Rabu, 11 September 2019

Pelaksanaan PHK pada Bank dalam Likuidasi

Opini  : 

Pelaksanaan PHK pada Bank dalam Likuidasi
           
                                           
                                     Oleh : Kardi Pakpahan*                                                                     
          Berbeda dengan Pemutuhan Hubungan Kerja (PHK) pada perusahaan atau institusi lain, pelaksanaan pemutusan PHK pada Bank dalam Likuidasi (BDL), baik pada Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR),  memiliki karakteristik khusus. Namun, payung hukum utamanya berdasarkan pada UU No.13/2003 tentang Ketenakerjaan.
          Ketentuan umum tentang Hak-hak diterima oleh karyawan atau yang pihak mengalami PHK diatur pada pasal 156 ayat 1  UU No.13/2003. Disana dikatakan :”Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak  yang seharusnya diterima”. Formula atau rumus dari perhitungan  hak-hak dari pihak yang mengalami PHK, seperti karyawaan atau pekerja/pengurus perusahaan, sudah dengan jelas diatur pada pasal 156 UU No.13/2003.
          Apakah penghitungan hak-hak pihak yang mengalami PHK dapat mengalami  perubahan ? Jawaban terhadap ketentuan ini bisa diperoleh pada pasal 156 ayat 5 UU No 13/2003, yang menyatakan :”Perubahan perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.  
Walapun tiga jenis komponen hak-hak karyawaan atau pekerja/pengurus yang mengalami PHK, namun sering juga ketiganya  disebut dengan istilah pesangon. Batasan dan penggunaan istilah  ini misalnya, bisa diketahui dari beberapa ketentuan. Diantaranya, pertama,  PSAK 24. Pada PSAK 24 disebutkan ruang lingkup imbalan kerja adalah : 1) Imbalan kerja jangka pendek; 2) Pesangon; 3) Imbalan Paska Kerja; 4) Imbalan kerja jangka panjang lainnya. Ketentuan pesangon disini meliputi pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
Kedua, Bab 23 SAK ETAP tentang imbalan kerja. Dalam ketentuan ini ini ruang lingkup imbal kerja meliputi : a) kewajiban Imbalan kerja jangka pendek; b) kewajiban imbalan pasca kerja; c) kewajiban imbal kerja jangka panjang lainnya; d) kewajiban pesangon pemutusan hubungan kerja.
Ketiga, Bab V.9. PA BPR (Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat) tentang Kewajiban imbal kerja. Pada bagian ini kewajiban imbal kerja meliputi : a) Kewajiban imbalan kerja jangka pendek; b) kewajiban imbalan pasca kerja; c) kewajiban imbalan kerja jangka panjang lainnya; d) kewajiban pesangon pemutusan kerja.
Sebetulnya kalau disimak dari substansinya, baik PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP; Bab V.9. PA BPR, khususnya kewajiban imbal kerja tentang pesangon, dapat dikatakan adalah penjabaran dari pasal pasal 156   UU No.13/2003, yang meliputi pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.   
Kalau dicermati alasan-lasan PHK, maka PHK pada Bank dalam Likuidasi (BDL) biasanya alasannya mengacu pada pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003, yang menyatakan  :”Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Karena belum ada ketentuan yang merubah ketentuan  ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana diamanatkan pada pasal 156 ayat 5 UU No 13/2003, maka formula inilah yang diterapkan biasanya pada Bank dalam Likuidasi.
Pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU No.24/2004, karyawaan atau pihak yang mengalami   PHK pada Bank dalam Likuidasi ditempatkan di posisi Kreditur diurutan kedua, disana disebutkan :”penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai”. Pengertian kreditur pada BDL adalah setiap pihak memiliki piutang atau tagihan kepada BDL, termasuk nasabah penyimpan. Tentu bila dikaitkan pasal 54 ayat 1 huruf b UU No.24/2004, dengan pasal 156 UU No.13/2003, PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP, ketentuan Bab V.9. PA BPR, dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003, maka dapat dikatakan bahwa hak-hak karyawaan atau pihak yang mengalami PHK dalam Bank dalam Likuidasi adalah adalah 3 jenis, yaitu a) pesangon; b) penghargaan masa kerja c) penggantian hak yang dihitung berdasarkan masa kerja dari karyawan/pegawai atau pihak yang mengalami PHK pada sebuah BDL.
