Minggu, 08 September 2019

Menyoal Revisi UU KPK


Catatan Hukum :
Menyoal  Revisi UU KPK

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Revisi atau perubahan terhadap sebuah Undang-undang haruslah tetap progresif, jangan sampai mengalami kemunduran. Setiap pihak yang mau melakukan perubahan Undang-undang atas wewenang yang dimiliki hasruslah mempersiapkan dengan baik dan tetap memilih skala prioritas. Zona skala prioritas itu adalah sesuatu yang memiliki alasan yang kuat untuk didahulukan, yaitu disamping mendesak juga penting. Jangan misalnya, sesuatu mendesak tetapi tidak penting, atau sesuatu yang tidak mendesak tetapi penting, atau sesuatu yang tidak mendesak dan tidak penting dijadikan menjadi yang terutama dan pertama atau pada posisi skala prioritas.
            Salah satu reivisi Undang-undang yang mau dilakukan adalah revisi atau  perubahan  UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau dicermati dari substansi peraturan perundang-undangan, maka revisi UU KPK belumlah dapat dikatakan sebagai skala prioritas, karena masih ada beberapa peraturan perundan-undangan lain yang perlu direvisi, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan lain=lain.  
Seperti yang mengemuka di media massa, disinyalir melalui draft revisi UU KPK ada beberapa bagian  yang diduga dapat memperlemah posisi KPK. Bagian yang dimaksudkan diuraian pada bagian berikut. Pertama, independensi KPK.  Dalam draft revisi UU KPK, KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat. Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN (Aparatur Sipil Negara) sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.
            Kedua, perihal penyadapan. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya. Padahal, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup.
            Ketiga, posisi dewan pengawas KPK. DPR memperbesar kekuasaannya dengan memilih Dewan Pengawas. Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara korupsi, seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
            Keempat, perihal penyelidik dan penyidik. Dalam draft revisi UU KPK ditentukan bahwa Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan penyidik PNS. Hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan KPK dapat juga mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
            Kelima, penuntutan perkara korupsi. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini dapat mengurangi independensi KPK dan semakin banyaknya tahapan  yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara korupsi.
            Keenam, Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal seperti yang telah diketahui pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
            Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dihilangkan. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih pada tahap penuntutan sebagaimana diatur di Pasal 9 UU KPK. Pada pasal 9 UU KPK dikatakan :”Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan”.
            Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kewenangan pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol akan dihilangkan.
            Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dihapus. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara.
            Sebagaimana yang telah diketahui hadirnya UU No.30/2002 sebagai pelaksanaan dari Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berangkat dari hal tersebut, maka kalau pun dilakukan perubahan UU KPK, yaitu UU No.30/2002 janganlah sampai memperlemah posisi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
            Dalam pada itu, kalau disimak sembilan bagian draft revisi UU KPK, maka dapat dikatakan belum mencerminkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No.12/2011 dan asas materi muatan peraturan perundangan-undangan sebagai mana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011.
            Salah satu asas pembentukan paraturan perundangan-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 UU No.12/2011 adalah asas keterbukaan. Dalam asas keterbukaan ini, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bila asas keterbukaan ini dijalankan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, maka    penerapan peraturan perundangundangan tersebut di dalam masyarakat akan berlangsung secara efektif, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Munculnya draft revisi UU KPK terkesan mendadak dan dilakukan diujung masa kerja DPR 2014 – 2019.
            Dari sisi asas materi muatan peraturan perundang-perundangan, sebagaimana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011, bahwa draft revisi UU KPK kurang mencerminkan asas keadilan, yang menghendaki bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara. Sebagian besar masyarakat sangat menentang korupsi dan salah satu faktor dominan yang merusak keadilan di nusantara adalah praktek korupsi.
            Berdasarkan uraian yang dikedepankan, karena revisi UU KPK tidaklah termasuk dalam skala prioritas, diduga melemahkan posisi KPK, belum sepenuhnya sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan  juga belum memenuhi asas materi muatan peraturan perundang-undangan, maka revisi UU KPK sudah sebaiknya belum menjadi skala prioritas bagi Presiden saat ini, dan kalaupun ada rencana rivisi UU KPK yang sifatnya memperkuat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan pada periode 2019 – 2024. Semoga.  
(*adalah Alumnus FH-UI, Advokat, IG : kardi_pakpahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar