Senin, 30 September 2019

Wacana Perpu Revisi UU KPK : dari alasan Subyektif ke Obyektif


Opini  :


Wacana Perpu Revisi UU KPK :  dari alasan Subyektif ke Obyektif

(Presiden Berhak Mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK)

Oleh : Kardi Pakpahan*
            Salah satu solusi atas polimik revisi UU KPK yang mencuat belakangan ini adalah pada instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Dikatakan begitu, dari azas manfaat serta dari keberluakuan kaedah hukum secara sosiologis, psikologis dan filosofis, Perpu merupakan pilihan yang paling tepat dan dapat mengantisipasi resiko besar yang mungkin terjadi. Dikatakan demikian, karena Penolakan terhadap revisi UU KPK yang baru disahkan relatif besar, baik dari sisi formil maupun material, dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa.  Pembuatan Perpu adalah hak yang berada di tangan presiden, pejabat-pejabat di bawah Presiden tak punya hak atau wewenang untuk mengeluarkan Perpu.
            Dari gerakan demontrasi mahasiswa yang memprotes revisi UU KPK yang mengemuka akhir-akhir ini, yang telah menelan korban jiwa dari sisi mahasiswa perlu diapresiasi. Dikatakan demikian, karena jika terjadi demontrasi mahasiswa semasif dan sebesar yang terjadi di bulan September 2019 ini, maka biasanya karena ada unsur keadilan yang  perlu  diperjuangkan mahasiswa, karena memang selama ini kegiatan para mahasiswa terfokus di kampus.
            Mengingat Perpu  merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk mengatasi polemik UU KPK, perlu didepankan dasar hukum Perpu. Bila disimak, landasan hukum yang ada, maka perlu dikedepankan dasar hukum Perpu pada uraian berikut.
Pertama, pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Disana dikatakan :”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Pada bagian penjelasan pasal 22 ayat 1  UUD 1945 dijelaskan : ”pasal ini mengenai noodverordeningrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat….”.
            Kedua,  Pasal 1 angka 3 Perpres No.87/2014. Ketentuan ini menyatakan :”Perpu adalah Peraturam Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam  ikwal kepentingan yang memaksa”.
            Ketiga, pasal 1 angka 4 UU No.12/2011. Pada pasal ini dikatakan :” Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
            Keempat, Putusan Mahkamah Konsitusi No.138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010. Pada putusan MK ini, khususnnya pada angka 3.10 bagian pertimbangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila : 1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
            Kelima, Putusan MK No.003/PUU-III/2005 tertanggal 7 Juli 20015. Pada bagian menimbang angka 3.8 putusan MK ini  disampaikan :” Menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 UUD 1945 berisikan : 1) Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; 2) Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan kegentingan yang memaksa; 3) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang;  bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
            Dari hal-hal yang disebutkan di atas, tentang wewenang Presiden menetapkan atau mengeluarkan  Perpu, seperti Perpu tentang masalah revisi UU KPK  dengan batasan frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dapat dikatakan lebih tepatnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-undang. Dan menurut pasal 22 ayat 3 UUD 1945 manakala Perpu tidak disetujui oleh DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Perihal mekanisme  pengajuan Perpu oleh Presiden  sampai ke pembahasan di DPR diatur pada pasal 52 UU No.12/2011, yaitu  1). Perpu  harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;  2). Pengajuan Perpu sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang;  3). DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu; 4). Dalam hal Perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;  5). Dalam hal Perpu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;  6). Dalam hal Perpu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang tentang Pencabutan Perpu; 7). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;  8). Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama.
Berangkat dari uraian di atas, keputusan Presiden untuk untuk mengeluarkan Perpu yang terkait untuk mengatasi masalah revisi UU KPK adalah hak subyektif Presiden dan menjadi obyektif setelah mendapat persetujuan dari DPR, adalah memiliki landasan hukum yang kuat dan sah. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi resiko yang paling buruk. Ada baiknya, kalau memungkinkan, presiden dalam waktu dekat dapat mengeluarkan Perpu Revisi UU KPK. Semoga.
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat dan Pengamat Masalah Hukum).

Jumat, 27 September 2019

UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan dan Urgensi Perubahan

Rubrik  Opini :
UU LPS 15 Tahun : Efektivitas Penerapan 
dan Urgensi Perubahan


Oleh : Kardi Pakpahan*
            Lembaga Penjaminan Simpanan atau LPS didirikan dengan diundangkannya UU No.24/2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, yang disebut juga Undang-undang  LPS atau UU LPS,  pada 22 September 2004.  LPS hadir untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan mendukung stabilitas sistem perbankan.   Sistem penjaminan simpanan nasabah melalui LPS dapat dikatakan menggantikan sistem penjaminan yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana yang telah diketahui sistem penjaminan simpanan nasabah sebelumnya diatur melalui  Kepres No.26/1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Umum dan Kepres No.193/1998 tentang  jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, yang mengedepankan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank termasuk simpanan masyarakat, yang dikenal dengan istilah blanket gurantee.
            Melalui UU No.7/2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.66/2008, nilai simpanan yang dijamin LPS untuk setiap nasabah pada satu bank yang berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU LPS ditetapkan paling banyak Rp 100.000.000,- diubah menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,- . Hal ini bisa terjadi karena UU LPS menganut sistem penjaminan simpanan  yang terbatas.
            Disamping merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah pada perbankan, berdasarkan pasal 5 UU LPS tugas lain dari LPS adalah a) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan c) melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
            Pada tanggal 22 September 2019 penerapan UU LPS telah genap 15 tahun. Apakah kira-kira yang menjadi catatan yang perlu dikedepankan pada penerapan UU LPS selama ini dan masa yang akan datang ? Kalau dicermati penerapan UU LPS selama ini, catatan yang perlu dikedepankan pada dua sisi utama, yaitu perlu penerapan secara efektif dan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan usaha perbankan/jasa keuangan perlu dilakukan perubahan. Sebagian dari catatan itu akan dikedepankan pada uraian beriku.
            Pertama,  kantor LPS. Jaringan usaha LPS sebetulnya adalah seluruh wilayah Indonesia, Namun hingga  saat ini kantor LPS cuma  di Jakarta, di kawasan elit Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, dengan cara sewa. Mungkin kalau digunakan dana sewa kantor LPS secara optimal selama ini di kawasan SDBD Jakarta, maka LPS sebetulnya terbuka peluangnya berkantor atau memiliki  kantor di beberapa kota besar untuk menjalankan seluruh fungsi, tugas dan wewenangnya secara efektif. Akibat kantor LPS yang cuma ada di Jakarta misalnya, dapat dikatakan adalah berpengaruh pada efektivitas penyelenggaraan klaim simpanan nasabah pada Bank yang telah dicabut izin usahanya, pengawasan pelaksanaan likuidasi bank, pelaksanaan  rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi yang terkait dengan pelaksanaan penjaminan simpanan.  Contohnya,  seorang nasabah yang telah menabung bertahun-tahun di suatu bank yang telah ditutup atau dicabut izin usahannya dengan saldo Rp 80 juta yang relatif jauh dari Jakarta, setelah mengajukan klaim tetapi ditolak LPS, dan tahap berikutnya hal yang dilakukan menempuh upaya hukum, yaitu mengajukan gugatan ke LPS melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (vide : pasal 20 ayat 1 huruf b UU LPS), selaku tempat kedudukan hukum LPS (actor sequitur forum rei). Kalaupun nasabah tersebut memenangkan gugatannya, bisa menjadi tidak dapat apa-apa karena tingginya biaya yang dikeluarkan melakukan upaya hukum.
            Berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU LPS sebetulnya LPS dapat mempunyai kantor perwakilan di wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hal tersebut, model baru kantor LPS di wilayah lain di Nusantara, dapat dikembangkan, baik secara permanen atau sementara. Kantor LPS sementara, antara 1 sampai 2 tahun  dapat diselenggarakan di luar Jakarta dalam rangka pengawasan likuidasi bank (vide : pasal 49 UU LPS), atau pelaksanaan klaim simpanan nasabah, khususnya melalui upaya hukum, manakala ada Bank yang ditutup yang  jauh dari kantor  pusat LPS.
Kedua, kedudukan kreditur. Kreditur  merupakan setiap pihak yang memiliki tagihan kepada Bank dalam Likuidasi.  Setiap pembayaran yang dilakukan Tim Likuidasi kepada para Kreditur pada sebuah Bank dalam Likuidasi, berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU LPS harus akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan dan susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi diatur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS. Disana dikatakan :”Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : a) penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b) penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c) biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d) biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e) pajak yang terutang; f) bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g) hak dari kreditur lainnya”. Kalau dicermati susunan kreditur pada Bank dalam Likuidasi, maka Kreditur a sampai dengan f merupakan kreditur yang diistimewakan, berdasarkan skala prioritas dari Kreditur a sampai f, sedangkan kreditur lainnya berada pada kelompok huruf  g. Sehingga kalau ada kreditur yang memegang jaminan gadai atau hak tanggugan/hipotik pada Bank dalam likuidasi, dapat dikatakan berada pada kelompok Kreditur lainnya, dengan tetap memegang hak preferen diantara kreditur lainnya yang mungkin ada.
            Di dalam kondisi tertentu  terbuka kreditur yang diistimewakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur pemegang jaminan gadai atau hipotik/hak tanggungan. Ketentuan yang terkait dengan hal tersebut diatur  pada pasal 1134 KUHPerdata. Disana dikatakan :”Hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-semata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-undang dengan menentukan kebalikannya”.
            Dalam pada itu, berbeda dengan pasal 55 UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sesuai dengan pasal 54 ayat 1 UU LPS pada Bank dalam Likuidasi, tidak dikenal dengan kedudukan kreditur  separatis. Dengan demikian, supaya akuntabel, pembayaran yang dilakukan kepada Kreditur pada Bank dalam likuidasi dilaksanakan sesuai dengan urutan kreditur pada pasal 54 ayat 1 UU LPS.
            Ketiga,  masalah pesangon pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pembayaran pesangon pegawai pada Bank dalam Likuidasi, sebagaimana yang ditentukan pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU LPS,  berupa penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai. Dalam penerapannya, ada pihak yang mereduksi hak-hak pegawai sebagai konsekuensi PHK pada Bank dalam Likuidasi adalah pesangon saja.  Jika dikaitkan dengan alasan PHK dikarenakan perusahaan tutup atau karena bank ditutup, menurut pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 hak-hak pegawai  yang mengalami PHK adalah uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 juga seirama dengan imbalan kerja Pesangon yang ditentukan pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 24 (PSAK 24) yang substansinya terdiri dari 3 bagian yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
            Hak-hak pegawai sebagai konsekuensi dari PHK pada Bank dalam Likuidasi, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak juga telah dikuatkan  melalui putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan pada putusan Perkara Nomor : 250/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Medan tertanggal 21 Maret 2018. Berangkat dari hal tersebut, maka istilah pesangon pada ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf b UU LPS, sudah sepantasnya berisi 3 komponen hak-hak pegawai yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, yaitu pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
            Keempat, dewan pengawas. Organ LPS menurut  pasal 62 UU LPS terdiri atas Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner adalah pimpinan LPS (Vide : pasal 63 ayat 1 UU LPS). Dalam pada itu, menurut pasal  70 ayat 1 UU LPS, Dewan Komisioner berwenang mewakili LPS di dalam dan di luar pengadilan. Mengingat tugas LPS akan bertambah dengan diberlakuknya UU No.6/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan dan kecenderungan bertambahnya volume usaha LPS sekitar 1 sampai 2 kali dari dari yang ada saat ini sebagai konsekuesni pengumpulan dana premi Restrukturisasi Perbankan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, maka organ LPS dari yang ada saat perlu ditambah Dewan Pengawas LPS dengan melakukan perubahan terhadap UU LPS.
            Kelima, substansi tata kelola LPS. Asas tata kelola LPS menurut pasal 2 ayat 3 UU LPS terdiri dari 3, yaitu independen, transparan, dan akuntabel.  Searah dengan pengembangan LPS, asas tata kelola LPS tersebut perlu dilengkap dengan asas kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas tata kelola pertanggungjawaban (responsibility) yang merupakan kesesuaian pengelolaan LPS dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan LPS yang sehat. Penambahan asas tata kelola ini dapat dimasukkan dalam program perubahan UU LPS, khususnya pasal 2 ayat 3. Semoga
(*Penulis adalah Alumnus FHUI, Advokat  &  Pengamat Perbankan, Telp/WA : 0813-2895-0019; IG : kardi_pakpahan)

Minggu, 15 September 2019

Perlu, Dipersiapkan Merger Bank Pelat Merah


Wacana Perbankan :

Perlu, Dipersiapkan Merger Bank Pelat Merah

Oleh : Kardi Pakpahan*

            Berbagai posisi unit kerja pada   perbankan di era revolusi industri 4.0 akan digantikan dengan aplikasi digital dan sebagian porsi segmen pasar unit bisnis atau jasa perbankan, seperti payment point dimungkinkan diakusisi sebagian oleh Fintech Payment, begitu juga sebagian Nasabah Peminjam ada peluangnya masuk program customer acquisition oleh Fintech P2P Landing. Sementara kebutuhan modal untuk pencadangan pengendalian resiko dan pengembangan usaha, seperti untuk investasi di bidang teknologi, pengembangan pasar akan cenderung semakin besar. Modal itu tidak cukup hanya dari akumulasi hasil usaha atau right issue, tetapi juga dari sumber-sumber lain yang memungkinkan.  
            Berangkat dari hal tersebut, penggabungan usaha, seperti merger/konsolidasi, merupakan salah satu pilihan yang penting. Begitu juga tentunya dengan bank pelat merah, Bank BRI, BankMandiri, BNI dan BTN, salah satu pilihan yang mungkin dapat ditempuh adalah melalui merger, seperti antara Bank Mandiri dengan BNI atau Bank BRI dengan BTN, karena kemampuan menyetor modal dari pesaham adalah kadang kala ada batasnya, karena banyak kegiatan pembangunan yang harus dibiayai Pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM yang unggul, dan juga untuk bidang-bidang lainnya.   
Ada beberapa manfaat konsolidasi atau merger bank pelat merah atau bank milik pemerintah. Sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut. Pertama, untuk modernisasi teknologi.  Tak dapat dipungkiri, kegiatan perbankan di era revolusi Industri 4.0 sudah sangat mengandalkan teknologi digital dalam kegiatan usahannya, dan cenderung. teknologi tersebut memiliki life cycle yang relatif tidak begitu lama, sehingga membutuhkan sumber daya dana yang relatif besar.
            Kedua, meningkatkan kinerja dan daya saing. Dengan rampingnya bank pelat merah melalui merger atau konsolidasi, melalui dukungan sumber daya manusia yang unggul, sumber daya dana dan teknologi yang memadai maka akan dapat memiliki kinerja dan daya saing yang tinggi. Dengan demikian, dana yang menganggur di bank pelat merah, yang ditandai dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang relatif besar atau undisbursed loan yang masih besar akan semakin dapat ditekan, sehingga rasio profitabilitas bank pelat merah, seperti Return on equity maupun Return on Aset akan semakin baik.  
            Ketiga, adaptif. Melalui merger yang dilakukan, bank pelat merah dapat lebih adaptif karena juga didukung dengan struktur organisasi dan strategi yang koheren untuk mentrasformasikan visi dan misi.
            Keempat, mendukung efektivitas pengawasan. Melalui merger bank pelat merah, yang juga menjadi sebuah pilihan bagi beberapa penyelenggara jasa keuangan lainnya, seperti BPR, Multifinance, asuransi, maka pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terbuka semakin efektif.
            Untuk mendukung proses merger atau konsolidasi bank pelat merah tentu memerlukan persiapan yang matang, supaya ketika merger dilakukan tidak menimbulkan banyak masalah. Fakta mengatakan, akibat kekurangsiapan pra merger atau pra konsolidasi, bisa menimbulkan friksi, yang dapat berpengaruh pada kinerja paska merger. Apa saja persiapan yang perlu dilakukan ? Pertama, dalam manajemen SDM (Sumber Daya Manusia). Pada Bank hasil merger perlu evaluasi dan ditetapkan sistem benefit dan konvensasi,  struktur organisasi, standar imbal kerja, standar kompetensi, evaluasi kenerja, strategi peningkatan kepuasan dan produkvitas kera, budaya perusaraan, dan lain-lain.
            Kedua, Internal Proses. Untuk mendukung internal proses bank hasil merger perlu ditetapkan beberapa teknologi atau aplikasi untuk mendukung digital perbankan dengan karakteristik reliability, integrity dan continuity yang tinggi.
            Ketiga, cakupan pasar. Rencana bisnis bank hasil merger atau konsolidasi di samping menangani pasar keuangan seluruh nusantara, juga mulai pasar regional, seperti Asean, Asia, terutama Negara-negara yang relatif tinggi transaksi bisnis dengan Indonesia.
            Keempat, proyeksi target finansial. Proreksi target finansial bank pelat merah hasil penggabungan, disamping dibuat optminis, tetatapi tetap dapat tercapai, terukur dan sehat.
            Dalam pada itu ide merger atau konsolidasi bank pelat merah juga tetap seirima dengan pembentukan holding bank pelat merah, yang dapat sebetulnya diikuti dengan rencana  konsolidasi atau merger antar Bank Pembangunan Daerah (BPD). Misalnya, dari seluruh Bank Pembangunan Daerah di nusantara dilakukan merger atau konsolidasi dengan menghasilkan 3 Bank, contohnya 1 di kawasan  Indonesia Bagian Barat, 1 di kawasan Indonesia Bagian Tengah, 1 di kawasan Indonesia Bagian Barat,  yang sahamnya juga dapat dimiliki oleh Holding Bank Pelat merah.   
(*Pengamat Perbankan, Advokat & Trainer Perbankan, Alumnus FH-UI)      

Rabu, 11 September 2019

Pelaksanaan PHK pada Bank dalam Likuidasi

Opini  : 

Pelaksanaan PHK pada Bank dalam Likuidasi
           
                                           
                                     Oleh : Kardi Pakpahan*                                                                     
          Berbeda dengan Pemutuhan Hubungan Kerja (PHK) pada perusahaan atau institusi lain, pelaksanaan pemutusan PHK pada Bank dalam Likuidasi (BDL), baik pada Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR),  memiliki karakteristik khusus. Namun, payung hukum utamanya berdasarkan pada UU No.13/2003 tentang Ketenakerjaan.
          Ketentuan umum tentang Hak-hak diterima oleh karyawan atau yang pihak mengalami PHK diatur pada pasal 156 ayat 1  UU No.13/2003. Disana dikatakan :”Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak  yang seharusnya diterima”. Formula atau rumus dari perhitungan  hak-hak dari pihak yang mengalami PHK, seperti karyawaan atau pekerja/pengurus perusahaan, sudah dengan jelas diatur pada pasal 156 UU No.13/2003.
          Apakah penghitungan hak-hak pihak yang mengalami PHK dapat mengalami  perubahan ? Jawaban terhadap ketentuan ini bisa diperoleh pada pasal 156 ayat 5 UU No 13/2003, yang menyatakan :”Perubahan perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.  
Walapun tiga jenis komponen hak-hak karyawaan atau pekerja/pengurus yang mengalami PHK, namun sering juga ketiganya  disebut dengan istilah pesangon. Batasan dan penggunaan istilah  ini misalnya, bisa diketahui dari beberapa ketentuan. Diantaranya, pertama,  PSAK 24. Pada PSAK 24 disebutkan ruang lingkup imbalan kerja adalah : 1) Imbalan kerja jangka pendek; 2) Pesangon; 3) Imbalan Paska Kerja; 4) Imbalan kerja jangka panjang lainnya. Ketentuan pesangon disini meliputi pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
Kedua, Bab 23 SAK ETAP tentang imbalan kerja. Dalam ketentuan ini ini ruang lingkup imbal kerja meliputi : a) kewajiban Imbalan kerja jangka pendek; b) kewajiban imbalan pasca kerja; c) kewajiban imbal kerja jangka panjang lainnya; d) kewajiban pesangon pemutusan hubungan kerja.
Ketiga, Bab V.9. PA BPR (Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat) tentang Kewajiban imbal kerja. Pada bagian ini kewajiban imbal kerja meliputi : a) Kewajiban imbalan kerja jangka pendek; b) kewajiban imbalan pasca kerja; c) kewajiban imbalan kerja jangka panjang lainnya; d) kewajiban pesangon pemutusan kerja.
Sebetulnya kalau disimak dari substansinya, baik PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP; Bab V.9. PA BPR, khususnya kewajiban imbal kerja tentang pesangon, dapat dikatakan adalah penjabaran dari pasal pasal 156   UU No.13/2003, yang meliputi pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak.   
Kalau dicermati alasan-lasan PHK, maka PHK pada Bank dalam Likuidasi (BDL) biasanya alasannya mengacu pada pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003, yang menyatakan  :”Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Karena belum ada ketentuan yang merubah ketentuan  ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana diamanatkan pada pasal 156 ayat 5 UU No 13/2003, maka formula inilah yang diterapkan biasanya pada Bank dalam Likuidasi.
Pada pasal 54 ayat 1 huruf  b UU No.24/2004, karyawaan atau pihak yang mengalami   PHK pada Bank dalam Likuidasi ditempatkan di posisi Kreditur diurutan kedua, disana disebutkan :”penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai”. Pengertian kreditur pada BDL adalah setiap pihak memiliki piutang atau tagihan kepada BDL, termasuk nasabah penyimpan. Tentu bila dikaitkan pasal 54 ayat 1 huruf b UU No.24/2004, dengan pasal 156 UU No.13/2003, PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP, ketentuan Bab V.9. PA BPR, dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003, maka dapat dikatakan bahwa hak-hak karyawaan atau pihak yang mengalami PHK dalam Bank dalam Likuidasi adalah adalah 3 jenis, yaitu a) pesangon; b) penghargaan masa kerja c) penggantian hak yang dihitung berdasarkan masa kerja dari karyawan/pegawai atau pihak yang mengalami PHK pada sebuah BDL.
Pada pasal 23 ayat 4 Peraturan Lembaga Penjaminan Simpanan (PLPS) Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015 disebutkan :”Tim Likuidasi wajib membuat perhitungan hak-hak pegawai lainnya yang timbul sebagaimana akibat pemutusan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan termasuk kewajiban yang belum diselesaikan kepada pegawai yang diberhentikan atau dilakukan PHK sebelum pencabutan izin usaha Bank, serta gaji terutang anggota Direksi dan Dewan Komisaris, untuk dicatat sebagai kewajiban Bank dalam likuidasi dalam kelompok kewajiban kepada Kreditur lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1 huruf g PLPS No.1/2011 sebagaimana disempurnakan melalui PLPS No.1/PLPS/2015”. Bagaimana hubungan ketentuan pasal 23 ayat 4 PLPS No.1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS No.1/PLPS/2015 di satu sisi, dengan pasal 156 UU No.13/2003, PSAK 24, Bab 23 SAK ETAP, ketentuan Bab V.9. PA BPR, dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003 di sisi lain, khususnya untuk ungkapan : “perhitungan hak-hak pengawai lainnya”.
Berangkat dari ketentuan  pasal 23 ayat 4 PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015, dikaitkan dengan ketentuan pasal 156 UU No.13/2003 dan pasal 164 ayat 1 UU No.13/2003. Maka  dengan menerapkan asas penerapan hukum, yang menyatakan lex superior derogate legi inferior, yang berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, maka dapat dikatakan bahwa hak-hak karyawaan yang mengalami PHK pada Bank dalam Likuidasi, ada 3 jenis, yaitu 1) Pesangon; 2) Penghargaan Masa Kerja, 3) Penggantian Hak yang logikanya dibayar sekaligus pada posisi Kreditur seperti diatur pada  pasal 54 ayat 1 huruf b UU No.24/2004, sebagai salah satu komponen dari Imbalan Kerja. Sedangkan perhitungan hak-hak pegawai lainnya, akibat PHK, dapat berasal dari dari Kewajiban Imbalan Kerja jangka pendek, kewajiban imbalan pasca kerja atau kewajiban imbal kerja jangka panjang lainnya.
Mengenai ketentuan pasal 25 ayat 1 PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015, yang menyatakan :”Pembayaran pesangon pegawai sebagaimana dalam Pasal 23 ayat 1 huruf b PLPS Nomor : 1/PLPS/2011 sebagaimana disempurnakan PLPS Nomor : 1/PLPS/2015 dilakukan dengan memperhitungkan seluruh kewajiban pegawai kepada Bank dalam Likuidasi”. Ketentuan ini lumrah dilaksanakan karena juga telah diatur pada ketentuan mengenai perjumpaan hutang atau kompensasi, sebagaimana diatur pada pasal 1425 s/d 1435 KUHPerdata.
Bila artikel opini Penulis ini benar dan sah secara hukum, dan belum diterapkan pada BDL, mengingat dari tahun 2005 hingga saat ini,   99 Bank mengalami likuidasi, yaitu 1 Bank Umum, yaitu PT Bank IFI dan 98 BPR, maka kalau memungkinkan dilakukan pembayaran uang pesangon yang belum diterima karyawan atau pegawai BDL sebagaimana dikedepankan dalam artikel opini ini dengan 3 komponen, yaitu a) pesangon; b) penghargaan masa kerja; c) penggantian hak, dan kalau dampaknya signifikan, mungkin perlu dilakukan jurnal koreksi pada laporan keuangan institusi atau BDL yang terkait, jika itu mungkin dilakukan, supaya laporan keuangan institusi terkait dapat tetap wajar. Semoga
(*Penulis adalah Advokat, Alumnus FH-UI, WA : 0813-2895-0019 )

Minggu, 08 September 2019

Menyoal Revisi UU KPK


Catatan Hukum :
Menyoal  Revisi UU KPK

Oleh : Kardi Pakpahan*

          Revisi atau perubahan terhadap sebuah Undang-undang haruslah tetap progresif, jangan sampai mengalami kemunduran. Setiap pihak yang mau melakukan perubahan Undang-undang atas wewenang yang dimiliki hasruslah mempersiapkan dengan baik dan tetap memilih skala prioritas. Zona skala prioritas itu adalah sesuatu yang memiliki alasan yang kuat untuk didahulukan, yaitu disamping mendesak juga penting. Jangan misalnya, sesuatu mendesak tetapi tidak penting, atau sesuatu yang tidak mendesak tetapi penting, atau sesuatu yang tidak mendesak dan tidak penting dijadikan menjadi yang terutama dan pertama atau pada posisi skala prioritas.
            Salah satu reivisi Undang-undang yang mau dilakukan adalah revisi atau  perubahan  UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau dicermati dari substansi peraturan perundang-undangan, maka revisi UU KPK belumlah dapat dikatakan sebagai skala prioritas, karena masih ada beberapa peraturan perundan-undangan lain yang perlu direvisi, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), dan lain=lain.  
Seperti yang mengemuka di media massa, disinyalir melalui draft revisi UU KPK ada beberapa bagian  yang diduga dapat memperlemah posisi KPK. Bagian yang dimaksudkan diuraian pada bagian berikut. Pertama, independensi KPK.  Dalam draft revisi UU KPK, KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat. Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN (Aparatur Sipil Negara) sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan.
            Kedua, perihal penyadapan. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya. Padahal, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup.
            Ketiga, posisi dewan pengawas KPK. DPR memperbesar kekuasaannya dengan memilih Dewan Pengawas. Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara korupsi, seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
            Keempat, perihal penyelidik dan penyidik. Dalam draft revisi UU KPK ditentukan bahwa Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan penyidik PNS. Hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan KPK dapat juga mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.
            Kelima, penuntutan perkara korupsi. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini dapat mengurangi independensi KPK dan semakin banyaknya tahapan  yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara korupsi.
            Keenam, Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal seperti yang telah diketahui pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.
            Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dihilangkan. Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih pada tahap penuntutan sebagaimana diatur di Pasal 9 UU KPK. Pada pasal 9 UU KPK dikatakan :”Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan”.
            Kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan. Kewenangan pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi dan meminta bantuan Polri dan Interpol akan dihilangkan.
            Kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dihapus. Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan Penyelenggara Negara.
            Sebagaimana yang telah diketahui hadirnya UU No.30/2002 sebagai pelaksanaan dari Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berangkat dari hal tersebut, maka kalau pun dilakukan perubahan UU KPK, yaitu UU No.30/2002 janganlah sampai memperlemah posisi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
            Dalam pada itu, kalau disimak sembilan bagian draft revisi UU KPK, maka dapat dikatakan belum mencerminkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU No.12/2011 dan asas materi muatan peraturan perundangan-undangan sebagai mana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011.
            Salah satu asas pembentukan paraturan perundangan-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 UU No.12/2011 adalah asas keterbukaan. Dalam asas keterbukaan ini, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Bila asas keterbukaan ini dijalankan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, maka    penerapan peraturan perundangundangan tersebut di dalam masyarakat akan berlangsung secara efektif, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Munculnya draft revisi UU KPK terkesan mendadak dan dilakukan diujung masa kerja DPR 2014 – 2019.
            Dari sisi asas materi muatan peraturan perundang-perundangan, sebagaimana diatur pada pasal 6 UU No.12/2011, bahwa draft revisi UU KPK kurang mencerminkan asas keadilan, yang menghendaki bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara. Sebagian besar masyarakat sangat menentang korupsi dan salah satu faktor dominan yang merusak keadilan di nusantara adalah praktek korupsi.
            Berdasarkan uraian yang dikedepankan, karena revisi UU KPK tidaklah termasuk dalam skala prioritas, diduga melemahkan posisi KPK, belum sepenuhnya sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan  juga belum memenuhi asas materi muatan peraturan perundang-undangan, maka revisi UU KPK sudah sebaiknya belum menjadi skala prioritas bagi Presiden saat ini, dan kalaupun ada rencana rivisi UU KPK yang sifatnya memperkuat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan pada periode 2019 – 2024. Semoga.  
(*adalah Alumnus FH-UI, Advokat, IG : kardi_pakpahan)

Selasa, 03 September 2019

Pengalihan Piutang (Cessie) sebagai Solusi Penyelesaian Hutang


Catatan Penyelesaian Kredit :
Pengalihan Piutang (Cessie) sebagai 
Solusi Penyelesaian  Hutang


Oleh : Kardi Pakpahan*

                Perjanjian Hutang lazimnya ditangani melalui strategi aksi pra tindakan hukum dan tindakan hukum. Pra tindakan hukum misalnya dapat dilakukan melalui monitoring atau penagihan yang intensif, melalui pendekatan perundingan atau negosiasi, melakukan serangkaian penekanan psikologis. Sedangkan tindakan hukum dalam penyelesaian hutang antara lain dapat ditempuh melalui instrumen Surat Peringatan (somasi),  melalui jasa professional pihak ketiga, melakukan likuidasi terhadap jaminan hutang dengan dasar hukum yang tersedia, gugatan perdata (sederhana, biasa, kepailitan), dan lain-lain.
                Akibat dari serangkaian strategi yang dimaksudkan dapat terjadi   pelusanan, penyelesaian tunggakan kredit, restrukturisasi kredit, novasi, subrogasi, penjualan atau lelang  jaminan kredit, melakukan take over, pengalihan piutang (cessie).
                Solusi pemilihan pengalihan piutang  dilakukan biasanya dikaitkan dengan waktu dan biaya penyelesaian hutang, misalnya daripada menyelesaikan hutang melalui gugatan perdata yang relative lama, mekanisme pengalihan piutang dapat menjadi alternatif  yang dapat digunakan.  Pengalihan piutang saat ini sudah diakomodir dalam beberapa peraturan yang terkait dengan jaminan kredit, seperti ketentuan pengalihan pemegang hak tanggungan atau fidusia karena perubahan kedudukan Kreditur karena adanya pengalihan piutang.
                Kenapa piutang dapat  dialihkan atau diperjualbelikan ?  Karena Piutang berdasarkan sifat, tujuan penggunaan dan undang-undang dikelompokkan dalam hak kebendaan yang dapat dikuasai oleh subyek hukum, baik personal maupun institusional, pada kelompok benda bergerak tak bertubuh (Vide : Pasal 504 Kitab Undang-undang Perdata/KUHPerd). Setiap hak kebendaan yang bernilai ekonomis dapat dialihkan, namun bentuk pengalihannya dapat berbeda satu sama lain, misalnya pengalihan hak atas tanah dilakukan melalui akta pengalihan di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), Pengalihan atas benda bergerak berwujud dilakukan penyerahan bendanya, Pengalihan piutang atas nama dapat dilakukan melalui akta pengalihan piutang, baik melaui akta otentik atau akta dibawa tangan  (Vide : Pasal 613 KUHPer).
                Mekanisme pelaksanaan Cessie atau Pengalihan piutang menurut pasal 613 KUHPerdata diwujudkan dalam bentuk pembuatan akta Cessie, yang dapat dibuat dalam akta otentik  maupun akta di bawah tangan. Setelah akta Cessie dibuat oleh para pihak, maka Penjual (Kreditur) Cessie memberitahukannya secara tertulis kepada Debitur. Bila piutang yang dijual ada terikat jaminan, seperti hak tanggungan atau fidusia, akta Cessie digunakan untuk permohonan ke instasi terkait untuk merubah pemegang jaminan menjadi atas nama pembeli cessie.
                Untuk mendapatkan harga penjualan atau pengalihan piutang, biasanya terlebih dahulu piutang dinilai dan dilakukan penawaran kepada pihak-pihak yang berminat.
                Dalam penyelesaian hutang melalui resolusi penjualan jaminan hutang, seperti tanah hak, dengan nilai yang relatif besar dapat ditempuh dengan cara pemecahan tanah hak, untuk memudahkan penjualan. Dalam menjual atau mengalihkan piutang tentu hal yang sama dapat dilakukan, terutama piutang dengan dua atau lebih jaminan kredit. Penyelesaian piutang dengan cara memecah piutang terbuka juga dilakukan  melalui mekanisme perjumpaan hutang atau konvensasi atau pembebasan hutang, sebagaimana yang diatur pada pasal 1381  KUHPer.
 (*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Advokat & Trainer  di Bidang Keuangan, WA : 0813-2895-0019. IG = kardi_pakpahan)                     

Senin, 02 September 2019

Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global


Sebuah Scenario Planning : 
Memperkuat Internal, Menghadapi Ketidakpastian Global


Oleh: Kardi Pakpahan*
                Salah satu Dampak perang dagang antara Negara Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (Republik Rakyat Tionghoa), kemungkinan besar adalah pada masalah ketidakpastian global atau resesi, khususnya yang dimungkinkan kian kentara dan terasa di  penghujung tahun 2019 dan memasuki tahun 2020 pada sisi kedua Negara yang  terlibat perang dagang. Perang dagang tersebut juga dapat menarik negara-negara di kawasan tertentu, seperti kawasan Eropa  mengalami ketidakpastian atau perlambatan, terutama negara-negara yang selama ini tinggi tingkat perdagangannya dengan dengan Amerika Serikat maupun China.
                Akibat ketidakpastian/perlambatan atau kondisi eksternal yang melemah, dari sisi internal Indonesia maka diperlukan beberapa perubahan. Bila perubahan yang dimaksud tidak dilakukan maka kemungkinan dapat memicu perlambatan kegiatan ekonomi di dalam negeri, dan berpotensi menjadi resesi. Perubahan internal yang memungkinkan dilakukan, sebagian diantaranya dikedepankan pada uraian berikut.
                Pertama, penyelenggara jasa keuangan, baik perbankan maupun non perbankan, perlu menghindari dari model bisnis yang terlalu terkonsentrasi ke bidang tertentu yang dapat mengakibatkan eskalasi resiko terkonsentrasi. Disamping tetap menggali potensi pasar yang ada, penyelenggara jasa keuangan perlu tetap konsistesn menjalankan tata kelola dan melakukan pengendalian resiko secara keseluruhan. Dalam pada itu, usaha penyelenggara keuangan perlu terus mendukung pembiayaan komoditi ekspor yang layak dibiayai.
                Kedua, perdagangan. Untuk mengatasi dalam defisit transaksi perdagangan, maka selagi tersedia komiditi yang memadai dalam negeri, perlu dihindari impor. Perubahan orientasi ekspor perlu juga dilakukan, khususnya ke negara-negara atau ke kawasan yang baru. Perwakilan pemerintah Indonesia, seperti Kedubes atau Konsulat di mancanegara sudah sebaiknya proaktif memformulasikan berbagai komoditi yang menjadi pasar ekspor.
                Ketiga, pengelolaan anggaran pemerintah. Pengelolaan anggaran pemerintah, baik dalam tingkat APBD maupun APBN perlu dikelola semakin sehat dengan tingkat penyalahgunaan yang sangat minim. Ditingkat APBD, disinyalir laporan keuangan Pemerintah Daerah (Pemda) dapat predikat WTP, tetapi kadang kala korupsi diduga masih terjadi. Mengingat hal tersebut, maka audit BPK, sudah benar-benar dapat terus meningkatkan kualitas pemeriksaan atau auditnya. Dalam kegiatan audit misalnya, jangan terlalu terfokus mencari siapa yang salah, tetapi benar-benar memeriksa atau mengaudit tentang apa yang salah dan membangun komitmen cara memperbaikinya, sehingga tidak muncul lagi hal yang berulang pada proses audit berikutnya.
                Keempat,  kondisi investasi yang semakin kondusif. Untuk memperkuat kondisi intenal, maka perlu dikedepankan kondisi investasi yang semakin kondusif, seperti dalam pelayanan perizinan, tata niaga ekspor, dan lain-lain. Kegiatan investasi yang kondusif, baik untuk orientansi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor, disamping dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan, juga sekaligus dapat mengatasi defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit.
                Kelima,  politik. Untuk memperkuat internal, maka diperlukan kestabilan di bidang politik. Oleh karena itu, perbedaan sikap politik diantara komponen bangsa, terutama antar partai politik,  maka sudah sebaiknya diselesaiakan  melalui mekanisme konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Kubu oposisi sudah sebaiknya melakukan koreksi ataun kritik secara positif dan kontruktif, jangan sampai ada yang destruktif.
                Keenam, keamanan. Untuk memperkuat Internal dalam menghadapi kemungkinan ketidakpastian global, tingkat keamanan dalam negeri  sudah sebaiknya selalu terjaga di seluruh wilayah. Untuk itu, setiap institusi keamanan yang ada perlu proaktif melakukan aksi, baik dalam pencegahan maupun mengatasi setiap ancaman keamanan. Dalam pada itu, setiap penyakit sosial dalam masyarakat, seperti masalah peredaran narkoba, perjudian, dan lain-lain, perlu benar-benar diantisipasi institusi penegak hukum.
                Ketujuh, ketahanan pangan. Lembaga-lembaga yang terkait, perlu lebih mempersiapkan kebijakan ketahanan pangan dalam negeri dan semakin sedikit tergantung pada komoditi pangan impor.
                Kedelapan, pariwisata. Pasar pariwisata dalam negeri harus tetap dipacu, dan saat yang sama membuat program pariwisata yang dapat menarik wisatawan manca negara untuk berkunjung ke dalam negeri. Untuk menarik wisatawan dari kawasan Timur Tengah ke dalam negeri misalnya, dapat dengan membuka akses penerbangan langsung ke destinasi wisata yang masih ada peluangnya, seperti ke wilayah Nusantara Tenggara Barat/NTB atau destinasi wisata lainnya di dalam negeri.
                Kesembilan, sentiment positif. Perlu terus digulirkan sentimen atau berita positif untuk mendorong bergeraknya kegiatan perekonomian, khususnya dalam mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi baru. Misalnya, beberapa waktu lalu kawasan Labuhan Bajo, Kawasan Danau Toba, adalah relatif tidak begitu ramai, sekarang dengan berita positif yang digulirkan, kawasan ini dan beberapa kawasan lainnya sudah semakin berdenyut kegiatan ekonominya.
                 Rencana pemindahan ibukota Republik Indonesia ke kawasan Kaltim, yang diprakarsai oleh  Presiden Jokowi, perlu direspon secara positif, terutama dalam mempersiapkan sisi regulasinya oleh setiap institusi terkait. Banyak dampak positif dari rencana pemindahan wilayah ibukota tersebut, seperti menciptakan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, menciptakan wilayah baru pertumbuhan ekonomi, mendorong masuknya investasi dan arus modal karena model pembangunan wilayah ibukota yang baru dicanangkan memerlukan partisipasi swasta.
                Kesepuluh, transportasi. Untuk memperkuat sisi internal, dalam menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, maka  seluruh jalur transportasi, perlu dibenahi supaya semakin efisien dan tidak menjadi pendorong semakin tingginya inflasi. Jalur transportasi udara yang sempat mahal, perlu dilakukan modifikasi model bisnis baru, supaya semakin terjangkau masyarakat umum dan dapat mendukung semakin berdenyutnya kegiatan ekonomi di seluruh Nusantara.
                Kesebelas, program perduli produk dalam negeri. Dalam kondisi perlambatan global, maka program perduli produk dalam negeri, baik barang dan jasa, perlu dilakukan. Dalam bidang produk jasa pendidikan misalnya, perlu dikedepankan kebijakan yang dapat meningkatkan jasa pendidikan nasional, baik dalam  program pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang.
                Keduabelas, dari infrastruktur  ke SDM. Penggunaan Dana APBN, walapun dalam kondisi tertentu, seperti Current Account Deficit,  tetapi digunakan juga untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM maka tidaklah selalu berdampak negatif, karena hasilnya akan positif pada periode atau masa berikutnya. Oleh karena itu, termasuk dalam menghadapi ketidakpastian global, maka pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi perlu dilanjutkan dengan asrtikulasi berikutnya pada pembangunan SDM, sehingga dapat memicu semakin meningkatkannya produktivitas nasional dan SDM Indonesia semakin banyak yang dapat bekerja di manca Negara pada posisi yang baik.
                Di dalam itu semua, semoga scenario planning-nya adalah perang dagang Paman Sam (AS) dengan Negeri Tirai Bambu (China) cepat reda, dan semakin tercipta tingkat kepastian global dan internal yang semakin positif. Namun. walapun diperhadapkan dengan ketidakpastian yang semakin tinggi, perlu terus optimis dengan berbagai aksi perubahan yang relevan. Dikatakan demikian, karena di setiap Krisis juga ada peluang, setiap perusahaan terbentuk bersama peluang, setiap orang lahir bersama peluang, setiap Negara, termasuk NKRI – didirikan atau diproklamasikan juga bersama peluang. 
(*Adalah Advokat dan Trainer, Alumnus FH-UI, WA = 0813-2895-0019)