Minggu, 06 November 2022

Rubrik Hukum : Aspek Hukum Pengosongan atas Eksekusi Hak Tanggungan

 Rubrik Hukum :

Aspek Hukum Pengosongan atas 

Eksekusi Hak Tanggungan

Oleh : Kardi Pakpahan*

Salah cara eksekusi Hak Tanggungan adalah melalui eksekusi secara langsung oleh kreditur atau bank melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud pada pasal 6 UU No.4/1996 tentang Undang-undang Hak Tanggungan atau UUHT jo pasal 20 ayat 1 UUHT.  Pada Pasal 6 UUHT disebutkan :Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Sedangkan pada pasal 20 ayat 1 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a) hak  pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana imaksud dalam Pasal 6, atau;  b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan pasal 14 ayat 2 dan ayat  3 UUHT, Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Saat ini peraturan pelaksana dari lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan pasal 6 UUHT jo pasal 20 ayat 1 didasarkan  pasal 8 UU No.12/2011 jo Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia/PMK No.213/PMK.06/2020.

Salah satu kegiatan penting setelah lelang terlaksana sesuai ketentuan PMK No.213/PMK.06/2020, khususnya setelah ada pemenang lelang/pembeli adalah adalah pada aspek pengosongan obyek lelang. Kadang kala, walapun sudah ada pemenang lelang, namun debitur atau termohon eksekusi masih enggan mengosongkan obyek lelang eksekusi hak tanggungan.

Berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat 2 huruf j UUHT dan janji Debitur atau pemberi hak tanggungan pada APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) seharusnya dengan itikad baik Debitur atau Pihak Tereksekusi harus segera mengosonghkan obyek lelang.  Pada pasal 11 ayat 2 huruf j  UUHT dikedepankan :”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan”.

Walapun begitu, untuk menghadapi debitur atau pihak tereksekusi/pihak terlelang yang tidak koperatif, yang tidak mau mengosongkan obyek lelang padahal lelang sudah dilaksanakan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 ayat 2 RBg, Pemenang lelang atau Pembeli dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri yang berwewenang. Pada pasal 200 ayat 11 HIR disebutkan : “Jika orang yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka ketua pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya”.

 Hal senada juga diatur pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyatakan “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”.

Dalam pada itu, dalam eksekusi lelang hak tanggungan, maka sebaiknya Debitur atau pihak terlelang tidak perlu menghalang-halangi Petugas atau Pejabat Eksekutor dalam menjalankan eksekusi, baik sendiri maupun dengan dugaan menggunakan preman, karena itu bisa diancam dengan ketentuan pasal 212 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP. Pada pasal 212 KUHP disebutkan :”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

(*Kardi Pakpahan, Advokat, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia).