Minggu, 27 Oktober 2019

Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah pada Bank dalam Likuidasi


Rubrik Opini :
Perihal Masalah Klaim Simpanan Nasabah 
pada Bank dalam Likuidasi


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Coba dibayangkan, sudah bertahun-tahun seorang nasabah penyimpan dana dengan total saldo simpanan Rp 200 juta menjadi nasabah di sebuah bank, tetapi di suatu waktu  tiba giliran dicabut izin usaha bank yang terkait dan masuk status Bank dalam Likuidasi (BDL), nasabah penyimpan dana tersebut tidak mendapatkan hasil klaim dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan alasan bahwa suku bunga simpanan nasabah tersebut melampaui suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS, padahal Nasabah penyimpan Dana tersebut tidak pernah meminta bunga khusus atau special rate kepada Bank terkait. Bagian paparan di awal ini adalah kasus posisi, tetapi mungkin saja sudah pernah dialami oleh nasabah perbankan.
            Seluruh bank yang ada di sini wajib atau harus mengikuti program penjaminan simpanan nasabahnya. Institusi atau lembaga yang melakukan penjaminan simpanan nasabah perbankan berdasarkan Undang-Undang (UU) No.24/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No.7/2009 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan atau yang disebut juga UU LPS, adalah LPS. Pertanyaan sekarang apakah fungsi, wewenang dan tugas LPS dalam rangka penjaminan simpanan semata-mata menerima dana kontribusi dan premi penjaminan dari perbankan dan melakukan penggantian simpanan nasabah yang memenuhi syarat ketika ada bank yang dicabut izin usahannya ?
            Kalau dicermati peraturan perundang-undangan yang terkait maka dapat dikatakan tidaklah demikian. Institusi LPS selaku penyelenggarapa penjaminan mengendalikan resiko operasional penjaminan sebelum terjadi transaksi simpanan di perbankan, yaitu setiap bank peserta penjaminan menjelaskan produk penjaminan simpanan kepada nasabah sebelum transaksi pembukaan rekening simpanan disetujui bank, seperti persyaratan penjaminan, juga selama menjadi nasabah  dan juga setelah ada bank yang dicabut izin usahannya atau menjadi BDL.
            Untuk persyaratan simpanan yang dijamin LPS itu dapat dilihat pada pasal 19  UU LPS. Disana dikatakan  3 (tiga) syarat penjaminan simpanan, yaitu 1) Tercatat di Bank; 2) Nasabah Penyimpam bukan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar atau suku bunga simpanan tidak melampau suku bunga penjaminan dari LPS; 3) Nasabah Penyimpan bukan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat, misalnya nasabah tidak memiliki kredit macet pada bank yang terkait. Disamping ketiga syarat tersebut, jumlah simpanan untuk setiap nasabah yang dijamin LPS saat ini berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2008 adalah sebesar Rp 2 Milyar. 
            Untuk melihat ketentuan yang terkait pengelolaan resiko operasional penjaminan simpanan tersebut, pada bagian berikut dikedepankan beberapa ketentuan penting. Pertama, LPS bertugas menjamin simpanan pada bank, seperti yang diatur pada  pasal 5 ayat 1 huruf b UU LPS. Disana dikatakan :”LPS mempunyai tugas melaksanakan penjaminan simpanan.
            Kedua, wewenang LPS menetapkan dan memungut premi penjaminan. Hal tersebut diatur pada pasal 6 ayat 1 huruf a UU LPS. Disitu disebutkan:”LPS mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan.
            Ketiga, kewajiban bank memberikan data, informasi dan dokumen yang penjaminan ke LPS. Ketentuan yang terkait hal tersebut diatur pada pasal 9 huruf d UU LPS. Disana dikatakan  :”Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, setiap Bank wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan”. Dengan demikian seluruh data yang terkait dengan program penjaminan simpanan di bank, seperti data atau informasi dan/atau dokumen yang terkait dengan persyaratan penjaminan dapat diperoleh oleh LPS.
            Keempat, dalam rangka pelaksanaan program penjaminan simpanan.  LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank. Hal tersebut sudah jelas dan tegas diatur pada pasal 42 UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Disana dikatakan :”LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”.
            Apa saja ruang lingkup pemeriksaan bank yang dapat dilakukan oleh LPS  ?  Kaedah hukum atau uraianya sudah jelas dimuat  pada bagian penjelasan pasal 42 UU No.21/2011. Disitu disebutkan :” lingkup pemeriksaan LPS kepada bank meliputi : pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset dan kejahatan di sektor perbankan”. Dengan demikian ketika LPS, menjalankan ketentuan pasal 42 UU No.21/201, maka data yang lengkap terkait dengan program penjaminan simpanan, termasuk seluruh persyaratan penjaminan yang diatur pasal 19 ayat 1 UU LPS, dapat diperoleh LPS.
            Data yang terkait setelah dilakukan pemeriksaan LPS pada sebuah bank pada periode tertentu misalnya, ditemukan ada nasabah yang tercatat dengan suku bunga simpanan diatas suku bunga penjaminan LPS. Terhadap temuan seperti hal tersebut perlu dilakukan identifikasi, verifikasi atau rekonsiliasi apakah masalah tersebut murni kesalahan operasional bank (baik yang mungkin diakibatkan masalah karyawan, teknologi/aplikasi dan/atau sistem dan prosedur)  atau atas kesepakatan bank dengan nasabah.
            Jika dalam pemeriksaan LPS terhadap bank misalnya ditemukan bahwa pencatatan suku bunga yang melampauai suku bunga penjaminan LPS adalah karena kelemahan atau masalah dari operisasional bank (baik masalah SDM, teknologi/aplikasi, sistem dan prosedur) maka sudah seharusnya salah satu satu jalan keluarnya adalah melakukan upaya perbaikan atau jurnal koreksi, supaya nasabah yang beritikat baik mendapat perlindungan.
Jika dalam pemeriksaan LPS pada bank  yang masih beroperasi bahwa ditemukan  persetujuan suku bunga di atas suku bunga penjaminan LPS adalah karena kesepakatan bank dan nasabah yang didukung dengan bukti yang kuat atau otentik. Maka terhadap temuan yang terakhir ini maka dapat dibuat 2  (dua) jalan keluarnya, yaitu  dilakukan koreksi supaya masuk dalam program penjaminan atau jika tidak mau dilakukan koreksi setidak-tidaknya Nasabah harus membuat Surat Pernyataan dari awal bahwa simpanannya tidak masuk dalam program penjaminan simpanan LPS. Terhadap temuan masalah kekurangan pembayaran premi penjaminan simpanan dari suatu bank misalnya, maka lazimnya dilakukan koreksi yaitu bank yang terkait harus membayar kekurangan pembayaran premi kepada LPS.
Apakah semua Bank perlu diperiksa oleh LPS dalam rangka pelaksanaan program penjaminan ? Pada dasarnya semua bank peserta penjaminan perlu diperiksa oleh LPS,  tetapi dapat dibuat skala prioritas Bank yang musti diperiksa oleh LPS dalam rangka program penjaminan simpanan, seperti 1) bank status pengawasan intensif; 2) bank dalam pengawasan khusus; 3) bank dengan nilai resiko keseluruhan atau akumulatif pada level tinggi atau sangat  tinggi; 4) bank yang diindikasikan ada terjadi modus kejahatan perbankan yang diperkirakan sangat berpengaruh pada permodalan dan/atau cash rasio bank.   
Sehubungan dengan uraian diatas, untuk kegiatan penetapan status simpanan nasabah pada bank yang telah dicabut izin usahannya atau sudah termasuk dalam Bank Dilikuidasi, maka ketika dilakukan identifikasi rekonsiliasi atau verifikasi (Vide pasal 19 UU LPS) apakah sebuah simpanan nasabah masuk dalam kategori layak bayar atau tidak layak bayar, maka perlu dilakukan LPS secara mendalam dan cermat. Jika tidak terpenuhinya syarat penjaminan simpanan misalnya karena kelalaian atau kesalahan LPS, atau bukan karena kesalahan Nasabah Penyimpan, maka LPS jangan lah sampai memasukkan simpanan tersebut sebagai simpanan yang tidak layak bayar, supaya nasabah penyimpan dana yang beritikat baik jangan sampai dirugikan.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan penjaminan simpanan pada perbankan, disamping LPS perlu meningkatkan kualitas pemeriksaannya kepada Bank dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang sehubungannya dengan pelaksanaan program penjaminan, juga perlu meningkatkan dan menyempurnakan format untuk mendapatkan data, informasi dan dokumen dari perbankan, sehingga pengendalian resiko operasional penjaminan dari awal sudah semakin terkendali dengan baik. Semoga. (*Penulis adalah Alumni FHUI, Advokat, WA=0813-2895-0019, IG= kardi_pakpahan)

