Rubrik Hukum :
Aspek Hukum Pengosongan atas
Eksekusi Hak
Tanggungan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah cara eksekusi Hak Tanggungan adalah melalui
eksekusi secara langsung oleh kreditur atau bank melalui pelelangan umum
sebagaimana dimaksud pada pasal 6 UU No.4/1996 tentang Undang-undang Hak Tanggungan
atau UUHT jo pasal 20 ayat 1
UUHT. Pada Pasal
6 UUHT disebutkan :”Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Sedangkan pada pasal 20 ayat 1 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor
cidera janji, maka berdasarkan : a) hak
pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana imaksud dalam
Pasal 6, atau; b) titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu
dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
Berdasarkan pasal 14
ayat 2 dan ayat 3 UUHT, Hak Tanggungan
memiliki kekuatan eksekutorial. Saat ini peraturan pelaksana dari lelang
eksekusi hak tanggungan berdasarkan pasal 6 UUHT jo pasal 20 ayat 1 didasarkan pasal 8 UU No.12/2011 jo
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia/PMK No.213/PMK.06/2020.
Salah
satu kegiatan penting setelah lelang terlaksana sesuai ketentuan PMK
No.213/PMK.06/2020, khususnya setelah ada pemenang lelang/pembeli adalah adalah
pada aspek pengosongan obyek lelang. Kadang kala, walapun sudah ada pemenang
lelang, namun debitur atau termohon eksekusi masih enggan mengosongkan obyek
lelang eksekusi hak tanggungan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 11 ayat 2 huruf j UUHT dan janji Debitur atau pemberi hak
tanggungan pada APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) seharusnya dengan itikad
baik Debitur atau Pihak Tereksekusi harus segera mengosonghkan obyek lelang. Pada pasal 11 ayat 2
huruf j UUHT dikedepankan :”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemberi
Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi
Hak Tanggungan”.
Walapun
begitu, untuk menghadapi debitur atau pihak tereksekusi/pihak terlelang yang
tidak koperatif, yang tidak mau mengosongkan obyek lelang padahal lelang sudah
dilaksanakan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 ayat
2 RBg, Pemenang lelang atau Pembeli dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan
Negeri yang berwewenang. Pada pasal
200 ayat 11 HIR disebutkan : “Jika orang
yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka ketua
pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa
menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri,
jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya”.
Hal senada juga diatur pada Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan yang menyatakan “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh
kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau
mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”.
Dalam
pada itu, dalam eksekusi lelang hak tanggungan, maka sebaiknya Debitur atau
pihak terlelang tidak perlu menghalang-halangi Petugas atau Pejabat Eksekutor
dalam menjalankan eksekusi, baik sendiri maupun dengan dugaan menggunakan
preman, karena itu bisa diancam dengan ketentuan pasal 212 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau KUHP. Pada pasal 212 KUHP disebutkan :”Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang
sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan
pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
(*Kardi Pakpahan, Advokat, Alumnus Fakultas Hukum Universitas
Indonesia).