Pada pasal 23 ayat 4 Peraturan Lembaga Penjaminan Simpanan (PLPS) Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015 disebutkan :”Tim Likuidasi wajib membuat perhitungan hak-hak pegawai lainnya yang timbul sebagaimana akibat pemutusan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan termasuk kewajiban yang belum diselesaikan kepada pegawai yang diberhentikan atau dilakukan PHK sebelum pencabutan izin usaha Bank, serta gaji terutang anggota Direksi dan Dewan Komisaris, untuk dicatat sebagai kewajiban Bank dalam likuidasi dalam kelompok kewajiban kepada Kreditur lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1 huruf g PLPS No.1/2011 sebagaimana disempurnakan melalui PLPS No.1/PLPS/2015”. Bagaimana hubungan ketentuan pasal 23 ayat 4 PLPS No.1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS No.1/PLPS/2015 di satu sisi, dengan pasal 156 UU No.13/2003, PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP, ketentuan Bab V.9. PA BPR, dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 di sisi lain, khususnya untuk ungkapan : “perhitungan hak-hak pengawai lainnya”.
Berangkat dari ketentuan  pasal 23 ayat 4 PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015, dikaitkan dengan ketentuan pasal 156 UU No.13/2003 dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003. Maka  dengan menerapkan asas penerapan hukum, yang menyatakan lex superior derogate legi inferior, yang berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, maka dapat dikatakan bahwa hak-hak karyawaan yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, ada 3 jenis, yaitu 1) Pesangon; 2) Penghargaan Masa Kerja, 3) Penggantian Hak yang logikanya dibayar sekaligus pada posisi Kreditur seperti diatur pada  pasal 54 ayat 1 huruf b UU No.24/2004, sebagai salah satu komponen dari Imbalan Kerja. Sedangkan perhitungan hak-hak pegawai lainnya, akibat PHK, dapat berasal dari dari Kewajiban Imbalan Kerja jangka pendek, kewajiban imbalan pasca kerja atau kewajiban imbal kerja jangka panjang lainnya.
Mengenai ketentuan pasal 25 ayat 1 PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015, yang menyatakan :”Pembayaran pesangon pegawai sebagaimana dalam Pasal 23 ayat 1 huruf b PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015 dilakukan dengan memperhitungkan seluruh kewajiban pegawai kepada Bank dalam Likuidasi”. Ketentuan ini lumrah dilaksanakan karena juga telah diatur pada ketentuan mengenai perjumpaan hutang atau kompensasi, sebagaimana diatur pada pasal 1425 s/d 1435 KUHPerdata.
Bila artikel opini Penulis ini benar dan sah secara hukum, dan belum diterapkan pada BDL, mengingat dari tahun 2005 hingga saat ini,   99 Bank mengalami likuidasi, yaitu 1 Bank Umum, yaitu PT Bank IFI dan 98 BPR, maka kalau memungkinkan dilakukan pembayaran uang pesangon yang belum diterima karyawan atau pegawai BDL sebagaimana dikedepankan dalam artikel opini ini dengan 3 komponen, yaitu a) pesangon; b) penghargaan masa kerja; c) penggantian hak, dan kalau dampaknya signifikan, mungkin perlu dilakukan jurnal koreksi pada laporan keuangan institusi atau BDL yang terkait, jika itu mungkin dilakukan, supaya laporan keuangan institusi terkait dapat tetap wajar. Semoga
(*Penulis adalah Advokat, Alumnus FH-UI, WA : 0813-2895-0019 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar