirajakan” atau diain pada Toga Gultom (2016
: 9), sehingga Toga atau kumpulan
marga Gultom yang keturunannya di awal ada
3 marga menjadi 4, yaitu : a)
Gultom Huta Toruan atau Tujuan Laut; b) Gultom Huta Pea; c) Gultom Huta Bagot;
d) Gultom Hutabalian.
Dalam pada itu, penggunaan
atau penguasaan bagian dari tanah ulayat (golat)
atau tanah parripean, dari suatu
marga, diduga anak yang diain atau
diangkat pada suatu kumpulan marga adalah dalam status Saudara Pemukim bersama
(dongan parripe pangisi ni golat), tidak
mempunyai hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Kedua,
menjalankan prinsip dalihan na tolu
(tunggu nan tiga). Reformulasi susunan Toga atau kumpulan marga, sebaiknya
tidak hanya terjadi melului informasi atau bukti dari dongan tubu (saudara), tetapi juga dari sisi Hula-hula maupun Boru
dari generasi awal sampai generasi terkini.
Ketiga,
susunan dari kumpulan marga yang diubah, dari generasi I sampai dengan generasi
terakhir, sudah bisa diverifikasi dan disusun, dengan bukti pendukung. Pada
setiap generasi, generasi awal atau pertama,
hula-hula sudah jelas. Sebaiknya, `dihindari mengubah atau reformulasi
struktur kumpulan kalau masih belum terstruktur secara lengkap, karena diduga
terbuka mengemuka masalah hukum, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.
Keempat,
didominasi fakta, bukan hanya opini atau imajinasi atau perkiraan. Mengubah struktur kumpulan marga, baik yang
terikat karena hubungan pertalian darah atau adanya keturunan yang diain atau diangkat, sebaiknya didukung
dengan fakta, bukan hanya berlandaskan opini atau imajinasi/khayalan.
Kelima,
fakta yuridis. Dalam konteks yuridis, pada prinsipnya yang dapat menggunakan
marga, sebagai identitas pada masyarakat hukum adat, adalah memiliki hubungan
darah dengan Pewaris (Vide : pasal
832 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPer atau Burgerlijk Wetboek/BW.
Sebagaimana diketahui BW atau
KUHPer di negeri Belanda disusun pada 5 Juli 1830 dan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 1838. Sedangkan
di Indonesia KUHPer atau BW mulai diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad Nomor : 23, dan mulai berlaku
di Indonesia (Hindia Belanda) dengan
menggunakan asas konkordansi pada 1
Januari 1848.
Keenam,
menggunakan beberapa bukti, baik bukti surat, saksi, petunjuk, maupun
pengakuan, persangkaan, sumpah yang memiliki titik saling bersesuain satu sama lain. Alat bukti
surat, dengan masuknya beberapa perkara yang terkait dengan masyarakat hukum
adat batak Toba di Samosir, Tapanuli, khususnya melalui Pengadilan Negeri
Balige dan Pengadilan Negeri Tarutung, sudah semakin memadai. Alat-alat bukti
lainnya yang ada di masyarakat hukum adat, khususnya yang bisa diverifikasi
adalah Artefak, Tugu Parsadaan
Kumpulan Marga atau Toga, Tambak,
Makam atau kuburan, dokumentasi acara adat, bangunan, sumber air, perladangan,
bangunan tempat tinggal atau rumah dan
lain-lain.
Resiko
Hukum
Menyusun
kembali struktur identitas pada masyarakat hukum adat, seperti silsilah atau tarombo yang diduga menggunakan
keterangan palsu atau bukan dengan keterangan yang sebenarnya, tentu terbuka ada
resiko hukumnya, baik pada sisi resiko hukum pidana maupun hukum perdata.
Bagi pihak yang dirugikan dari struktur
kumpulan marga yang baru disusun, untuk mengwujudkan keadilan dan kepastian
hukum, maka upaya hukum dari sisi pidana
merupakan opsi yang bisa ditempuh.
Sedangkan
dalam konteks pemulihan hak atas identitas atau silsilah dalam kumpulan marga
dari suatu perubahan struktur kumpulan marga bisa ditempuh melalui upaya hukum
gugatan perdata, yaitu perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige
daad ( Vide : pasal 1365 KUHPer).
Dari konteks upaya hukum pidana, atas penyusunan struktur marga
baru/toga yang baru yang diduga disusun berdasarkan keterangan
yang bukan sebenarnya atau palsu bisa diproses melalui laporan pidana atas
membuat keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau KUHP) atau menggunakan keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 2 KUHP) dengan ancaman pidana penjara 6 tahun. Pada pasal 263 ayat 1 KUHP dikatakan
:”Barang siapa membuat
surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan
atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu
hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun”.
Bila
akibat pembuatan perubahan struktur kumpulan marga yang dibuat ternyata diduga berakibat
pencemaran atau penghinaan bagi pihak lain, terutama bagi pihak yang dirugikan,
maka pihak yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama terbuka dilaporkan atas dugaan pencemaran atau penghinaan,
sebagaimana diatur pada pasal 310 KUHP.
Jika
konten perubahan struktur marga yang disusun diduga mengandung dugaan
pencemaran atau penghinaan (Vide :
pasal 310 KUHP) juga didistribusikan melalui saluran eletronik atau teknologi
informasi, seperti media sosial (Youtube, Facebook, Twitter,
dan lain-lain) maka terbuka juga
diproses sesuai dengan bagian sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada UU No. 11/2008, yang telah
diubah dengan UU No. 19/2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disebut juga UU ITE.
Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE jo pasal
45 ayat 3 UU ITE dikedepankan :”Setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Jika seseorang atau sekelompok orang
membuat struktur kumpulan marga baru diduga mengakibatkan permusuhan atau rasa
kebencian, terbuka juga diproses sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 UU ITE
jo pasal 45a ayat 2 UU ITE, yang menyatakan :”Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”.
Pada upaya hukum secara perdata atas
penyusunan struktur baru kumpulan marga atau toga yang diduga disusun menggunakan keterangan palsu/bukan
keterangan yang sebenarnya, dan merugikan pihak lain, maka pihak yang berada di
posisi yang dirugikan dapat melakukan
gugatan kepada pihak-pihak yang menyusun susunan struktur kumpulan marga
tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) sebagaimana diatur pada pasal 1365 KUHPer. Pada pasal 1365 KUHPer
disebutkan :”Setiap orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari
kesalahannya tersebut”.
Menurut
Prof Rosa Agutina, SH (Perbuatan Melawan
Hukum, 2003 : 151), suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan
hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu 1) bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku; 2) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; 3) bertentangan dengan
kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian. Angka 1 dan 2 bersumber
pada hukum terulis, sedangkan angka 3 dan 4 bersumber dari hukum tidak terulis.
Dalam hukum Indonesia, melawan hukum atau onrechtmatige diartikan sebagai melanggar hukum tertulis
dan melanggar hukum tidak tertulis, seperti hukum adat.
Dalam pada itu, menurut pasal 1372
KUHPer, Tuntutan Perdata tentang hal
penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan
kehormatan dan nama baik.
Jika para Tergugat, yang membuat struktur kumpulan marga yang baru,
yang diduga menggunakan keterangan palsu, berdomilisi di beberapa wilayah hukum, maka
berdasarkan pasal 118 HIR/pasal 142 RBg, gugatan dapat diajukan ke salah
satu Pengadilan Negeri tempat tinggal dari para Tergugat.
Disamping perlu menyusun dasar gugatan yang kuat, maka arah tuntutan dalam gugatan, antara lain namun tidak terbatas pada : 1) menyatakan perbuatan Para Tergugat membuat struktur kumpulan marga adalah perbuatan melawan hukum; 2) menghukum Para Tergugat tidak diperkenankan menggunakan struktur kumpulan marga yang baru; 3) menghukum Para Tergugat untuk meminta maaf kepada Penggugat pada halaman depan media massa nasional 7 hari berturut-turut; 4) menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi, baik meterial Rp……maupun ganti rugi immaterial Rp……..; 5) Supaya gugatan tidak sia-sia meletakkan sita jaminan atas aset-aset milik para Tergugat (Vide : pasal 1233 KUHPer jo pasal 1131 KUHPer).
Berangkat dari hal tersebut, kalau
sampai dilakukan penyusunan kumpulan marga atau toga, maka sebaiknya disusun
secara cermat, dengan menjalankan prinsip utama dan memperhatikan potensi
resiko hukum yang ada