Selasa, 15 Oktober 2019

Tiga Potret Mahasiswa dalam Memperjuangkan Keadilan


Opini  :
Tiga Potret Mahasiswa dalam Memperjuangkan Keadilan
Oleh : Kardi Pakpahan*
(Gerakan mahasiswa angkatan 2019 jangan sampai kalah dengan mahasiswa angkatan 1998 dalam memperjuangkan gerakan anti KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
            Gerakan memperjuangkan keadilan oleh mahasiswa di nusantara  dari dulu sampai sekarang – baik sebelum dan setelah kemerdekaan telah memiliki beberapa simpul penting. Diantara simpul penting gerakan perjuangan mahasiswa misalnya Budi Utomo (1908); Indishe Vereeninging (1922); angkatan 1928 dengan Sumpah Pemudanya - dengan dukungan dari organisasi kepemudaan seperti Kelompok Studi Indonesia,  Kelompok Studi Umum;  Angkatan 1945, Angkatan 1966; Angkatan 1978; Angkatan 1998.  Beberapa tokoh atau Pemimpin telah lahir dari gerakan perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan, seperti Presiden Soekarno. Presiden Pertama - Republik Indonesia.
            Simpul perjuangan gerakan mahasiswa angkatan 1998 adalah menuntut reformasi serta mendorong dihapuskannya  KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Gerakan mahasiswa angkatan 1998 melakukan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, yang akhirnya dapat memaksa Presiden Soeharto lengser dari jabatanya. Untuk memperjuangkan gerakan mahasiswa angkatan 1998, tindakan represif dialami mahasiswa, yang karenanya menewaskan beberapa aktivis mahasiswa, seperti dalam peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisaksi, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Lampung.
            Besarnya pengorbanan mahasiswa memperjuangkan keadilan pada tahun 1998, semangatnya perlu diikuti dengan gerakan mahasiswa angkatan 2019 dengan gerakan tagar #reformasidikorupsi. Gerakan mahasiswa angkatan 2019 diperhadapkan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) yang kurang mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat banyak, seperti RUU KUHP, RUU Pertanahan, UU KPK (Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi) yang telah direvisi.
            KPK dapat dikatakan pilar utama dalam bagian pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dicegah segala upaya yang dapat membuat KPK menjadi lemah dalam menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya. Ketika pencegahan dan pemberantasan korupsi lemah, maka dapat membuat  ketidakadilan  akan semakin nyata.
            Melalui desakan dari gerakan mahasiswa angkatan 2019,  pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan sudah ditangguhkan, sedangkan tantangan berikutnya adalah memperjuangkan supaya KPK jangan sampai dilemahkan, karena disinyalir substansi UU KPK yang direvisi memperlemah KPK.
            Sebetulnya gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan, dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Pertama, konservatif atau quitter. Pada kelompok mahasiswa ini dorongan memperjuangkan keadilan relative rendah. Mereka berprinsip gerakan demonstrasi atau turun ke jalan tidak perlu. Ada keyakinan nanti setelah lulus dari bangku kuliah, baru memperjuangkan keadilan. Masalahnya setelah lulus, mayoritas penggunaan waktu, sudah terfokus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tentu jarang terbentuk Pemimpin atau tokoh besar dari komunitas mahasiswa yang konservatif atau quitter, dan rasa perduli ke masyarakat dari kelompok ini relatif rendah.
            Kedua, camper atau liberal.  Pada kelompok ini dorongan mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat banyak relatif tinggi dan memiliki motivasi yang tinggi untuk turun ke jalan atau melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan keadilan, dan mereka berupaya supaya dapat menjadi bagian dari penyelenggara neagara  di suatu saat supaya dapat mengwujudkan keadilan yang didamba masyarakyat banyak. Kelemahan profil mahasiswa pada kelompok ini, setelah menduduki jabatan tertentu pada bagian penyelenggara Negara berubah menjadi quitter atau konservatif atau berhenti memperjuangkan keadilan – tidak mau dan mampu lagi berupaya, malahan ikut  menghambat gerakan mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan, seperti dalam pemberantasan korupsi. Ironis sekali, kalau sampai ada profil mahasiswa yang awalnya camper, tetapi ikut andil menyusun atau mendukung peraturan perundangan-undangan yang memperlemah KPK.    
            Ketiga, climber. Profil mahasiswa pada bagian ini memiliki motivasi yang tinggi untuk memperjuangkan keadilan, walapun kadang-kadang taruhannya menghadapi resiko yang tinggi, mereka proaktif turun ke jalanan atau ke lapangan membawa suara perjuangan supaya keadilan tetap nyata. Mahasiswa pada kelompok ini memiliki motivasi yang tinggi merealisasikan tujuannya. Walapun para mahasiswa pada kelompok ini misalnya  sudah menduduki jabatan atau menjadi unsur pimpinan pada lembaga Negara atau memimpin di berbagai institusi (swasta), tetapi mereka terus masih antuasias perduli dan mau memperjuangkan kualitas keadilan bagi masyarakat banyak – mereka terus mendaki memperjuangkan keadilan supaya kehidupan masyarakat banyak adil dan sejahterah. Terbuka dari kelompok mahasiswa ini, yang telah sukses di kemudian hari menjadi pemimpin yang efektif, baik di pemerintahan atau swasta, dan mereka pada umumnya memiliki karakter menjadi filantrofis, yang senantiasa perduli dengan kehidupan yang lebih baik dari masyarakat banyak.
            Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah hal yang bernegasi dengan upaya menegakkan keadilan. Oleh karena itu, gerakan-gerakan mahasiswa untuk memperjuangkan keadilan, terutama dari profil camper dam climber, perlu meningkatkan upaya perjuangannya untuk mematahkan segala upaya yang dapat memperlemah upaya pencegahan dan pemberantasan KKN, baik saat ini maupun masa yang akan datang. Semoga.
(*Penulis adalah Pengamat Sosial dan Hukum)       

Rabu, 09 Oktober 2019

Fintech P2P Lending in Indonesia : Observing the Fintech P2P Lending Business Growth Acceleration


Fintech P2P Lending in Indonesia :
Observing the Fintech P2P Lending 
Business Growth Acceleration


By: Kardi Pakpahan*
If we look at the growth of Financial Technology (Fintech) businesses, especially Peer to Peer Lending or P2P Lending, also known as network loans, it can be said to be in the zone of acceleration, whose growth is above the average of the financial services industry. the other. For example, lending through Fintech P2P Lending in July 2018 amounted to Rp 9.21 Trillion, while in July 2019 the total lending through 127 Fintech P2P Lending institutions has reached Rp 49.79 Trillion. As of July 2019, around 70% of Fintech P2P Lending customers are aged 19 to 34 years.
Several factors contribute to the acceleration of Fintech P2P Lending's business growth. Some of them are put forward in the following description. First, settings. On December 28, 2016 the Financial Services Authority (OJK) has issued OJK Regulation or POJK No.77 / POJK.01 / 2016 regarding Information Technology-Based Money Lending and Borrowing Services. After the POJK was put in place, attention was paid to organizing a relatively large Fintech P2P Lending business and as of July 2019, 127 Fintech P2P Lending businesses had been registered with the OJK. Another arrangement that supports the nature of the Fintech P2P Lending business is POJK No.13 / POJK.02 / 2018 concerning Digital Financial Innovations (IKD) in the Financial Services sector.
Second, licensing. The mechanism of Fintech P2P Lending business licensing activities starts from the registration process at the OJK Fintech Regulation, Licensing and Supervision Directorate, after fulfilling the requirements as specified by POJK No.77 / POJK.01 / 2016, the license is granted by OJK. After being registered with OJK, Fintech P2P Lending can run its business activities.
Third, big capital. Based on data released by the OJK recently, it emphasizes that Indonesia has a large capital to support the development of Fintech. These capital indicators, some of which are a) 52 million people are categorized as middle class, which is also called the phrase consuming class and enjoy demographic bonus in 2030; b) total internet users 150 million or growing 13% (yoy) with penetration reaching 56%; c) the percentage of mobile banking users reaches 61%; d) millennial numbers are increasing, which currently has reached 88 million.
Fourth, OJK's strategic policies. One of OJK's strategic policies in 2019 out of 5 main pillars, which can be said to have supported the acceleration of Fintech P2P Lending business growth is to prepare the financial services industry in the face of the Industrial Revolution 4.0, which is supported by programs: a) digitization of financial products and services; b) Fintech P2P Lending start-up and equity crowdfunding development facilities; c) arrangements that encourage innovation and consumer protection; d) increasing public literacy in fintech; e) law enforcement for start ups.
Fifth, SLIK is not required. As a financial service provider through the provision of loans in the network, Fintech P2P Lending has not been required to follow the Financial Information Service System (SLIK). SLIK is a substitute for SID (Debtor Information System). SLIK is used to check prospective Debtors whether they have non-current loans or problem loans at other financial institutions. Tend to be more prospective borrowers using the Fintech P2P Lending application because they have not implemented SLIK.
Sixth, investor support. Although age is still relatively easy, considering the Fintech P2P Lending growth acceleration, investor interest is relatively large. Of course this is important, because capital for Fintech P2P Lending is like a fourth table leg. For the development of the Fintech P2P Lending business so that it is efficient, and has high performance and competitiveness, it requires relatively large capital.
Accelerated growth of Fintech P2P Lending needs to be maintained so that opportunities open for more members of the public to enjoy financial services and can encourage various economic activities. To maintain or increase the growth of the Fintech P2P Lending business, the parties concerned need to make some efforts. Some of the efforts that are intended will be put forward in the following description.
First, regulatory support. Given the trend of Fintech P2P Lending growth in the future, there is a need for regulation in the Act (UU), which can be realized in the Fintech Law or Credit Law - including loan or credit regulation in the network. With the intended law, in addition to prioritizing the substance of the regulations related to the implementation of Fintech's business, it also accommodates efforts to anticipate and overcome Illegal Fintech practices, which in recent times had troubled the public in various places in the archipelago.
Second, recruitment of superior human resources from banks. Human Resources (HR) in the business structure of Fintech P2P Lending so far, both in the top position (top management) and in the midline of the organization (middle management), and in the first line (first management) does not all have a background from financial / banking services businesses. To maintain or improve business growth, it is necessary to recruit superior human resources who are relatively young and master information technology from banks to help Fintech P2P Lending for the preparation and implementation of business plans / business models, risk control, cost & pricing for the calculation of the imposition loan interest basis so as to get optimal results while maintaining the balance of assets and liabilities.
Third, cooperation between Fintech P2P Lending and other financial service providers. In order to make the presence of Fintech P2P Lending more positive, it is necessary to collaborate with other financial service providers. Collaboration with commercial banks and rural banks (Bank Perkreditan Rakyat), for example, can be realized in the distribution of syndicated loans and credit forwarding patterns (Channeling). Cooperation of Fintech P2P Lending with insurance businesses, for example, can be aimed at providing credit life insurance services or credit guarantee objects insurance.
Fourth, enhancing the quality of customer protection. Both in terms of regulation and efforts of controlling Fintech P2P Lending it is necessary to improve the quality of protection for customers or consumers of Pindar services or Fintech Lending. Relevant to this effort, it is better for the Personal Data Bill to be immediately enacted or enacted. The presence of the Personal Data Act needs to support the protection of Fintech customers, as well as becoming a guideline for the supervisory authority and organizer of Fintech P2P Lending.
Fifth, market expansion. The focus of Fintech P2P Lending marketing so far can be said to be still more dominant on the island of Java. Bearing this in mind, it is necessary to expand markets and providers of Fintech P2P Lending to other regions in the archipelago, to further open wider access to financial services to the public or expand financial inclusion.
Sixth. HR Development. To support and maintain the acceleration of business growth, it is necessary to conduct an HR development program, which is organized by the Fintech P2P Lending company independently or through an association. Not long ago, AFPI (Indonesian Joint Funding Fintech Association) has conducted competency certification training for shareholders, directors and commissioners. To support the development of HR in Fintech P2P Lending companies in the middle line (middle management), AFPI needs to initiate, plan and organize training programs to develop HR competencies in the midfield.
Seventh, increasing the quality of licensing services. To ensure the acceleration of Fintech P2P Lending business growth, it is necessary to improve the quality of licensing services, such as in accelerating the completion of permits starting from registration. If an increase in the quality of licensing can be realized, then investors who are interested in Fintech P2P Lending, both in direct investment or indirect investment activities (such as stock purchases), will tend to be even greater.
Eighth, Fintech P2P Lending financial report standards. In order to create transparency in the operation of the Fintech P2P Lending business, which can therefore increase public confidence, especially Investors, it is necessary to prioritize financial reporting standards. To support this, AFPI needs to coordinate with OJK and IAI for the preparation of accounting standards or Fintech P2P Lending financial reports.
Ninth, balance in maintaining business growth. As a startup, the Fintech P2P Lending business needs to maintain the balance of business development elements, such as financial aspects, customers, internal processes, organizational development, so that sustainability or going concern can be realized. For example, the relatively high growth in business volume, needs to be followed by the realization of a balanced target in the area of ​​profitability ratios, both in terms of Return on Assets (ROA) and Return on Equity (ROE). In the case of accelerating the customer acquisition program, for example, it needs to be followed by a customer retention program, customer value and customer satisfaction. If improving the application platform technology in improving the internal quality of the Fintech P2P Lending business process, it is necessary to maintain a balance between reliability, integration and continuity. For organizational development, for example, when you have received HR, don't forget to develop it. Hopefully
(* Alumnus of the Faculty of Law, University of Indonesia, Advocate, Trainer & Observer Fintech, WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)

Minggu, 06 Oktober 2019

Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending


Rubrik  Opini :
Mencermati Akselerasi Pertumbuhan Usaha Fintech P2P Lending

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Bila dicermati pertumbuhan  usaha Financial Technology (Finctech), khususnya Peer to Peer Lending  atau P2P Lending, yang juga dikenal dengan istilah pinjaman dalam jaringan (Pindar),  dapat dikatakan berada pada zona akselerasi, yang pertumbuhannya berada di atas rata-rata industri penyelenggara jasa keuangan lainnya. Sebagai contoh, penyaluran Pinjaman melalui Fintech P2P Lending pada Juli 2018 sebesar Rp 9,21 Triliun, sedangkan pada bulan Juli 2019  total penyaluran pinjaman melalui 127 institusi Fintech P2P Lending sudah mencapai  Rp 49,79 Triliun.  Sampai Juli 2019, sekitar 70% nasabah pembiyaan Fintech P2P Lending berusia 19 sd 34 tahun.
            Beberapa faktor turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, pengaturan. Pada tanggal 28 Desember 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK atau POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Setelah POJK tersebut diberlakukan atensi untuk menyelenggarakan usaha Fintech P2P Lending relatif besar dan sampai bulan Juli 2019 sudah 127  usaha Fintech P2P Lending yang telah  terdaftar di OJK. Pengaturan lain yang sifatnya mendukung usaha Fintech P2P Lending adalah POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di sektor Jasa Keuangan.
            Kedua, perizinan.  Mekanisme kegiatan perizinan usaha Fintech P2P Lending dimulai dari proses pendaftaran pada Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK,  setelah memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan POJK No.77/POJK.01/2016, maka izin diberikan oleh OJK. Setelah terdaftar di OJK, Fintech P2P Lending sudah dapat menjalankan kegiatan usahanya.
            Ketiga, modal besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh OJK belum lama ini, mengedepankan bahwa Indonesia memiliki modal besar untuk mendukung perkembangan Fintech. Indikator modal tersebut, sebagian diantaranya adalah a) 52 juta orang terkategori sebagai middle class, yang disebut juga dengan ungkapan consuming class dan menikmati bonus demografi pada tahun 2030; b) total pengguna internet 150 juta atau tumbuh 13% (yoy) dengan penetrasi mencapai 56%; c) persentase pengguna mobile banking mencapai 61%; d) jumlah milenial semakin banyak, yang saat ini sudah mencapai 88 juta.
            Keempat, kebijakan strategis OJK. Salah satu Kebijakan strategis OJK  tahun 2019 dari 5 pilar utama, yang dapat dikatakan turut mendukung akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending adalah mempersiapkan industri jasa keuangan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, yang didukung dengan program  : a)  digitalisasi produk dan layanan keuangan; b) fasilitas pengembangan start up Fintech P2P Lending dan equity crowdfunding; c) pengaturan yang mendorong inovasi dan perlindungan konsumen; d) peningkatan literasi masyarakat terhadap fintech; e) penegakan hukum bagi start up.
            Kelima, belum wajib SLIK. Sebagai penyelenggara jasa keuangan melalui penyediaan pinjaman dalam jaringan, Fintech P2P Lending belum diwajibkan mengikuti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). SLIK merupakan pengganti dari SID (Sistem Informasi Debitur). SLIK digunakan untuk pengecekan calon Debitur apakah memiliki pinjaman non lancar atau fasilitas kredit bermasalah pada lembaga keuangan lainnya. Cenderung lebih banyak calon peminjam menggunakan aplikasi Fintech P2P Lending karena belum menerapkan SLIK.  
            Keenam, dukungan investor. Walapun usia masih relatif mudah, namun mengingat akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending minat investor relatif besar. Tentu hal tersebut penting, karena modal bagi Fintech P2P Lending, ibaratnya sebagai kaki meja yang keempat. Untuk pengembangan usaha Fintech P2P Lending supaya efisien, serta memiliki kinerja dan daya saing tinggi memerlukan modal yang relatif besar.
            Akselerasi pertumbuhan Fintech P2P Lending perlu dipelihara supaya  terbuka kesempatan semakin banyak anggota masyarakat menikmati jasa keuangan dan dapat mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Untuk memelihara atau meningkatkan pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending,  maka pihak-pihak yang terkait perlu mengupayakan beberapa upaya. Sebagian dari beberapa upaya yang dimaksudkan akan dikedepankan pada uraian berikut.
            Pertama, dukungan regulasi. Mengingat kecenderungan pertumbuhan Fintech P2P Lending pada masa yang akan datang, maka perlu pengaturan dalam Undang-undang (UU), yang dapat diwujudkan dalam UU Fintech atau UU Perkreditan – termasuk pengaturan pinjaman atau kredit dalam jaringan. Dengan UU yang dimaksudkan, disamping mengedepankan substansi pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan usaha Fintech,  juga sekaligus mengakomodir upaya mengantisipasi dan mengatasi praktek Fintech Ilegal, yang dalam beberapa waktu terakhir sempat meresahkan masyarakat di berbagai tempat di Nusantara.
            Kedua, rekruitmen SDM unggul dari perbankan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada struktur usaha Fintech P2P Lending  selama ini, baik pada posisi puncak (top management) maupun pada jajaran lini tengah organisasi (middle management),  maupun pada sisi lini pertama (first management) tidaklah semua memiliki latar belakang dari usaha jasa keuangan/perbankan. Untuk memelihara atau meningkatkan akselarasi pertumbuhan usaha, maka perlu dilakukan rekruitmen  SDM yang unggul yang relatif masih usia muda serta menguasai teknologi informasi dari perbankan untuk membantu Fintech P2P Lending untuk penyusunan dan pelaksanaan rencana bisnis/model bisnis, pengendalian resiko, cost & pricing untuk penghitungan pengenaan dasar bunga pinjaman sehingga mendapatkan hasil optimal dengan tetap menjaga keseimbangan aktiva dan pasiva.
            Ketiga, kerjasama antara Fintech P2P Lending dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Supaya kehadiran Fintech P2P Lending semakin positif maka perlu digalang kerjasama dengan penyelenggara jasa keuangan lainnya. Kolaborasi  dengan Bank Umum dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) misalnya dapat diwujudkan dalam penyaluran kredit sindikasi (syndicated loan) maupun pola penerusan kredit (Channeling). Kerjasama Fintech P2P Lending  dengan usaha asuransi misalnya dapat diwujukan dalam pengadaan jasa asuransi jiwa kredit atau asuransi benda jaminan kredit.
            Keempat, peningkatkan kualitas perlindungan nasabah.  Baik dari sisi regulasi maupun upaya dari penyenggara Fintech P2P Lending perlu dilakukan peningkatan kualitas perlindungan kepada nasabah atau konsumen jasa Pindar atau Fintech Lending. Relevan dengan upaya ini, maka ada baiknya RUU Data Pribadi perlu segera diundangkan atau diberlakukan.  Kehadiran UU Data Pribadi perlu untuk mendukung perlindungan nasabah Fintech, sekaligus menjadi pegangan bagi otoritas pengawas dan penyelenggara Fintech P2P Lending. 
            Kelima, perluasan pasar.   Fokus pemasaran Fintech P2P Lending selama ini dapat dikatakan masih lebih dominan di pulau jawa. Mengingat hal tersebut, perlu perluasan pasar  dan penyelenggara Fintech P2P Lending ke wilayah lainnya di nusantara, untuk semakin membuka akses yang lebih luas jasa keuangan ke masyarakat atau memperluas inklusi keuangan.
            Keenam. Pengembangan SDM. Untuk mendukung  dan memelihara akselerasi pertumbuhan usaha, maka  perlu dilakukan program pengembangan SDM, baik yang diselenggarakan perusahan Fintech P2P Lending secara mandiri maupun melalui asosiasi.  Belum lama ini, AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) telah melakukan pelatihan sertifikasi kompetensi untuk pemegang saham, direksi dan komisaris. Untuk mendukung pengembangan SDM pada perusahaan Fintech P2P Lending di lini tengah (middle management), AFPI perlu memprakarsai, merencanakan dan menyelenggarakan  program pelatihan untuk pengembangan kompetensi SDM di lini tengah.
            Ketujuh, peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Untuk memastikan akselerasi pertumbuhan usaha Fintech P2P Lending, maka perlu ditingkatkan kualitas pelayanan perizinan, seperti dalam percepatan penyelesaian izin mulai dari pendaftaran.  Jika peningkatan kualitas perizinan dapat diwujudkan, maka investor yang tertarik pada Fintech P2P Lending, baik dalam kegiatan investasi langsung ataupun investasi tidak langsung (seperti pembelian saham), akan cenderung semakin besar.
            Kedelapan, standar laporan keuangan Fintech P2P Lending.  Dalam rangka mengwujudkan transparansi dalam penyelenggaraan usaha Fintech P2P Lending, yang karenanya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama para Investor,   maka perlu didepankan standar laporan keuangan. Untuk mendukung hal tersebut maka AFPI perlu melakukan kordinasi dengan OJK dan IAI untuk penyusunan standar akuntansi atau laporan keuangan Fintech P2P Lending.
            Kesembilan, keseimbangan dalam memelihara pertumbuhan usaha. Sebagai usaha rintisan atau startup, usaha Fintech P2P Lending, perlu menjaga keseimbangan unsur pengembangan usaha, seperti aspek financial, customer, internal proses, pengembangan organisasi, supaya dipastikan sustainability atau going concern dapat diwujudkan. Misalnya saja, pertumbuhan volume usaha yang relatif tinggi, perlu  diikuti dengan realisasi target yang seimbang di bidang rasio profitabilitas, baik di sisi Return on Aset (ROA) maupun Return on Equity (ROE). Dalam hal akselerasi program customer acquisition misalnya,  perlu diikuti dengan program customer retention, customer value maupun customer satisfaction. Jika meningkatkan teknologi platform aplikasi dalam meningkatkan mutu internal proses usaha Fintech P2P Lending, perlu dijaga keseimbangan antara keandalan, keterpaduan dan kesinambungan. Untuk pengembangan organisasi misalnya, ketika sudah menerima SDM, maka jangan lupa mengembangkannya. Semoga
(*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Advokat, Trainer & Pengamat Fintech, WA = 0813-2895-0019, IG = kardi_pakpahan)

Senin, 30 September 2019

Wacana Perpu Revisi UU KPK : dari alasan Subyektif ke Obyektif


Opini  :


Wacana Perpu Revisi UU KPK :  dari alasan Subyektif ke Obyektif

(Presiden Berhak Mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK)

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Salah satu solusi atas polimik revisi UU KPK yang mencuat belakangan ini adalah pada instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Dikatakan begitu, dari azas manfaat serta dari keberluakuan kaedah hukum secara sosiologis, psikologis dan filosofis, Perpu merupakan pilihan yang paling tepat dan dapat mengantisipasi resiko besar yang mungkin terjadi. Dikatakan demikian, karena Penolakan terhadap revisi UU KPK yang baru disahkan relatif besar, baik dari sisi formil maupun material, dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa.  Pembuatan Perpu adalah hak yang berada di tangan presiden, pejabat-pejabat di bawah Presiden tak punya hak atau wewenang untuk mengeluarkan Perpu.
            Dari gerakan demontrasi mahasiswa yang memprotes revisi UU KPK yang mengemuka akhir-akhir ini, yang telah menelan korban jiwa dari sisi mahasiswa perlu diapresiasi. Dikatakan demikian, karena jika terjadi demontrasi mahasiswa semasif dan sebesar yang terjadi di bulan September 2019 ini, maka biasanya karena ada unsur keadilan yang  perlu  diperjuangkan mahasiswa, karena memang selama ini kegiatan para mahasiswa terfokus di kampus.
            Mengingat Perpu  merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk mengatasi polemik UU KPK, perlu didepankan dasar hukum Perpu. Bila disimak, landasan hukum yang ada, maka perlu dikedepankan dasar hukum Perpu pada uraian berikut.
Pertama, pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Disana dikatakan :”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Pada bagian penjelasan pasal 22 ayat 1  UUD 1945 dijelaskan : ”pasal ini mengenai noodverordeningrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat….”.
            Kedua,  Pasal 1 angka 3 Perpres No.87/2014. Ketentuan ini menyatakan :”Perpu adalah Peraturam Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam  ikwal kepentingan yang memaksa”.
            Ketiga, pasal 1 angka 4 UU No.12/2011. Pada pasal ini dikatakan :” Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
            Keempat, Putusan Mahkamah Konsitusi No.138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010. Pada putusan MK ini, khususnnya pada angka 3.10 bagian pertimbangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila : 1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
            Kelima, Putusan MK No.003/PUU-III/2005 tertanggal 7 Juli 20015. Pada bagian menimbang angka 3.8 putusan MK ini  disampaikan :” Menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan : 1) Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; 2) Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa; 3) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
            Dari hal-hal yang disebutkan di atas, tentang wewenang Presiden menetapkan atau mengeluarkan  Perpu, seperti Perpu tentang masalah revisi UU KPK  dengan batasan frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dapat dikatakan lebih tepatnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-undang. Dan menurut pasal 22 ayat 3 UUD 1945 manakala Perpu tidak disetujui oleh DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Perihal mekanisme  pengajuan Perpu oleh Presiden  sampai ke pembahasan di DPR diatur pada pasal 52 UU No.12/2011, yaitu  1). Perpu  harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;  2). Pengajuan Perpu sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang;  3). DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu; 4). Dalam hal Perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;  5). Dalam hal Perpu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;  6). Dalam hal Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang tentang Pencabutan Perpu; 7). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;  8). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama.
Berangkat dari uraian di atas, keputusan Presiden untuk untuk mengeluarkan Perpu yang terkait untuk mengatasi masalah revisi UU KPK adalah hak subyektif Presiden dan menjadi obyektif setelah mendapat persetujuan dari DPR, adalah memiliki landasan hukum yang kuat dan sah. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko yang paling buruk. Ada baiknya, kalau memungkinkan, presiden dalam waktu dekat dapat mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK. Semoga.
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat dan Pengamat Masalah Hukum).

Jumat, 27 September 2019

UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan dan Urgensi Perubahan

Rubrik  Opini :
UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan 
dan Urgensi Perubahan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS didirikan dengan diundangkannya UU No.24/2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, yang disebut juga Undang-undang  LPS atau UU LPS,  pada 22 September 2004.  LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan mendukung stabilitas sistem perbankan.   Sistem penjaminan simpanan nasabah melalui LPS dapat dikatakan menggantikan sistem penjaminan yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana yang telah diketahui sistem penjaminan simpanan nasabah sebelumnya diatur melalui  Kepres No.26/1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum dan Kepres No.193/1998 tentang  jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mengedepankan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank termasuk simpanan masyarakat, yang dikenal dengan istilah blanket gurantee.
            Melalui UU No.7/2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.66/2008, nilai simpanan yang dijamin LPS untuk setiap nasabah pada satu bank yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU LPS ditetapkan paling banyak Rp 100.000.000,- diubah menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,- . Hal ini bisa terjadi karena UU LPS menganut sistem penjaminan simpanan  yang terbatas.
            Disamping merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah pada perbankan, berdasarkan pasal 5 UU LPS tugas lain dari LPS adalah a) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c) melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
            Pada tanggal 22 September 2019 penerapan UU LPS telah genap 15 tahun. Apakah kira-kira yang menjadi catatan yang perlu dikedepankan pada penerapan UU LPS selama ini dan masa yang akan datang ? Kalau dicermati penerapan UU LPS selama ini, catatan yang perlu dikedepankan pada dua sisi utama, yaitu perlu penerapan secara efektif dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan usaha perbankan/jasa keuangan perlu dilakukan perubahan. Sebagian dari catatan itu akan dikedepankan pada uraian beriku.
            Pertama,  kantor LPS. Jaringan usaha LPS sebetulnya adalah seluruh wilayah Indonesia, Namun hingga  saat ini kantor LPS cuma  di Jakarta, di kawasan elit Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, dengan cara sewa. Mungkin kalau digunakan dana sewa kantor LPS secara optimal selama ini di kawasan SDBD Jakarta, maka LPS sebetulnya terbuka peluangnya berkantor atau memiliki  kantor di beberapa kota besar untuk menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya secara efektif. Akibat kantor LPS yang cuma ada di Jakarta misalnya, dapat dikatakan adalah berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan klaim simpanan nasabah pada Bank yang telah dicabut izin usahanya, pengawasan pelaksanaan likuidasi bank, pelaksanaan  rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi yang terkait dengan pelaksanaan penjaminan simpanan.  Contohnya,  seorang nasabah yang telah menabung bertahun-tahun di suatu bank yang telah ditutup atau dicabut izin usahannya dengan saldo Rp 80 juta yang relatif jauh dari Jakarta, setelah mengajukan klaim tetapi ditolak LPS, dan tahap berikutnya hal yang dilakukan menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan gugatan ke LPS melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide : pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS), selaku tempat kedudukan hukum LPS (actor sequitur forum rei). Kalaupun nasabah tersebut memenangkan gugatannya, bisa menjadi tidak dapat apa-apa karena tingginya biaya yang dikeluarkan melakukan upaya hukum.
            Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU LPS sebetulnya LPS dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hal tersebut, model baru kantor LPS di wilayah lain di Nusantara, dapat dikembangkan, baik secara permanen atau sementara. Kantor LPS sementara, antara 1 sampai 2 tahun  dapat diselenggarakan di luar Jakarta dalam rangka pengawasan likuidasi bank (vide : pasal 49 UU LPS), atau pelaksanaan klaim simpanan nasabah, khususnya melalui upaya hukum, manakala ada Bank yang ditutup yang  jauh dari kantor  pusat LPS.
Kedua, kedudukan kreditur. Kreditur  merupakan setiap pihak yang memiliki tagihan kepada Bank dalam Likuidasi.  Setiap pembayaran yang dilakukan Tim Likuidasi kepada para Kreditur pada sebuah Bank dalam Likuidasi, berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU LPS harus akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan dan susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi diatur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a) penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c) biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d) biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e) pajak yang terutang; f) bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g) hak dari kreditur lainnya”. Kalau dicermati susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi, maka Kreditur a sampai dengan f merupakan kreditur yang diistimewakan, berdasarkan skala prioritas dari Kreditur a sampai f, sedangkan kreditur lainnya berada pada kelompok huruf  g. Sehingga kalau ada kreditur yang memegang jaminan gadai atau hak tanggugan/hipotik pada Bank dalam likuidasi, dapat dikatakan berada pada kelompok Kreditur lainnya, dengan tetap memegang hak preferen diantara kreditur lainnya yang mungkin ada.
            Di dalam kondisi tertentu  terbuka kreditur yang diistimewakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur pemegang jaminan gadai atau hipotik/hak tanggungan. Ketentuan yang terkait dengan hal tersebut diatur  pada pasal 1134 KUHPerdata. Disana dikatakan :”Hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
            Dalam pada itu, berbeda dengan pasal 55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU LPS pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal dengan kedudukan kreditur  separatis. Dengan demikian, supaya akuntabel, pembayaran yang dilakukan kepada Kreditur pada Bank dalam likuidasi dilaksanakan sesuai dengan urutan kreditur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS.
            Ketiga,  masalah pesangon pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pembayaran pesangon pegawai pada Bank dalam Likuidasi, sebagaimana yang ditentukan pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU LPS,  berupa penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai. Dalam penerapannya, ada pihak yang mereduksi hak-hak pegawai sebagai konsekuensi PHK pada Bank dalam Likuidasi adalah pesangon saja.  Jika dikaitkan dengan alasan PHK dikarenakan perusahaan tutup atau karena bank ditutup, menurut pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 hak-hak pegawai  yang mengalami PHK adalah uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 juga seirama dengan imbalan kerja Pesangon yang ditentukan pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 24 (PSAK 24) yang substansinya terdiri dari 3 bagian yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
            Hak-hak pegawai sebagai konsekuensi dari PHK pada Bank dalam Likuidasi, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak juga telah dikuatkan  melalui putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada putusan Perkara Nomor : 250/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Medan tertanggal 21 Maret 2018. Berangkat dari hal tersebut, maka istilah pesangon pada ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf b UU LPS, sudah sepantasnya berisi 3 komponen hak-hak pegawai yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
            Keempat, dewan pengawas. Organ LPS menurut  pasal 62 UU LPS terdiri atas Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner adalah pimpinan LPS (Vide : pasal 63 ayat 1 UU LPS). Dalam pada itu, menurut pasal  70 ayat 1 UU LPS, Dewan Komisioner berwenang mewakili LPS di dalam dan di luar pengadilan. Mengingat tugas LPS akan bertambah dengan diberlakuknya UU No.6/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan kecenderungan bertambahnya volume usaha LPS sekitar 1 sampai 2 kali dari dari yang ada saat ini sebagai konsekuesni pengumpulan dana premi Restrukturisasi Perbankan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, maka organ LPS dari yang ada saat perlu ditambah Dewan Pengawas LPS dengan melakukan perubahan terhadap UU LPS.
            Kelima, substansi tata kelola LPS. Asas tata kelola LPS menurut pasal 2 ayat 3 UU LPS terdiri dari 3, yaitu independen, transparan, dan akuntabel.  Searah dengan pengembangan LPS, asas tata kelola LPS tersebut perlu dilengkap dengan asas kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas tata kelola pertanggungjawaban (responsibility) yang merupakan kesesuaian pengelolaan LPS dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan LPS yang sehat. Penambahan asas tata kelola ini dapat dimasukkan dalam program perubahan UU LPS, khususnya pasal 2 ayat 3. Semoga
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat  &  Pengamat Perbankan, Telp/WA : 0813-2895-0019; IG : kardi_pakpahan)