Kamis, 18 Agustus 2022

Asal Huta, sebagai Bukti Silsilah

 

 

Asal Huta, sebagai Bukti Silsilah

Oleh : Kardi Pakpahan*

        


Perkampungan induk yang disebut dengan  huta pada sistem sosial  masyarakat batak toba  dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti tentang silsilah dari suatu marga. Dikatakan demikian, karena huta adalah bentuk masyarakat hukum adat, yang memiliki sistem yang pada umumnya mengedepankan hubungan antar anggota masyarakat yang diikat karena adanya hubungan atau pertalian darah (genealogis) dengan pola hubungan utama mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal. Ada beberapa marga yang menggunakan huta dalam penyebutan marganya, seperti Hutagalung, Hutasoit, Hutabalian, Hutasuhut, dan lain-lain. Sehubungan dengan hubungan antar anggota masyarakat di suatu huta pada umumnya adalah berpola adanya hubungan darah, maka huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo dari generasi ke generasi.

          Nama atau sebutan untuk huta biasanya tergantung kepada tokoh atau raja yang membuka suatu huta atau perkampungan. Misalnya, dari sisi historis si Raja Pakpahan atau si Pakpahan, berdasarkan data antropologis dan sosiologis membuka kampung yang pertama atau kampung asal  atau perkampungan induk bernama huta bolon, di desa Pakpahan, Kecamatan Onanrunggu, Samosir, yang kemudian berkembang ke wilayah lainnya, baik pada jarak yang dekat maupun ke wilayah yang jauh.

          Si Pakpahan, adalah anak ketiga dari Si Raja Sonang/Boru Oloan (Br Sitindaon). Anak lainnya dari Raja Sonang adalah Gultom, Samosir, Sitinjak. Dari sisi Perkampungan atau parhutaan dari keturunan Raja Sonang yang terbentang di Kecamatan Onan Runggu, Samosir dari timur ke barat adalah Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan, Sitinjak, yang berbatasan dengan kecamatan Nainggolan.

           Searah dengan pertumbuhan jumlah anggota masyarakat hukum adat pada suatu huta atau perkampungan, dapat dikatakan membutuhkan perluasan lahan, untuk membangun tempat tinggal yang baru, untuk bertani maupun beternak, dan lain-lain. Untuk itu huta atau perkampungan asal dikembangkan ke wilayah sekitar atau membuka perkampungan lain di wilayah lain.

 

Perkampungan Induk

          Pengembangan Huta atau perkampungan induk secara demografik, bisa juga dengan membuka huta yang baru. Sedangkan lapisan permukiman baru lainnya dari huta, pada masyarakat batak toba  adalah Lumban. Sama juga  dengan huta, ada juga anggota masyarakat hukum adat yang memakai Lumban sebagai sebutan untuk marga. Misalnya, Lumban Tobing, Lumbantoruan, Lumban Raja, Lumban Gaol dan lain-lain.

          Kalau ditanya mana duluan huta (perkampungan induk) dari lumban ? Karena Lumban adalah pengembangan wilayah perkampungan induk atau huta, maka Lumban mengikuti Huta. Artinya duluan Huta baru Lumban. Misalnya tidak pernah disebut, Si Pukka Lumban atau Raja Lumban, tetapi istilah yang digunakan adalah si Pukka Huta (Tokoh yang membuka huta/perkampungan induk) atau Raja Huta.

          Pengembangan wilayah huta atau perkampungan induk  yang lain dikenal dengan beberapa istilah, seperti Banjar (perkampungan dengan hunian yang berbaris). Ada juga anggota masyarakat hukum adat yang menggunakan istilah Banjar untuk penamaan marga, seperti Banjarnahor. Nama-nama perkampungan yang menggunakan sebutan Banjar yang berbatasan dengan desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu Samosir saat ini, terdapat pada dusun I Desa Onan Runggu, Kecamatan onan runggu, Samosir, yaitui  Banjar Pasir, Banjar Dolok, Banjar Tonga.

          Sosor adalah bentuk lain dari pengembangan perkampungan, yang merupakan perluasan dari perkampungan di kawasan pinggir danau (toba). Lazimnya perkampungan di kawasan pinggir atau di kawasan bibir danau, disebut dengan istilah Sosor Pasir, sedangkan penamaan huta atau nomenklatur  perkampungan di atas sosor pasir  disebut dengan sosor batu atau sosor dolok. Salah satu perkampungan Hutanamora Pakpahan di desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu adalah di sosor pasir.

Pada wilayah yang berbatasan dengan desa Pakpahan, yaitu di desa Onan Runggu Kecamatan Onan Runggu, Samosir dikenal beberapa perkampungan dengan sebutan sosor, seperti Sosor Sibabiat, Sosor Mamukka, Sosor Hoda, Sosor Gaol, Sosor Sihotang. Disamping sosor,  pengembangan huta atau perkampungan induk juga dikenal dengan istlah lain, seperti lobu atau perkampungan yang sengaja ditembok, yang biasanya digunakan untuk membedakannya dengan perkampungan masyarakat hukum adat yang lain, seperti Lobu Sonak, Lobu Gala, Lobu Siregar.

Perkampungan induk/perkampungan asal atau huta Toga Pakpahan atau Raja Pakpahan terletak di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Batas-batas Desa Pakpahan tersebut, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Onan Runggu  dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa Sitinjak. Sebelah Utara Desa Pakpahan adalah Desa Pardomuan dan di sebelah selatan adalah Danau Toba.

          Desa Pakpahan, dengan luas area sekitar 3,92 Km2 adalah satu diantara 12 Desa yang terdapat pada  Kecamatan Onan Runggu Samosir. Adapun nama Desa lainnya saat ini di Kecamatan Onan Runggu adalah Sitinjak, Onan Runggu, Harian, Tambun Sungkean, Sitamiang, Pardomuan, Huta Hotang, Rina Bolak, Sipira, Janji Matogu, Silima Lombu. Di setiap desa tersebut, terdapat beberapa huta atau perkampungan masyarakat hukum adat.

          Dari sisi historis, Desa Pakpahan, sebagai bagian dari Onan Runggu Samosir,  sebelum masa kolonialisme adalah wilayah yang terletak pada lereng perbukitan dengan akses keluar/masuk yang terbatas. Pada saat ini, khususnya di era Pemerintahan Presiden Jokowi, akses infrastruktur jalan, transportasi ke/dari desa Pakpahan, sudah semakin baik.

          Pada masa lalu, karena terbatasnya akses infrastruktur jalan  ke/dari Onan Runggu umumnya, dan ke desa Pakpahan, Samosir, khususnya, diduga menjadi salah satu faktor pemicu perkawinan diantara  empat anak Raja Sonang, yaitu Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan dan Sitinjak. Sampai sekarang, perkawinan diantara keturunan Raja Sonang, baik di “bonapasogit” Onan Runggu Samosir maupun di luar wilayah “bonapasogit” masih kerap terjadi.

 

Keturunan Toga Pakpahan

          Sebelum diuraikan lebih lanjut perkampungan atau “parhutaan” Omp Toga Pakpahan di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, perlu didepankan tentang keturunan Omp Toga atau Raja Pakpahan. Berapa anak Toga Pakpahan ? Tentu, untuk mengetahuinnya terdapat beberapa refrensi yang dapat digunakan untuk itu. Tiga diantaranya dikedepankan pada  uraian berikut.

Pertama, pada buku “Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10 dan 56), yang disusun berdasarkan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin, Toga Pakpahan sebagai Generasi I, mempunyai 3 anak, yaitu a) Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja Pakpahan); 2) Hutanamora Pakpahan/Parhutanamora Pakpahan (Simora); c) Lumban Bosi Pakpahan (Sibosi)

Kedua, Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora). Parhuta Namora mempunyai seorang anak, namanya Parbona Raja, sedangkan Parbona Raja mempunyai tiga orang anak, yaitu Panulampak, Datu Ronggur Diaji, Porhas Manjunging (Sejarah Raja Sigalingging, 2009). Sebagaimana diketahui, istri dari Parbona Raja Pakpahan, sebagai Generasi III Toga Pakpahan,  adalah Boru Sigalingging, begitu juga Datu Ronggur Diadji Pakpahan, yang berada pada Generasi IV Toga Pakpahan, beristrikan Sindar Mataniari Boru Sigalingging dan Naomi Petterina Br Nainggolan. Juga, istri leluhur penulis, Omp Diharaja Pakpahan (Generasi V Toga Pakpahan) menikah dengan Boru Galingging. 

Kenapa ada keturunan Omp Si Raja Galingging, bermukim di Tapanuli Utara, termasuk di Kecamatan Pangaribuan dan Humbang Hasundutan serta di wilayah Parsoburan, Habinsaran, yang memiliki perkampungan induk di Sait Nihuta, Samosir ? Jawaban terhadap hal tersebut, akan Penulis uraikan pada tulisan yang berjudul :"Parbona Raja Pakpahan, Mencari Anaknya Datu Ronggur Diadji Pakpahan ke Parsoburan".

Dari Tulisan "Sejarah Raja Sigalingging, 2009", dan berdasarkan Diskusi Penulis dengan Ompung Marko Sigalingging, salah satu keturunan Si Raja Galingging yang saat ini bermukim di Siborong-borong, Tapanuli Utara, keturunan si Raja Sigalingging (dengan gelar Pangulu Oloan), ada 3, yaitu : 1) Gr Mangarinsan Sigorak Sigalingging; 2) Raja Tinatea Tambalong Sigalingging; 3) Namora Pangujian Sigalingging. Hula-hula dari Omp Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi III Toga Pakpahan), Omp Datu Ronggur Diadji Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi IV Toga Pakpahan), Omp Diharaja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi V Toga Pakpahan), berasal dari garis keturunan anak kedua si Raja Galingging, yaitu dari Omp Raja Tinatea Tambalong Sigalingging.

Bila ditelusuri silsilah Si Raja Sigalingging, dari garis keturunan anak kedua, yaitu   Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, pada generasi III dan X Toga Sigalingging/Si Raja Sigalingging ditemukan keturunannya bernama DATU RONGGUR. Mengingat hal tersebut, wajarlah salah satu anak Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging, bernama Datu Ronggur Diadji Pakpahan (anak kedua). Anak Omp Parbona Raja Pakpahan yang paling besar adalah Ampanulampak Pakpahan, sedangkan anaknya ketiga/anak bungsu adalah Porhas Manjunging Pakpahan.

Dalam catatan penulis, rombongan hula-hula Si Raja Galingging, yaitu dari garis keturunan anak kedua : Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, yang  menghadiri pesta Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Kecamatan Onan Runggu Samosir tahun 1976, adalah Alm St. Mayor Edy Sigalingging.

Ketiga, pada acara Tor-Tor Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan (garis Keturunan Parhuta Raja Pakpahan), pada urutan Nomor 7 adalah Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi (Mangala Pakpahan, Hikayat Datu Ramot Pakpahan, 2007 : 39).  Arti acara Nomor 7 tersebut kalau dijabarkan sebagai berikut  : a) Hutaraja Pakpahan adalah Suhut atau tuan rumah pesta, pada pesta Horja peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan, yang adalah berada pada generasi IV Toga Pakpahan; b) Hutanamora adalah adik dari Hutaraja; c) Lumban Bosi adalah adik dari Hutaraja dan Hutanamora. Pada acara Tor-tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi itu tidak ada disebutkan ada keturunan Toga Pakpahan yang lain, baik karena hukum maupun terkait dengan janji atau padan.

Menurut penulis, tarombo atau silsilah pada acara Nomor  7 Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi pada pesta Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan adalah bersesuaian dengan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin  dan silsilah yang diwariskan pada keturunan Datu Ronggur Diadji Pakpahan (Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9 – 10 & 56).

