Catatan
Hukum :
Menyoal
Revisi UU KPK
Oleh : Kardi Pakpahan*
Revisi atau
perubahan terhadap sebuah Undang-undang haruslah tetap progresif, jangan sampai
mengalami kemunduran. Setiap pihak yang mau melakukan perubahan Undang-undang
atas wewenang yang dimiliki hasruslah mempersiapkan dengan baik dan tetap
memilih skala prioritas. Zona skala prioritas itu adalah sesuatu yang memiliki
alasan yang kuat untuk didahulukan, yaitu disamping mendesak juga penting.
Jangan misalnya, sesuatu mendesak tetapi tidak penting, atau sesuatu yang tidak
mendesak tetapi penting, atau sesuatu yang tidak mendesak dan tidak penting
dijadikan menjadi yang terutama dan pertama atau pada posisi skala prioritas.
Salah satu reivisi Undang-undang
yang mau dilakukan adalah revisi atau
perubahan UU No.30/2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau dicermati dari substansi peraturan
perundang-undangan, maka revisi UU KPK belumlah dapat dikatakan sebagai skala
prioritas, karena masih ada beberapa peraturan perundan-undangan lain yang
perlu direvisi, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan lain=lain.
Seperti
yang mengemuka di media massa, disinyalir melalui draft revisi UU KPK ada
beberapa bagian yang diduga dapat memperlemah
posisi KPK. Bagian yang dimaksudkan diuraian pada bagian berikut. Pertama, independensi KPK. Dalam draft revisi UU KPK, KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat.
Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN (Aparatur Sipil Negara) sehingga hal
ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di
instansi pemerintahan.
Kedua, perihal penyadapan. Penyadapan
hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu,
Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap
tahunnya. Padahal, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan
secara tertutup.
Ketiga, posisi dewan pengawas KPK. DPR
memperbesar kekuasaannya dengan memilih Dewan Pengawas. Dewan pengawas menambah
panjang birokrasi penanganan perkara korupsi, seperti penyadapan, penggeledahan
dan penyitaan.
Keempat, perihal penyelidik dan
penyidik. Dalam draft revisi UU KPK ditentukan bahwa Penyelidik KPK hanya
berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan penyidik PNS.
Hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan
KPK dapat juga mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
Kelima, penuntutan perkara korupsi.
Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini dapat
mengurangi independensi KPK dan semakin banyaknya tahapan yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat
penanganan perkara korupsi.
Keenam, Perkara yang mendapat perhatian
masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal seperti yang telah diketahui pemberantasan
korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan
diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
Ketujuh, kewenangan pengambilalihan
perkara di penuntutan dihilangkan. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan
untuk proses penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih pada tahap penuntutan
sebagaimana diatur di Pasal 9 UU KPK. Pada pasal 9 UU KPK dikatakan :”Pengambilalihan penyidikan dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak
pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana
korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak
pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana
korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan
tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan”.
Kedelapan, kewenangan-kewenangan
strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kewenangan pelarangan ke luar
negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang
terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol akan dihilangkan.
Kesembilan, kewenangan KPK untuk
mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) dihapus. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga
hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran
kekayaan Penyelenggara Negara.
Sebagaimana
yang telah diketahui hadirnya UU No.30/2002 sebagai pelaksanaan dari Tap MPR
No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Berangkat dari hal tersebut, maka kalau pun dilakukan perubahan
UU KPK, yaitu UU No.30/2002 janganlah sampai memperlemah posisi KPK dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dalam pada
itu, kalau disimak sembilan bagian draft revisi UU KPK, maka dapat dikatakan
belum mencerminkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No.12/2011 dan asas materi muatan peraturan
perundangan-undangan sebagai mana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011.
Salah satu
asas pembentukan paraturan perundangan-undangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 UU No.12/2011 adalah asas keterbukaan. Dalam asas
keterbukaan ini, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bila asas keterbukaan ini
dijalankan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, maka penerapan peraturan perundangundangan
tersebut di dalam masyarakat akan berlangsung secara efektif, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Munculnya draft revisi UU KPK terkesan
mendadak dan dilakukan diujung masa kerja DPR 2014 – 2019.
Dari sisi asas materi muatan
peraturan perundang-perundangan, sebagaimana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011,
bahwa draft revisi UU KPK kurang mencerminkan asas keadilan, yang menghendaki
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara. Sebagian besar
masyarakat sangat menentang korupsi dan salah satu faktor dominan yang merusak
keadilan di nusantara adalah praktek korupsi.
Berdasarkan uraian yang
dikedepankan, karena revisi UU KPK tidaklah termasuk dalam skala prioritas,
diduga melemahkan posisi KPK, belum sepenuhnya sesuai dengan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik dan
juga belum memenuhi asas materi muatan peraturan perundang-undangan,
maka revisi UU KPK sudah sebaiknya belum menjadi skala prioritas bagi Presiden
saat ini, dan kalaupun ada rencana rivisi UU KPK yang sifatnya memperkuat
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan pada periode
2019 – 2024. Semoga.
(*adalah
Alumnus FH-UI, Advokat, IG : kardi_pakpahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar