Minggu, 06 November 2022

Rubrik Hukum : Aspek Hukum Pengosongan atas Eksekusi Hak Tanggungan

 Rubrik Hukum :

Aspek Hukum Pengosongan atas 

Eksekusi Hak Tanggungan

Oleh : Kardi Pakpahan*

Salah cara eksekusi Hak Tanggungan adalah melalui eksekusi secara langsung oleh kreditur atau bank melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud pada pasal 6 UU No.4/1996 tentang Undang-undang Hak Tanggungan atau UUHT jo pasal 20 ayat 1 UUHT.  Pada Pasal 6 UUHT disebutkan :Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Sedangkan pada pasal 20 ayat 1 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a) hak  pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana imaksud dalam Pasal 6, atau;  b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan pasal 14 ayat 2 dan ayat  3 UUHT, Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Saat ini peraturan pelaksana dari lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan pasal 6 UUHT jo pasal 20 ayat 1 didasarkan  pasal 8 UU No.12/2011 jo Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia/PMK No.213/PMK.06/2020.

Salah satu kegiatan penting setelah lelang terlaksana sesuai ketentuan PMK No.213/PMK.06/2020, khususnya setelah ada pemenang lelang/pembeli adalah adalah pada aspek pengosongan obyek lelang. Kadang kala, walapun sudah ada pemenang lelang, namun debitur atau termohon eksekusi masih enggan mengosongkan obyek lelang eksekusi hak tanggungan.

Berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat 2 huruf j UUHT dan janji Debitur atau pemberi hak tanggungan pada APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) seharusnya dengan itikad baik Debitur atau Pihak Tereksekusi harus segera mengosonghkan obyek lelang.  Pada pasal 11 ayat 2 huruf j  UUHT dikedepankan :”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan”.

Walapun begitu, untuk menghadapi debitur atau pihak tereksekusi/pihak terlelang yang tidak koperatif, yang tidak mau mengosongkan obyek lelang padahal lelang sudah dilaksanakan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 ayat 2 RBg, Pemenang lelang atau Pembeli dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri yang berwewenang. Pada pasal 200 ayat 11 HIR disebutkan : “Jika orang yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka ketua pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya”.

 Hal senada juga diatur pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyatakan “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”.

Dalam pada itu, dalam eksekusi lelang hak tanggungan, maka sebaiknya Debitur atau pihak terlelang tidak perlu menghalang-halangi Petugas atau Pejabat Eksekutor dalam menjalankan eksekusi, baik sendiri maupun dengan dugaan menggunakan preman, karena itu bisa diancam dengan ketentuan pasal 212 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP. Pada pasal 212 KUHP disebutkan :”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

(*Kardi Pakpahan, Advokat, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia).

Kamis, 06 Oktober 2022

Budaya : Resiko Hukum Mengubah Kumpulan Marga dengan Dugaan Menggunakan Keterangan Palsu

 Budaya :

Resiko Hukum Mengubah Kumpulan Marga dengan Dugaan 
Menggunakan Keterangan Palsu


Oleh : Kardi Pakpahan*

Silsilah pada kumpulan marga atau toga merupakan unsur identitas  masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah Masyarakat Hukum Adat seperti Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Huta  di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear, matrilinear, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri, Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar (Prof Dr Soerjono Soekanto, SH, 2012 :43).

Silsilah atau tarombo pada Batak Toba terbentuk dan dikembangkan dari suatu masyarakat hukum adat, yang bermula dari huta (perkampungan induk), yang kemudian huta dikembangkan dengan sebutan lain, seperti Lumban, Sosor, Banjar, Lobu, dan lain-lain. Pada umumnya yang bermukim  pada suatu masyarakat hukum adat adalah memiliki pertalian darah (genealogis) secara patrilinear atau berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian, suatu marga atau kumpulan marga memiliki asal perkampungan atau huta, yang disebut juga tempat pamoparan. Kalau sebuah marga saat ini tidak memiliki perkampungan asal, perlu diverifikasi apakah marga atau kelompok marga tersebut pendatang ke sebuah kumpulan marga atau apakah marga terkait pernah mendapatkan sanksi hukum adat, seperti diasingkan atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat dikarena tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum adat atau diduga marga yang tidak mempunyai huta merupakan pendatang atau diain atau dirajahon pada suatu masyarakat hukum adat. .

Sampai saat ini masyarakat hukum adat dari segi regulasi diatur baik dalam lingkup internasional, nasional maupun lokal. Dalam pengaturan transnasional, keberadaan masyarakat hukum adat di atur pada 169 Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989. Dalam lingkup nasional di sini, pengaturan tentang masyarakat hukum adat bisa dibaca dari ketentuan pasal 18 B UUD 1945. Disitu disebutkan :”Negara mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang­undang”. Pengaturan yang lain, bisa dibaca pada ketentuan pasal 28 I UUD 1945. Disana dikatakan :”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Unsur identitas, dalam masyarakat hukum adat, seperti silsilah/tarombo diteruskan atau diwariskan dari satu generasi ke generasi. Merubah silsilah pada generasi Pertama dari suatu kumpulan marga atau toga yang telah berusia  sekitar 450 tahun yang lalu dengan asumsi 1 generasi 25 tahun misalnya, tentu harus lah didukung dengan  bukti-bukti yang kuat, terutama yang memiliki titik persesuaian satu sama lain, bukan dibangun atau disusun di atas pondasi yang rapuh.

Kalau ada kumpulan marga atau toga, yang berusia sekitar 450 tahun, kalau pun disusun kembali atau dilakukan reformulasi mulai dari generasi I, sudah sebaiknya disusun dengan beberapa prinsip utama. Sebagian dari prinsip itu, dikedepankan pada uraian berikut.

Pertama, berangkat dari masyarakat hukum adat. Wujud dari masyarakat hukum adat pada Batak Toba, berangkat dari huta atau perkampungan induk dari sebuah marga atau kumpulan marga sebagai episentrum. Sebuah marga yang asli atau memiliki hubungan darah dengan generasi I sebuah marga atau silsilah, harus bisa mempertahankan dan meneruskan huta atau masyarakat hukum adatnya. Kalau ada suatu marga tidak memiliki huta atau tempat pamoparan, maka biasanya ada petunjuk yang perlu diverifikasi, misalnya apakah marga tersebut merupakan pendatang pada sistem sosial masyarakat hukum adat, atau pernah diusir atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat.

Pada komunitas masyarakat hukum  adat Raja Sonang di Kecamatan Onan Runggu Samosir, diduga ada 4 pendatang dan perlu diverifikasi lebih mendalam, yaitu 1) diduga Hutabalian pada Toga Gultom; 2) diduga Sirahut Hole pada Toga Samosir; 3) diduga Silakkitang Jauh atau sebutan lain pada Toga Pakpahan; 3) diduga Sihapit Saong pada Toga Sitinjak. Pada Dokumen 18 September 1936, didepankan tentang acara adat Raja Bius Toga Gultom, di Onan Runggu, Samosir tentang acara penegasan Hutabalian sebagai marga yang “dirajakan” atau diain pada Toga Gultom  (2016 : 9), sehingga Toga atau kumpulan marga Gultom yang keturunannya di awal ada   3 marga  menjadi 4, yaitu : a) Gultom Huta Toruan atau Tujuan Laut; b) Gultom Huta Pea; c) Gultom Huta Bagot; d) Gultom Hutabalian.

Dalam pada itu, penggunaan atau penguasaan bagian dari tanah ulayat (golat) atau tanah parripean, dari suatu marga, diduga anak yang diain atau diangkat pada suatu kumpulan marga adalah dalam status Saudara Pemukim bersama (dongan parripe pangisi ni golat), tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah ulayat.

Kedua, menjalankan prinsip dalihan na tolu (tunggu nan tiga). Reformulasi susunan Toga atau kumpulan marga, sebaiknya tidak hanya terjadi melului informasi atau bukti dari dongan tubu (saudara), tetapi juga dari sisi Hula-hula maupun Boru dari generasi awal sampai generasi terkini.

Ketiga, susunan dari kumpulan marga yang diubah, dari generasi I sampai dengan generasi terakhir, sudah bisa diverifikasi dan disusun, dengan bukti pendukung. Pada setiap generasi, generasi awal atau pertama,  hula-hula sudah jelas. Sebaiknya, `dihindari mengubah atau reformulasi struktur kumpulan kalau masih belum terstruktur secara lengkap, karena diduga terbuka mengemuka masalah hukum, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.

Keempat, didominasi fakta, bukan hanya opini atau imajinasi atau perkiraan.  Mengubah struktur kumpulan marga, baik yang terikat karena hubungan pertalian darah atau adanya keturunan yang diain atau diangkat, sebaiknya didukung dengan fakta, bukan hanya berlandaskan opini atau imajinasi/khayalan.

Kelima, fakta yuridis. Dalam konteks yuridis, pada prinsipnya yang dapat menggunakan marga, sebagai identitas pada masyarakat hukum adat, adalah memiliki hubungan darah dengan Pewaris (Vide : pasal 832 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPer atau Burgerlijk Wetboek/BW.

Sebagaimana diketahui BW atau KUHPer di negeri Belanda disusun pada 5 Juli 1830 dan mulai    diberlakukan pada 1 Oktober 1838. Sedangkan di Indonesia KUHPer atau BW mulai diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad Nomor : 23, dan mulai berlaku di Indonesia (Hindia Belanda)  dengan menggunakan asas konkordansi pada 1 Januari 1848.

Keenam, menggunakan beberapa bukti, baik bukti surat, saksi, petunjuk, maupun pengakuan, persangkaan, sumpah yang memiliki titik  saling bersesuain satu sama lain. Alat bukti surat, dengan masuknya beberapa perkara yang terkait dengan masyarakat hukum adat batak Toba di Samosir, Tapanuli, khususnya melalui Pengadilan Negeri Balige dan Pengadilan Negeri Tarutung, sudah semakin memadai. Alat-alat bukti lainnya yang ada di masyarakat hukum adat, khususnya yang bisa diverifikasi adalah Artefak, Tugu Parsadaan Kumpulan Marga atau Toga, Tambak, Makam atau kuburan, dokumentasi acara adat, bangunan, sumber air, perladangan, bangunan tempat tinggal atau rumah  dan lain-lain.

Resiko Hukum

          Menyusun kembali struktur identitas pada masyarakat hukum adat, seperti silsilah atau tarombo yang diduga menggunakan keterangan palsu atau bukan dengan keterangan yang sebenarnya, tentu terbuka ada resiko hukumnya, baik pada sisi resiko hukum pidana maupun hukum perdata. Bagi  pihak yang dirugikan dari struktur kumpulan marga yang baru disusun, untuk mengwujudkan keadilan dan kepastian hukum, maka  upaya hukum dari sisi pidana merupakan opsi yang bisa ditempuh.

          Sedangkan dalam konteks pemulihan hak atas identitas atau silsilah dalam kumpulan marga dari suatu perubahan struktur kumpulan marga bisa ditempuh melalui upaya hukum gugatan perdata, yaitu perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad ( Vide : pasal 1365 KUHPer).

          Dari konteks upaya  hukum pidana, atas penyusunan struktur marga baru/toga yang baru  yang diduga disusun berdasarkan keterangan yang bukan sebenarnya atau palsu bisa diproses melalui laporan pidana atas membuat keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP) atau menggunakan keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 2 KUHP) dengan ancaman pidana penjara  6 tahun. Pada pasal 263 ayat 1 KUHP dikatakan :”Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

          Bila akibat pembuatan perubahan struktur kumpulan marga yang dibuat ternyata diduga berakibat pencemaran atau penghinaan bagi pihak lain, terutama bagi pihak yang dirugikan, maka pihak yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama terbuka dilaporkan atas dugaan pencemaran atau penghinaan, sebagaimana diatur pada pasal 310 KUHP.

          Jika konten perubahan struktur marga yang disusun diduga mengandung dugaan pencemaran atau penghinaan (Vide : pasal 310 KUHP) juga didistribusikan melalui saluran eletronik atau teknologi informasi, seperti media sosial (Youtube, Facebook, Twitter, dan lain-lain) maka terbuka  juga diproses sesuai dengan bagian sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada  UU No. 11/2008, yang telah diubah dengan  UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disebut juga UU ITE.

          Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE jo pasal 45 ayat 3 UU ITE dikedepankan :”Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

          Jika seseorang atau sekelompok orang membuat struktur kumpulan marga baru diduga mengakibatkan permusuhan atau rasa kebencian, terbuka juga diproses sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 UU ITE jo pasal 45a ayat 2 UU ITE, yang menyatakan :”Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak  menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

          Pada upaya hukum secara perdata atas penyusunan struktur baru kumpulan marga atau toga yang diduga disusun menggunakan keterangan palsu/bukan keterangan yang sebenarnya, dan merugikan pihak lain, maka pihak yang berada di posisi yang  dirugikan dapat melakukan gugatan kepada pihak-pihak yang menyusun susunan struktur kumpulan marga tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur pada pasal 1365 KUHPer. Pada pasal 1365 KUHPer disebutkan :”Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut”.

          Menurut Prof Rosa Agutina, SH (Perbuatan Melawan Hukum, 2003 : 151), suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu 1) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; 3) bertentangan dengan kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.   Angka 1 dan 2 bersumber pada hukum terulis, sedangkan angka 3 dan 4 bersumber dari hukum tidak terulis. Dalam hukum Indonesia, melawan hukum atau onrechtmatige diartikan sebagai melanggar hukum tertulis dan melanggar hukum tidak tertulis, seperti hukum adat.

          Dalam pada itu, menurut pasal 1372 KUHPer, Tuntutan Perdata  tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. 

          Jika para Tergugat, yang  membuat struktur kumpulan marga yang baru, yang diduga menggunakan keterangan palsu, berdomilisi di beberapa wilayah  hukum, maka  berdasarkan pasal 118 HIR/pasal 142 RBg, gugatan dapat diajukan ke salah satu Pengadilan Negeri tempat tinggal dari para Tergugat.

          Disamping perlu menyusun dasar gugatan yang kuat, maka arah tuntutan dalam gugatan, antara lain namun tidak terbatas pada : 1) menyatakan perbuatan Para Tergugat membuat struktur kumpulan marga adalah perbuatan melawan hukum; 2) menghukum Para Tergugat tidak diperkenankan menggunakan struktur kumpulan marga yang baru; 3) menghukum Para Tergugat untuk meminta maaf kepada Penggugat pada halaman depan media massa nasional 7 hari berturut-turut; 4) menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi, baik meterial Rp……maupun ganti rugi immaterial Rp……..; 5) Supaya gugatan tidak sia-sia meletakkan sita jaminan atas aset-aset milik para Tergugat (Vide : pasal 1233 KUHPer jo pasal 1131 KUHPer).

          Berangkat dari hal tersebut, kalau sampai dilakukan penyusunan kumpulan marga atau toga, maka sebaiknya disusun secara cermat, dengan menjalankan prinsip utama dan memperhatikan potensi resiko hukum yang ada

 (*Penulis adalah seorang Advokat & Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)






Kamis, 18 Agustus 2022

Asal Huta, sebagai Bukti Silsilah

 

 

Asal Huta, sebagai Bukti Silsilah

Oleh : Kardi Pakpahan*

        


Perkampungan induk yang disebut dengan  huta pada sistem sosial  masyarakat batak toba  dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti tentang silsilah dari suatu marga. Dikatakan demikian, karena huta adalah bentuk masyarakat hukum adat, yang memiliki sistem yang pada umumnya mengedepankan hubungan antar anggota masyarakat yang diikat karena adanya hubungan atau pertalian darah (genealogis) dengan pola hubungan utama mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal. Ada beberapa marga yang menggunakan huta dalam penyebutan marganya, seperti Hutagalung, Hutasoit, Hutabalian, Hutasuhut, dan lain-lain. Sehubungan dengan hubungan antar anggota masyarakat di suatu huta pada umumnya adalah berpola adanya hubungan darah, maka huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo dari generasi ke generasi.

          Nama atau sebutan untuk huta biasanya tergantung kepada tokoh atau raja yang membuka suatu huta atau perkampungan. Misalnya, dari sisi historis si Raja Pakpahan atau si Pakpahan, berdasarkan data antropologis dan sosiologis membuka kampung yang pertama atau kampung asal  atau perkampungan induk bernama huta bolon, di desa Pakpahan, Kecamatan Onanrunggu, Samosir, yang kemudian berkembang ke wilayah lainnya, baik pada jarak yang dekat maupun ke wilayah yang jauh.

          Si Pakpahan, adalah anak ketiga dari Si Raja Sonang/Boru Oloan (Br Sitindaon). Anak lainnya dari Raja Sonang adalah Gultom, Samosir, Sitinjak. Dari sisi Perkampungan atau parhutaan dari keturunan Raja Sonang yang terbentang di Kecamatan Onan Runggu, Samosir dari timur ke barat adalah Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan, Sitinjak, yang berbatasan dengan kecamatan Nainggolan.

           Searah dengan pertumbuhan jumlah anggota masyarakat hukum adat pada suatu huta atau perkampungan, dapat dikatakan membutuhkan perluasan lahan, untuk membangun tempat tinggal yang baru, untuk bertani maupun beternak, dan lain-lain. Untuk itu huta atau perkampungan asal dikembangkan ke wilayah sekitar atau membuka perkampungan lain di wilayah lain.

 

Perkampungan Induk

          Pengembangan Huta atau perkampungan induk secara demografik, bisa juga dengan membuka huta yang baru. Sedangkan lapisan permukiman baru lainnya dari huta, pada masyarakat batak toba  adalah Lumban. Sama juga  dengan huta, ada juga anggota masyarakat hukum adat yang memakai Lumban sebagai sebutan untuk marga. Misalnya, Lumban Tobing, Lumbantoruan, Lumban Raja, Lumban Gaol dan lain-lain.

          Kalau ditanya mana duluan huta (perkampungan induk) dari lumban ? Karena Lumban adalah pengembangan wilayah perkampungan induk atau huta, maka Lumban mengikuti Huta. Artinya duluan Huta baru Lumban. Misalnya tidak pernah disebut, Si Pukka Lumban atau Raja Lumban, tetapi istilah yang digunakan adalah si Pukka Huta (Tokoh yang membuka huta/perkampungan induk) atau Raja Huta.

          Pengembangan wilayah huta atau perkampungan induk  yang lain dikenal dengan beberapa istilah, seperti Banjar (perkampungan dengan hunian yang berbaris). Ada juga anggota masyarakat hukum adat yang menggunakan istilah Banjar untuk penamaan marga, seperti Banjarnahor. Nama-nama perkampungan yang menggunakan sebutan Banjar yang berbatasan dengan desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu Samosir saat ini, terdapat pada dusun I Desa Onan Runggu, Kecamatan onan runggu, Samosir, yaitui  Banjar Pasir, Banjar Dolok, Banjar Tonga.

          Sosor adalah bentuk lain dari pengembangan perkampungan, yang merupakan perluasan dari perkampungan di kawasan pinggir danau (toba). Lazimnya perkampungan di kawasan pinggir atau di kawasan bibir danau, disebut dengan istilah Sosor Pasir, sedangkan penamaan huta atau nomenklatur  perkampungan di atas sosor pasir  disebut dengan sosor batu atau sosor dolok. Salah satu perkampungan Hutanamora Pakpahan di desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu adalah di sosor pasir.

Pada wilayah yang berbatasan dengan desa Pakpahan, yaitu di desa Onan Runggu Kecamatan Onan Runggu, Samosir dikenal beberapa perkampungan dengan sebutan sosor, seperti Sosor Sibabiat, Sosor Mamukka, Sosor Hoda, Sosor Gaol, Sosor Sihotang. Disamping sosor,  pengembangan huta atau perkampungan induk juga dikenal dengan istlah lain, seperti lobu atau perkampungan yang sengaja ditembok, yang biasanya digunakan untuk membedakannya dengan perkampungan masyarakat hukum adat yang lain, seperti Lobu Sonak, Lobu Gala, Lobu Siregar.

Perkampungan induk/perkampungan asal atau huta Toga Pakpahan atau Raja Pakpahan terletak di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Batas-batas Desa Pakpahan tersebut, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Onan Runggu  dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa Sitinjak. Sebelah Utara Desa Pakpahan adalah Desa Pardomuan dan di sebelah selatan adalah Danau Toba.

          Desa Pakpahan, dengan luas area sekitar 3,92 Km2 adalah satu diantara 12 Desa yang terdapat pada  Kecamatan Onan Runggu Samosir. Adapun nama Desa lainnya saat ini di Kecamatan Onan Runggu adalah Sitinjak, Onan Runggu, Harian, Tambun Sungkean, Sitamiang, Pardomuan, Huta Hotang, Rina Bolak, Sipira, Janji Matogu, Silima Lombu. Di setiap desa tersebut, terdapat beberapa huta atau perkampungan masyarakat hukum adat.

          Dari sisi historis, Desa Pakpahan, sebagai bagian dari Onan Runggu Samosir,  sebelum masa kolonialisme adalah wilayah yang terletak pada lereng perbukitan dengan akses keluar/masuk yang terbatas. Pada saat ini, khususnya di era Pemerintahan Presiden Jokowi, akses infrastruktur jalan, transportasi ke/dari desa Pakpahan, sudah semakin baik.

          Pada masa lalu, karena terbatasnya akses infrastruktur jalan  ke/dari Onan Runggu umumnya, dan ke desa Pakpahan, Samosir, khususnya, diduga menjadi salah satu faktor pemicu perkawinan diantara  empat anak Raja Sonang, yaitu Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan dan Sitinjak. Sampai sekarang, perkawinan diantara keturunan Raja Sonang, baik di “bonapasogit” Onan Runggu Samosir maupun di luar wilayah “bonapasogit” masih kerap terjadi.

 

Keturunan Toga Pakpahan

          Sebelum diuraikan lebih lanjut perkampungan atau “parhutaan” Omp Toga Pakpahan di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, perlu didepankan tentang keturunan Omp Toga atau Raja Pakpahan. Berapa anak Toga Pakpahan ? Tentu, untuk mengetahuinnya terdapat beberapa refrensi yang dapat digunakan untuk itu. Tiga diantaranya dikedepankan pada  uraian berikut.

Pertama, pada buku “Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10 dan 56), yang disusun berdasarkan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin, Toga Pakpahan sebagai Generasi I, mempunyai 3 anak, yaitu a) Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja Pakpahan); 2) Hutanamora Pakpahan/Parhutanamora Pakpahan (Simora); c) Lumban Bosi Pakpahan (Sibosi)

Kedua, Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora). Parhuta Namora mempunyai seorang anak, namanya Parbona Raja, sedangkan Parbona Raja mempunyai tiga orang anak, yaitu Panulampak, Datu Ronggur Diaji, Porhas Manjunging (Sejarah Raja Sigalingging, 2009). Sebagaimana diketahui, istri dari Parbona Raja Pakpahan, sebagai Generasi III Toga Pakpahan,  adalah Boru Sigalingging, begitu juga Datu Ronggur Diadji Pakpahan, yang berada pada Generasi IV Toga Pakpahan, beristrikan Sindar Mataniari Boru Sigalingging dan Naomi Petterina Br Nainggolan. Juga, istri leluhur penulis, Omp Diharaja Pakpahan (Generasi V Toga Pakpahan) menikah dengan Boru Galingging. 

Kenapa ada keturunan Omp Si Raja Galingging, bermukim di Tapanuli Utara, termasuk di Kecamatan Pangaribuan dan Humbang Hasundutan serta di wilayah Parsoburan, Habinsaran, yang memiliki perkampungan induk di Sait Nihuta, Samosir ? Jawaban terhadap hal tersebut, akan Penulis uraikan pada tulisan yang berjudul :"Parbona Raja Pakpahan, Mencari Anaknya Datu Ronggur Diadji Pakpahan ke Parsoburan".

Dari Tulisan "Sejarah Raja Sigalingging, 2009", dan berdasarkan Diskusi Penulis dengan Ompung Marko Sigalingging, salah satu keturunan Si Raja Galingging yang saat ini bermukim di Siborong-borong, Tapanuli Utara, keturunan si Raja Sigalingging (dengan gelar Pangulu Oloan), ada 3, yaitu : 1) Gr Mangarinsan Sigorak Sigalingging; 2) Raja Tinatea Tambalong Sigalingging; 3) Namora Pangujian Sigalingging. Hula-hula dari Omp Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi III Toga Pakpahan), Omp Datu Ronggur Diadji Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi IV Toga Pakpahan), Omp Diharaja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi V Toga Pakpahan), berasal dari garis keturunan anak kedua si Raja Galingging, yaitu dari Omp Raja Tinatea Tambalong Sigalingging.

Bila ditelusuri silsilah Si Raja Sigalingging, dari garis keturunan anak kedua, yaitu   Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, pada generasi III dan X Toga Sigalingging/Si Raja Sigalingging ditemukan keturunannya bernama DATU RONGGUR. Mengingat hal tersebut, wajarlah salah satu anak Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging, bernama Datu Ronggur Diadji Pakpahan (anak kedua). Anak Omp Parbona Raja Pakpahan yang paling besar adalah Ampanulampak Pakpahan, sedangkan anaknya ketiga/anak bungsu adalah Porhas Manjunging Pakpahan.

Dalam catatan penulis, rombongan hula-hula Si Raja Galingging, yaitu dari garis keturunan anak kedua : Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, yang  menghadiri pesta Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Kecamatan Onan Runggu Samosir tahun 1976, adalah Alm St. Mayor Edy Sigalingging.

Ketiga, pada acara Tor-Tor Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan (garis Keturunan Parhuta Raja Pakpahan), pada urutan Nomor 7 adalah Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi (Mangala Pakpahan, Hikayat Datu Ramot Pakpahan, 2007 : 39).  Arti acara Nomor 7 tersebut kalau dijabarkan sebagai berikut  : a) Hutaraja Pakpahan adalah Suhut atau tuan rumah pesta, pada pesta Horja peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan, yang adalah berada pada generasi IV Toga Pakpahan; b) Hutanamora adalah adik dari Hutaraja; c) Lumban Bosi adalah adik dari Hutaraja dan Hutanamora. Pada acara Tor-tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi itu tidak ada disebutkan ada keturunan Toga Pakpahan yang lain, baik karena hukum maupun terkait dengan janji atau padan.

Menurut penulis, tarombo atau silsilah pada acara Nomor  7 Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi pada pesta Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan adalah bersesuaian dengan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin  dan silsilah yang diwariskan pada keturunan Datu Ronggur Diadji Pakpahan (Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9 – 10 & 56).

Persebaran perkampungan Toga Pakpahan, di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir terdapat pada Dusun I/Lumban Baringin, Dusun II/Sosor Pasir dan  Dusun III/Sosor Batu. Pada Dusun I/Lumban Baringin dan Dusun II/Sosor Pasir Desa Pakpahan tersebut adalah tempat bermukim atau perkampungan keturunan Hutanamora Pakpahan. Sedangkan Dusun III/Sosor Batu,  Desa Pakpahan ditempati oleh keturunan Hutaraja Pakpahan dan Lumban Bosi Pakpahan.

Sedangkan nama-nama perkampungan Hutanamora Pakpahan di Dusun I dan Dusun II Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir adalah 1) Huta Bolon dan Huta Sipira Toba (kawasan pemukiman keturunan Omp Garaga Pakpahan); 2) Sosor Pasir, Dolok Martahan (di bagian atas sebelah kanan aek mual Simataniari), yang merupakan perkampungan atau pamoparan keturunan Omp Soengganon Pakpahan; 3)  Lumban Baringin, Lumban Jabi-jabi, Lumban Sanduduk. Yang merupakan perkampungan Omp Amani Hutasada Pakpahan; 4) Huta Tungkup, yang merupakan perkampungan keturunan Omp Sumombun Pakpahan.

Dengan mengetahui perkampungan atau huta, maka pada prinsipnya seseorang anggota masyarakat hukum adat, akan bisa menelusuri silsilahnya. Jadi, asal huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo.

 Pengakuan seseorang sebagai bagian dari keturunan marga pada suku batak toba, secara yuridis adalah berdasarkan hubungan darah dengan ayah (patrilineal). Berdasarkan garis patrilineal  Toga Pakpahan sesuai dengan uraian sebelumnya, memiliki 3 anak, yaitu 1) Hutaraja Pakpahan; 2) Hutanamora Pakpahan; 3) Lumban Bosi Pakpahan.

 

Pengangkatan Anak

Dalam budaya batak toba, diakui juga pengangkatan anak, yang dikenal dengan istilah mangain atau mangarajahon. Salah satu contohnya adalah pada Toga Gultom, sebagai anak sulung Raja Sonang.

Anak Toga Gultom disinyalir adalah 3 orang, yaitu  a) Gultom Hutatoruan; b) Gultom Hutapea; c) Gultom Hutabagot. Pada suatu waktu,  Hutabalian diain atau diangkat menjadi anak Toga Gultom. Pada  Notulen Rapat Adat Negeri Gultom dalam pemilihan Candidat Kepala Nagari Gultom pada tanggal 18 September 1936 dikedepankan :”Segala Jang Hadir Sama Setoedjoe Menerangkan Bahasa Hoetabalian Boekan Anak Sedjati Dari Goeltom, Hanjalah Anak Jang Diangkat, Sedjarahnja Doeloe Ada Lelaki Dihanjoetkan Aroes = Badai  Sampai Kepoelau Samosir Ini Dari Mana Asalnja Tiada Tentoe, Lantas Ini Orang Selakoe Teman Manoesia Dipandang Hingga Diangkat Goeltom Djadi Anaknja Yang Boengsoe. Boekan Sadja Bagian Goeltom Memandang Hoetabalian Sebagai Adiknya, Djuga Toeroenan Sidari (Samosir), Pakpahan Dan Sitindjak (Segala Toeroenan Si Toga Samosir) Sama Beradik Pada Hoetabalian, Boleh Dibilang Hoetabalian Adalah Martabat Rendah, Keterangan Ini Dikuatkan Oleh Candidaten Toeroenan Loembantoruan Hutapea Dan Radja-Radja Serta Ketoea-Ketoea Toeroenan Hutabagot (2016 : 9 -10)”. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka anak Toga Gultom menjadi 4, yaitu 1) Gultom Hutatoruan; 2) Gultom Hutapea; 3) Gultom Hutabagot; 4) Gultom Hutabalian.

                                                                                                            Raja Sitindaon                                                                                                                      

Membicarakan Keluarga Besar Raja Sonang umumnya, dan Toga Pakpahan, khususnya tidak lepas dari menghubungkannya dengan Raja Sitindaon. Istri dari Raja Sonang adalah Boru Sitindaon (Si Boru Oloan), yaitu putri dari Raja Sitindaon. Keturunan Raja Sitindaon secara patrilineal ada 3, yaitu 1) Omp Passalaut Sitindaon, keturunannya bermukim di Bonapasogit, huta si Bual-bual, Kecamatan Onan Runggu, Samosir; 2) Omp Pangahu Raja Sitindaon, keturunannya pada umumnya bermukim di Barus, Pakkat; 3) Omp Panganbintua Sitindaon, umumnya keturunannya bermukim di Pantai Parbubu/Tomok, Sagala, Sidamanik (Simalungun). 

Berdasarkan Diksusi Penulis, dengan Tulang Charles Sitindaon, Ketua Perkumpulan Sitindaon & Boru Se Indonesia beberapa waktu yang lalu, istri dari Omp Toga Pakpahan (Generasi I Toga Pakpahan) adalah Putri dari Omp Passalaut Sitindaon. Dalam diskusi lanjutan Penulis dengan Tulang Magus Sitindaon (Sekjen Perkumpulan Sitindaon & Boru Sitindaon Se Indonesia) belum lama ini, bahwa istri Omp Parhuta Raja Pakpahan atau Huta Raja Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) adalah putri dari Ompu Raja Holbung Sitindaon (Dalam Verifikasi). 

          Sebagai anak  dari Toga Pakpahan, keturunan Omp Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan), yang menikah dengan  Pinta Haumasom Br Simbolon, baik pada era sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia serta saat ini, selalu memegang unsur kepemimpinan di wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Hal itu dimungkinkan karena jumlah penduduk dan wilayah Desa Pakpahan Kecamatan Onan Runggu tersebut didominasi keturunan Hutanamora Pakpahan. Saat ini yang menjabat Kepala Desa di Desa Pakpahan, adalah tetap  berasal dari keturunan Hutanamora Pakpahan.

          Garis silsilah Keluarga istri Omp Hutanamora Pakpahan, yaitu Pinta Haumasom Br Simbolon, merupakan anak bungsu dari Toga Simbolon, yaitu Simbolon Hapotan, yang berasal dari Huta Marhuliang, Desa Sigaol Marbun, Kecamatan Palipi, Samosir. Sampai saat ini perkampungan utama atau perkampungan induk dari Simbolon Hapotan masih ada di Huta Marhuliang. Penulis sudah 2 kali berkunjung ke perkampungan Omp Pinta Haumasom Br Simbolon tersebut. Tulang Nasib Simbolon, yang saat ini masih bermukim di huta Marhuliang, adalah bagian dari hula-hula Omp Hutanamora Pakpahan, salah satu yang ikut dalam rombongan  dari hula-hula Simbolon pada pesta  Horja tugu parsadaan Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) di Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, pada tahun 1976 yang lalu.   

          Tugu Persadaan atau Tugu Persatuan Hutanamora Pakpahan, terletak di dusun II Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir.  Tugu tersebut, dibangun melibatkan kerjasama yang baik oleh  3 keturunan Hutanamora Pakpahan, yaitu 1) Ampanulampak; 2) Datu Ronggur Diadji; 3) Porhas Manjunging. Pesta Horja Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan dilangsungkan pada tahun 1976. Adapun filosofi dari kerjasama itu menurut penulis adalah adalah :”mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu holbung”.

Adapun persebaran perkampungan Toga Pakpahan di luar wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir akan penulis bahas pada tulisan yang lain. 

(*Penulis Adalah Seorang Advokat, Alumnus : Fakultas Hukum Universitas Indonesia)