Persebaran perkampungan Toga Pakpahan, di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir terdapat pada Dusun I/Lumban Baringin, Dusun II/Sosor Pasir dan  Dusun III/Sosor Batu. Pada Dusun I/Lumban Baringin dan Dusun II/Sosor Pasir Desa Pakpahan tersebut adalah tempat bermukim atau perkampungan keturunan Hutanamora Pakpahan. Sedangkan Dusun III/Sosor Batu,  Desa Pakpahan ditempati oleh keturunan Hutaraja Pakpahan dan Lumban Bosi Pakpahan.

Sedangkan nama-nama perkampungan Hutanamora Pakpahan di Dusun I dan Dusun II Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir adalah 1) Huta Bolon dan Huta Sipira Toba (kawasan pemukiman keturunan Omp Garaga Pakpahan); 2) Sosor Pasir, Dolok Martahan (di bagian atas sebelah kanan aek mual Simataniari), yang merupakan perkampungan atau pamoparan keturunan Omp Soengganon Pakpahan; 3)  Lumban Baringin, Lumban Jabi-jabi, Lumban Sanduduk. Yang merupakan perkampungan Omp Amani Hutasada Pakpahan; 4) Huta Tungkup, yang merupakan perkampungan keturunan Omp Sumombun Pakpahan.

Dengan mengetahui perkampungan atau huta, maka pada prinsipnya seseorang anggota masyarakat hukum adat, akan bisa menelusuri silsilahnya. Jadi, asal huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo.

 Pengakuan seseorang sebagai bagian dari keturunan marga pada suku batak toba, secara yuridis adalah berdasarkan hubungan darah dengan ayah (patrilineal). Berdasarkan garis patrilineal  Toga Pakpahan sesuai dengan uraian sebelumnya, memiliki 3 anak, yaitu 1) Hutaraja Pakpahan; 2) Hutanamora Pakpahan; 3) Lumban Bosi Pakpahan.

 

Pengangkatan Anak

Dalam budaya batak toba, diakui juga pengangkatan anak, yang dikenal dengan istilah mangain atau mangarajahon. Salah satu contohnya adalah pada Toga Gultom, sebagai anak sulung Raja Sonang.

Anak Toga Gultom disinyalir adalah 3 orang, yaitu  a) Gultom Hutatoruan; b) Gultom Hutapea; c) Gultom Hutabagot. Pada suatu waktu,  Hutabalian diain atau diangkat menjadi anak Toga Gultom. Pada  Notulen Rapat Adat Negeri Gultom dalam pemilihan Candidat Kepala Nagari Gultom pada tanggal 18 September 1936 dikedepankan :”Segala Jang Hadir Sama Setoedjoe Menerangkan Bahasa Hoetabalian Boekan Anak Sedjati Dari Goeltom, Hanjalah Anak Jang Diangkat, Sedjarahnja Doeloe Ada Lelaki Dihanjoetkan Aroes = Badai  Sampai Kepoelau Samosir Ini Dari Mana Asalnja Tiada Tentoe, Lantas Ini Orang Selakoe Teman Manoesia Dipandang Hingga Diangkat Goeltom Djadi Anaknja Yang Boengsoe. Boekan Sadja Bagian Goeltom Memandang Hoetabalian Sebagai Adiknya, Djuga Toeroenan Sidari (Samosir), Pakpahan Dan Sitindjak (Segala Toeroenan Si Toga Samosir) Sama Beradik Pada Hoetabalian, Boleh Dibilang Hoetabalian Adalah Martabat Rendah, Keterangan Ini Dikuatkan Oleh Candidaten Toeroenan Loembantoruan Hutapea Dan Radja-Radja Serta Ketoea-Ketoea Toeroenan Hutabagot (2016 : 9 -10)”. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka anak Toga Gultom menjadi 4, yaitu 1) Gultom Hutatoruan; 2) Gultom Hutapea; 3) Gultom Hutabagot; 4) Gultom Hutabalian.

                                                                                                            Raja Sitindaon                                                                                                                      

Membicarakan Keluarga Besar Raja Sonang umumnya, dan Toga Pakpahan, khususnya tidak lepas dari menghubungkannya dengan Raja Sitindaon. Istri dari Raja Sonang adalah Boru Sitindaon (Si Boru Oloan), yaitu putri dari Raja Sitindaon. Keturunan Raja Sitindaon secara patrilineal ada 3, yaitu 1) Omp Passalaut Sitindaon, keturunannya bermukim di Bonapasogit, huta si Bual-bual, Kecamatan Onan Runggu, Samosir; 2) Omp Pangahu Raja Sitindaon, keturunannya pada umumnya bermukim di Barus, Pakkat; 3) Omp Panganbintua Sitindaon, umumnya keturunannya bermukim di Pantai Parbubu/Tomok, Sagala, Sidamanik (Simalungun). 

Berdasarkan Diksusi Penulis, dengan Tulang Charles Sitindaon, Ketua Perkumpulan Sitindaon & Boru Se Indonesia beberapa waktu yang lalu, istri dari Omp Toga Pakpahan (Generasi I Toga Pakpahan) adalah Putri dari Omp Passalaut Sitindaon. Dalam diskusi lanjutan Penulis dengan Tulang Magus Sitindaon (Sekjen Perkumpulan Sitindaon & Boru Sitindaon Se Indonesia) belum lama ini, bahwa istri Omp Parhuta Raja Pakpahan atau Huta Raja Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) adalah putri dari Ompu Raja Holbung Sitindaon (Dalam Verifikasi). 

          Sebagai anak  dari Toga Pakpahan, keturunan Omp Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan), yang menikah dengan  Pinta Haumasom Br Simbolon, baik pada era sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia serta saat ini, selalu memegang unsur kepemimpinan di wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Hal itu dimungkinkan karena jumlah penduduk dan wilayah Desa Pakpahan Kecamatan Onan Runggu tersebut didominasi keturunan Hutanamora Pakpahan. Saat ini yang menjabat Kepala Desa di Desa Pakpahan, adalah tetap  berasal dari keturunan Hutanamora Pakpahan.

          Garis silsilah Keluarga istri Omp Hutanamora Pakpahan, yaitu Pinta Haumasom Br Simbolon, merupakan anak bungsu dari Toga Simbolon, yaitu Simbolon Hapotan, yang berasal dari Huta Marhuliang, Desa Sigaol Marbun, Kecamatan Palipi, Samosir. Sampai saat ini perkampungan utama atau perkampungan induk dari Simbolon Hapotan masih ada di Huta Marhuliang. Penulis sudah 2 kali berkunjung ke perkampungan Omp Pinta Haumasom Br Simbolon tersebut. Tulang Nasib Simbolon, yang saat ini masih bermukim di huta Marhuliang, adalah bagian dari hula-hula Omp Hutanamora Pakpahan, salah satu yang ikut dalam rombongan  dari hula-hula Simbolon pada pesta  Horja tugu parsadaan Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) di Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, pada tahun 1976 yang lalu.   

          Tugu Persadaan atau Tugu Persatuan Hutanamora Pakpahan, terletak di dusun II Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir.  Tugu tersebut, dibangun melibatkan kerjasama yang baik oleh  3 keturunan Hutanamora Pakpahan, yaitu 1) Ampanulampak; 2) Datu Ronggur Diadji; 3) Porhas Manjunging. Pesta Horja Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan dilangsungkan pada tahun 1976. Adapun filosofi dari kerjasama itu menurut penulis adalah adalah :”mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu holbung”.

Adapun persebaran perkampungan Toga Pakpahan di luar wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir akan penulis bahas pada tulisan yang lain. 

(*Penulis Adalah Seorang Advokat, Alumnus : Fakultas Hukum Universitas Indonesia)