Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan ke PTUN
untuk Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Oleh
: Kardi Pakpahan, SH*
Pelaksanaan
pendaftaran tanah untuk pertama kali,
baik secara sproradik maupun sistematik, dapat dikatakan masih tetap tinggi
pada masa yang akan datang. Dikatakan demikian, dikarenakan hingga saat ini,
masih banyak tanah yang telah dikuasai dan digunakan oleh masyarakat yang belum
terdaftar, sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 19 UU No.5/1960 dan PP
No.24/1997. Hanya saja, potensi masalah hukum atau konflik relatif tinggi pada
kegiatan pendaftaran tanah pertama kali, baik pada sisi hukum tata usaha Negara,
hukum perdata maupun hukum pidana.
Tujuan
pendaftaran tanah pertama kali, adalah merupakan
bagian dari tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah seperti yang
dikedepankan pada pasal 3 PP No.24/1997, yaitu 1) untuk memberikan kepastian
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak bersangkutan; 2) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar; 3) untuk terselenggarannya tertip admistrasi
pertanahan.
Bagi
pihak-pihak, terutama bagi pihak ketiga merasa yang dirugikan, yang terkait
dengan pendaftaran tanah pertama kali, bisa melakukan upaya hukum melalui pengajuan
gugatan ke Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN). Dikatakan demikian, karena
surat keputusan penerbitan hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah
pertama kali, melalui kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor
Pertanahan setempat, adalah sebuah
keputusan tata usaha Negara.
Menurut
pasal 1 angka 3 UU No.5/1986, yang dimaksudkan dengan keputusan Tata Usaha negara adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Kalau
dicermati praktek proses pengajuan gugatan yang menyoal keputusan TUN ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang pendaftaran tanah pertama kali,
maka masalah yang kerap mengemuka adalah perihal tenggang waktu dalam pengajuan gugatan. Pengaturan tenggang waktu pengajuan gugatan
ke PTUN diatur dalam pada pasal 55 UU No.5/1986. Disana dikatakan :”Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang
waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha”.
Dalam
sebuah keputusan tata usaha Negara, secara umum ada 3 pihak yang berkepentingan,
pihak Pertama, adalah pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan, pihak kedua
merupakan pihak yang dituju sebuah keputusan TUN, sedangkan pihak ketiga
merupakan pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas dikeluarkannya sebuah keputusan TUN.
Penghitungan
tenggang waktu bagi pihak yang dituju sebuah keputusan
TUN adalah 90 hari sejak yang bersangkutan menerima keputusan TUN, sedangkan
bagi Pihak Ketiga yang merasa kepentingannya
dirugikan tentu bisa diartikan sejak 90 hari diketahui, baik karena
diberitahukan maupun karena diumumkan.
Pada ketentuan hukum yang terkait dengan pendaftaran tanah, baik pada pasal 19
UU No.5/1960, PP No.24/1997, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3/1997,
tidaklah mengatur kewajiban pengumuman atas keluarnya surat keputusan
pendaftaran tanah, seperti penerbitan sertifikat dari proses pendaftaran tanah
pertama kali.
Pihak
ketiga yang merasa dirugikan dalam sebuah keputusan TUN, seperti pada
pendaftaran tanah pertama kali, secara umum memiliki peluang atau akses yang
sangat kecil untuk mengetahui keputusan
yang dimaksudkan. Untuk mengatasi hal
seperti itu, pada 9 Juli 1991, Mahkamah
Agung (MA), mengeluarkan Surat Edaran Mahmakah Agung (SEMA) No. 2/1991. Pada
angka V (3) SEMA itu dikatakan :”bahwa tenggang
waktu pengajuan gugutan bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan TUN
tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 55 UU No.5/1986 dihitung secara kasuistis sejak ia merasa
kepentingannya dirugikan oleh keputusan TUN dan mengetahui adanya keputusan
tersebut”.
Dari
angka V (3) SEMA No.2/1991, maka ada dua unsur yang musti dipenuhi, yaitu 1) unsur
merasa kepentingannya dirugikan; 2) mengetahui. Bagaimana misalnnya jika “mengetahui”
oleh pihak ketiga cuma didasarkan pada isu atau desus-desus, apakah Ketua atau majelis
hakim pada PTUN, menghitung hal tersebut sebagai penghitungan tenggang waktu
yang efektif ? Tentu tidaklah demikian.
Proses penegakan hukum, seperti pengajuan gugutan ke PTUN, haruslah
memperhatikan 2 hal, yaitu logika hukum dan proses itu dapat dibuktikan secara hukum melalui alat-alat
bukti yang ada..
Misalnya,
seorang pihak ketiga, yang merasa kepentingannya dirugikan dari suatu
pendaftaran tanah pertama kali, mendengar isu atau informasi yang kurang jelas
tentang tanah yang dikuasai selama ini telah diterbitkan sertifikat, kemudian
pihak ketiga tersebut menanyakan hal terkait kepada kantor pertanahan setempat,
maka sejak pihak ketiga tersebut mengetahui putusan TUN dari pejabat TUN atau
pejabat kantor pertanahan terkait, seperti melalui penerbitan sertifikat, maka
hal itulah yang digunakan sebagai permulaan penghitungan tenggang waktu pengajuan gugatan.
Hak Pihak ketiga untuk mengetahui informasi pendaftaran
tanah di kantor pertanahan, disamping adalah bagian dari informasi publik,
sebagaimana dimaksudkan pada pasal 1 angka (2) UU No.14/2008, sudah jelas diatur pula pada pasal 4 ayat (2)
PP No.24/1997. Di situ disebutkan :”Untuk
melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b, data
fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah
terdaftar terbuka untuk umum”.
Dalam tahap berperkara di PTUN, masalah
tenggang waktu dalam pengajuan gugatan, termasuk dalam acara prosedur dismissal,
baik pada rapat permusyawaratan atan rapat persiapan sebelum pemeriksaan pokok
perkara (Vide Pasal 62 ayat (1e) UU No.5/1986 dan
Pasal 63 UU No.5/1986), yang dituangkan dalam sebuah penetapan.
Pertanyataan sekarang bagaimana sekiranya
kalau ada majelis Hakim di PTUN, yang setelah melalui semua tahap persidangan, mulai
pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, membuat
putusan :”bahwa putusan Para Penggugat harus dinyatakan tidak diterima (Niet Onvanklijk Verkllard), dengan
pertimbangan bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan tidak dipenuhi, dengan
dasar pertimbangan dari majelis yang tidak cermat dan tidak memiliki dasar
hukum yang jelas serta sudah lolos dari
prosedur dismissal dengan sebuah penetapan, dapat dikatakan adalah sebuah
putusan yang tidak wajar. Tentu para Penggugat bisa melakukan upaya hukum
banding, dalam pada itu, kalau sudah demikian, beracara dengan asas cepat dan biaya
murah, semakin jauh dari kenyataan.
(*Penulis
adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia &* Advokat di Dipa & Partnerss, IG = kardi_pakpahan)