TRIBUN HUKUM
Selasa, 16 Mei 2023
Minggu, 06 November 2022
Rubrik Hukum : Aspek Hukum Pengosongan atas Eksekusi Hak Tanggungan
Rubrik Hukum :
Aspek Hukum Pengosongan atas
Eksekusi Hak
Tanggungan
Oleh : Kardi Pakpahan*
Salah cara eksekusi Hak Tanggungan adalah melalui
eksekusi secara langsung oleh kreditur atau bank melalui pelelangan umum
sebagaimana dimaksud pada pasal 6 UU No.4/1996 tentang Undang-undang Hak Tanggungan
atau UUHT jo pasal 20 ayat 1
UUHT. Pada Pasal
6 UUHT disebutkan :”Apabila
debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Sedangkan pada pasal 20 ayat 1 UUHT dinyatakan :”Apabila debitor
cidera janji, maka berdasarkan : a) hak
pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana imaksud dalam
Pasal 6, atau; b) titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu
dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
Berdasarkan pasal 14
ayat 2 dan ayat 3 UUHT, Hak Tanggungan
memiliki kekuatan eksekutorial. Saat ini peraturan pelaksana dari lelang
eksekusi hak tanggungan berdasarkan pasal 6 UUHT jo pasal 20 ayat 1 didasarkan pasal 8 UU No.12/2011 jo
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia/PMK No.213/PMK.06/2020.
Salah
satu kegiatan penting setelah lelang terlaksana sesuai ketentuan PMK
No.213/PMK.06/2020, khususnya setelah ada pemenang lelang/pembeli adalah adalah
pada aspek pengosongan obyek lelang. Kadang kala, walapun sudah ada pemenang
lelang, namun debitur atau termohon eksekusi masih enggan mengosongkan obyek
lelang eksekusi hak tanggungan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 11 ayat 2 huruf j UUHT dan janji Debitur atau pemberi hak
tanggungan pada APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) seharusnya dengan itikad
baik Debitur atau Pihak Tereksekusi harus segera mengosonghkan obyek lelang. Pada pasal 11 ayat 2
huruf j UUHT dikedepankan :”Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji bahwa pemberi
Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi
Hak Tanggungan”.
Walapun
begitu, untuk menghadapi debitur atau pihak tereksekusi/pihak terlelang yang
tidak koperatif, yang tidak mau mengosongkan obyek lelang padahal lelang sudah
dilaksanakan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 ayat
2 RBg, Pemenang lelang atau Pembeli dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan
Negeri yang berwewenang. Pada pasal
200 ayat 11 HIR disebutkan : “Jika orang
yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka ketua
pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa
menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri,
jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya”.
Hal senada juga diatur pada Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan yang menyatakan “Terhadap pelelangan hak tanggungan oleh
kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau
mengosongkan obyek lelang, eksekusi lelang dapat langsung diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri tanpa melalui gugatan”.
Dalam
pada itu, dalam eksekusi lelang hak tanggungan, maka sebaiknya Debitur atau
pihak terlelang tidak perlu menghalang-halangi Petugas atau Pejabat Eksekutor
dalam menjalankan eksekusi, baik sendiri maupun dengan dugaan menggunakan
preman, karena itu bisa diancam dengan ketentuan pasal 212 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau KUHP. Pada pasal 212 KUHP disebutkan :”Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang
sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan
pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
(*Kardi Pakpahan, Advokat, Alumnus Fakultas Hukum Universitas
Indonesia).
Kamis, 06 Oktober 2022
Budaya : Resiko Hukum Mengubah Kumpulan Marga dengan Dugaan Menggunakan Keterangan Palsu
Budaya :
Resiko
Hukum Mengubah Kumpulan Marga dengan Dugaan
Menggunakan
Keterangan Palsu
Silsilah pada kumpulan marga
atau toga merupakan unsur
identitas masyarakat hukum adat. Masyarakat
hukum adat adalah Masyarakat Hukum Adat seperti Desa di Jawa, Marga di Sumatera
Selatan, Nagari di Minangkabau, Huta di
Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri
sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear, matrilinear, atau
bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas
pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air,
ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan.
Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri,
Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai
peranan yang besar (Prof Dr Soerjono Soekanto, SH, 2012 :43).
Silsilah
atau tarombo pada Batak Toba terbentuk dan dikembangkan dari suatu masyarakat
hukum adat, yang bermula dari huta (perkampungan induk), yang kemudian huta
dikembangkan dengan sebutan lain, seperti Lumban, Sosor, Banjar, Lobu, dan
lain-lain. Pada umumnya yang bermukim
pada suatu masyarakat hukum adat adalah memiliki pertalian darah (genealogis)
secara patrilinear atau berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian,
suatu marga atau kumpulan marga memiliki asal perkampungan atau huta, yang
disebut juga tempat pamoparan. Kalau
sebuah marga saat ini tidak memiliki perkampungan asal, perlu diverifikasi
apakah marga atau kelompok marga tersebut pendatang ke sebuah kumpulan marga
atau apakah marga terkait pernah mendapatkan sanksi hukum adat, seperti
diasingkan atau dipabali dari sebuah
masyarakat hukum adat dikarena tingkah laku yang tidak sesuai dengan
norma-norma hukum adat atau diduga marga yang tidak mempunyai huta merupakan pendatang atau diain atau dirajahon pada suatu
masyarakat hukum adat. .
Sampai
saat ini masyarakat hukum adat dari segi regulasi diatur baik dalam lingkup
internasional, nasional maupun lokal. Dalam pengaturan transnasional,
keberadaan masyarakat hukum adat di atur pada 169
Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989.
Dalam lingkup nasional di sini, pengaturan tentang masyarakat hukum adat bisa
dibaca dari ketentuan pasal 18 B UUD 1945. Disitu disebutkan :”Negara mengakui dan menghormati
kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”. Pengaturan
yang lain, bisa dibaca pada ketentuan pasal 28 I UUD 1945. Disana dikatakan :”Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Unsur identitas, dalam
masyarakat hukum adat, seperti silsilah/tarombo
diteruskan atau diwariskan dari satu generasi ke generasi. Merubah silsilah
pada generasi Pertama dari suatu kumpulan marga atau toga yang telah berusia
sekitar 450 tahun yang lalu dengan asumsi 1 generasi 25 tahun misalnya,
tentu harus lah didukung dengan
bukti-bukti yang kuat, terutama yang memiliki titik persesuaian satu
sama lain, bukan dibangun atau disusun di atas pondasi yang rapuh.
Kalau ada kumpulan marga atau
toga, yang berusia sekitar 450 tahun, kalau pun disusun kembali atau dilakukan
reformulasi mulai dari generasi I, sudah sebaiknya disusun dengan beberapa
prinsip utama. Sebagian dari prinsip itu, dikedepankan pada uraian berikut.
Pertama,
berangkat dari masyarakat hukum adat. Wujud dari masyarakat hukum adat pada
Batak Toba, berangkat dari huta atau
perkampungan induk dari sebuah marga atau kumpulan marga sebagai episentrum.
Sebuah marga yang asli atau memiliki hubungan darah dengan generasi I sebuah
marga atau silsilah, harus bisa mempertahankan dan meneruskan huta atau masyarakat hukum adatnya.
Kalau ada suatu marga tidak memiliki huta
atau tempat pamoparan, maka biasanya ada petunjuk yang perlu diverifikasi,
misalnya apakah marga tersebut merupakan pendatang pada sistem sosial
masyarakat hukum adat, atau pernah diusir atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat.
Pada komunitas masyarakat
hukum adat Raja Sonang di Kecamatan Onan
Runggu Samosir, diduga ada 4 pendatang dan perlu diverifikasi lebih mendalam,
yaitu 1) diduga Hutabalian pada Toga Gultom; 2) diduga Sirahut Hole pada Toga
Samosir; 3) diduga Silakkitang Jauh atau sebutan lain pada Toga Pakpahan; 3) diduga
Sihapit Saong pada Toga Sitinjak. Pada Dokumen 18 September 1936, didepankan
tentang acara adat Raja Bius Toga Gultom, di Onan Runggu, Samosir tentang acara
penegasan Hutabalian sebagai marga yang “dirajakan” atau diain pada Toga Gultom (2016
: 9), sehingga Toga atau kumpulan
marga Gultom yang keturunannya di awal ada
3 marga menjadi 4, yaitu : a)
Gultom Huta Toruan atau Tujuan Laut; b) Gultom Huta Pea; c) Gultom Huta Bagot;
d) Gultom Hutabalian.
Dalam pada itu, penggunaan
atau penguasaan bagian dari tanah ulayat (golat)
atau tanah parripean, dari suatu
marga, diduga anak yang diain atau
diangkat pada suatu kumpulan marga adalah dalam status Saudara Pemukim bersama
(dongan parripe pangisi ni golat), tidak
mempunyai hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Kedua,
menjalankan prinsip dalihan na tolu
(tunggu nan tiga). Reformulasi susunan Toga atau kumpulan marga, sebaiknya
tidak hanya terjadi melului informasi atau bukti dari dongan tubu (saudara), tetapi juga dari sisi Hula-hula maupun Boru
dari generasi awal sampai generasi terkini.
Ketiga,
susunan dari kumpulan marga yang diubah, dari generasi I sampai dengan generasi
terakhir, sudah bisa diverifikasi dan disusun, dengan bukti pendukung. Pada
setiap generasi, generasi awal atau pertama,
hula-hula sudah jelas. Sebaiknya, `dihindari mengubah atau reformulasi
struktur kumpulan kalau masih belum terstruktur secara lengkap, karena diduga
terbuka mengemuka masalah hukum, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.
Keempat,
didominasi fakta, bukan hanya opini atau imajinasi atau perkiraan. Mengubah struktur kumpulan marga, baik yang
terikat karena hubungan pertalian darah atau adanya keturunan yang diain atau diangkat, sebaiknya didukung
dengan fakta, bukan hanya berlandaskan opini atau imajinasi/khayalan.
Kelima,
fakta yuridis. Dalam konteks yuridis, pada prinsipnya yang dapat menggunakan
marga, sebagai identitas pada masyarakat hukum adat, adalah memiliki hubungan
darah dengan Pewaris (Vide : pasal
832 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPer atau Burgerlijk Wetboek/BW.
Sebagaimana diketahui BW atau
KUHPer di negeri Belanda disusun pada 5 Juli 1830 dan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 1838. Sedangkan
di Indonesia KUHPer atau BW mulai diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad Nomor : 23, dan mulai berlaku
di Indonesia (Hindia Belanda) dengan
menggunakan asas konkordansi pada 1
Januari 1848.
Keenam,
menggunakan beberapa bukti, baik bukti surat, saksi, petunjuk, maupun
pengakuan, persangkaan, sumpah yang memiliki titik saling bersesuain satu sama lain. Alat bukti
surat, dengan masuknya beberapa perkara yang terkait dengan masyarakat hukum
adat batak Toba di Samosir, Tapanuli, khususnya melalui Pengadilan Negeri
Balige dan Pengadilan Negeri Tarutung, sudah semakin memadai. Alat-alat bukti
lainnya yang ada di masyarakat hukum adat, khususnya yang bisa diverifikasi
adalah Artefak, Tugu Parsadaan
Kumpulan Marga atau Toga, Tambak,
Makam atau kuburan, dokumentasi acara adat, bangunan, sumber air, perladangan,
bangunan tempat tinggal atau rumah dan
lain-lain.
Resiko
Hukum
Menyusun
kembali struktur identitas pada masyarakat hukum adat, seperti silsilah atau tarombo yang diduga menggunakan
keterangan palsu atau bukan dengan keterangan yang sebenarnya, tentu terbuka ada
resiko hukumnya, baik pada sisi resiko hukum pidana maupun hukum perdata.
Bagi pihak yang dirugikan dari struktur
kumpulan marga yang baru disusun, untuk mengwujudkan keadilan dan kepastian
hukum, maka upaya hukum dari sisi pidana
merupakan opsi yang bisa ditempuh.
Sedangkan
dalam konteks pemulihan hak atas identitas atau silsilah dalam kumpulan marga
dari suatu perubahan struktur kumpulan marga bisa ditempuh melalui upaya hukum
gugatan perdata, yaitu perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige
daad ( Vide : pasal 1365 KUHPer).
Dari konteks upaya hukum pidana, atas penyusunan struktur marga
baru/toga yang baru yang diduga disusun berdasarkan keterangan
yang bukan sebenarnya atau palsu bisa diproses melalui laporan pidana atas
membuat keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana atau KUHP) atau menggunakan keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 2 KUHP) dengan ancaman pidana penjara 6 tahun. Pada pasal 263 ayat 1 KUHP dikatakan
:”Barang siapa membuat
surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan
atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu
hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun”.
Bila
akibat pembuatan perubahan struktur kumpulan marga yang dibuat ternyata diduga berakibat
pencemaran atau penghinaan bagi pihak lain, terutama bagi pihak yang dirugikan,
maka pihak yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama terbuka dilaporkan atas dugaan pencemaran atau penghinaan,
sebagaimana diatur pada pasal 310 KUHP.
Jika
konten perubahan struktur marga yang disusun diduga mengandung dugaan
pencemaran atau penghinaan (Vide :
pasal 310 KUHP) juga didistribusikan melalui saluran eletronik atau teknologi
informasi, seperti media sosial (Youtube, Facebook, Twitter,
dan lain-lain) maka terbuka juga
diproses sesuai dengan bagian sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada UU No. 11/2008, yang telah
diubah dengan UU No. 19/2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disebut juga UU ITE.
Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE jo pasal
45 ayat 3 UU ITE dikedepankan :”Setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Jika seseorang atau sekelompok orang
membuat struktur kumpulan marga baru diduga mengakibatkan permusuhan atau rasa
kebencian, terbuka juga diproses sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 UU ITE
jo pasal 45a ayat 2 UU ITE, yang menyatakan :”Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”.
Pada upaya hukum secara perdata atas
penyusunan struktur baru kumpulan marga atau toga yang diduga disusun menggunakan keterangan palsu/bukan
keterangan yang sebenarnya, dan merugikan pihak lain, maka pihak yang berada di
posisi yang dirugikan dapat melakukan
gugatan kepada pihak-pihak yang menyusun susunan struktur kumpulan marga
tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) sebagaimana diatur pada pasal 1365 KUHPer. Pada pasal 1365 KUHPer
disebutkan :”Setiap orang yang melakukan
perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari
kesalahannya tersebut”.
Menurut
Prof Rosa Agutina, SH (Perbuatan Melawan
Hukum, 2003 : 151), suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan
hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu 1) bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku; 2) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; 3) bertentangan dengan
kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian. Angka 1 dan 2 bersumber
pada hukum terulis, sedangkan angka 3 dan 4 bersumber dari hukum tidak terulis.
Dalam hukum Indonesia, melawan hukum atau onrechtmatige diartikan sebagai melanggar hukum tertulis
dan melanggar hukum tidak tertulis, seperti hukum adat.
Dalam pada itu, menurut pasal 1372
KUHPer, Tuntutan Perdata tentang hal
penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan
kehormatan dan nama baik.
Jika para Tergugat, yang membuat struktur kumpulan marga yang baru,
yang diduga menggunakan keterangan palsu, berdomilisi di beberapa wilayah hukum, maka
berdasarkan pasal 118 HIR/pasal 142 RBg, gugatan dapat diajukan ke salah
satu Pengadilan Negeri tempat tinggal dari para Tergugat.
Disamping perlu menyusun dasar gugatan yang kuat, maka arah tuntutan dalam gugatan, antara lain namun tidak terbatas pada : 1) menyatakan perbuatan Para Tergugat membuat struktur kumpulan marga adalah perbuatan melawan hukum; 2) menghukum Para Tergugat tidak diperkenankan menggunakan struktur kumpulan marga yang baru; 3) menghukum Para Tergugat untuk meminta maaf kepada Penggugat pada halaman depan media massa nasional 7 hari berturut-turut; 4) menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi, baik meterial Rp……maupun ganti rugi immaterial Rp……..; 5) Supaya gugatan tidak sia-sia meletakkan sita jaminan atas aset-aset milik para Tergugat (Vide : pasal 1233 KUHPer jo pasal 1131 KUHPer).
Berangkat dari hal tersebut, kalau
sampai dilakukan penyusunan kumpulan marga atau toga, maka sebaiknya disusun
secara cermat, dengan menjalankan prinsip utama dan memperhatikan potensi
resiko hukum yang ada
Kamis, 18 Agustus 2022
Asal Huta, sebagai Bukti Silsilah
Asal Huta,
sebagai Bukti Silsilah
Oleh
: Kardi Pakpahan*
Perkampungan induk yang
disebut dengan huta pada sistem sosial
masyarakat batak toba dapat
dijadikan sebagai salah satu alat bukti tentang silsilah dari suatu marga.
Dikatakan demikian, karena huta adalah bentuk masyarakat hukum adat, yang
memiliki sistem yang pada umumnya mengedepankan hubungan antar anggota
masyarakat yang diikat karena adanya hubungan atau pertalian darah (genealogis) dengan pola hubungan utama
mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal. Ada beberapa marga yang
menggunakan huta dalam penyebutan marganya, seperti Hutagalung, Hutasoit,
Hutabalian, Hutasuhut, dan lain-lain. Sehubungan dengan hubungan antar anggota
masyarakat di suatu huta pada umumnya adalah berpola adanya hubungan darah,
maka huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo dari generasi
ke generasi.
Nama
atau sebutan untuk huta biasanya tergantung kepada tokoh atau raja yang membuka
suatu huta atau perkampungan. Misalnya, dari sisi historis si Raja Pakpahan
atau si Pakpahan, berdasarkan data antropologis dan sosiologis membuka kampung
yang pertama atau kampung asal atau
perkampungan induk bernama huta bolon, di desa Pakpahan, Kecamatan Onanrunggu,
Samosir, yang kemudian berkembang ke wilayah lainnya, baik pada jarak yang
dekat maupun ke wilayah yang jauh.
Si
Pakpahan, adalah anak ketiga dari Si Raja Sonang/Boru Oloan (Br Sitindaon).
Anak lainnya dari Raja Sonang adalah Gultom, Samosir, Sitinjak. Dari sisi
Perkampungan atau parhutaan dari keturunan Raja Sonang yang terbentang di
Kecamatan Onan Runggu, Samosir dari timur ke barat adalah Gultom,
Samosir/Harianja, Pakpahan, Sitinjak, yang berbatasan dengan kecamatan
Nainggolan.
Searah dengan pertumbuhan jumlah anggota
masyarakat hukum adat pada suatu huta atau perkampungan, dapat dikatakan
membutuhkan perluasan lahan, untuk membangun tempat tinggal yang baru, untuk
bertani maupun beternak, dan lain-lain. Untuk itu huta atau perkampungan asal
dikembangkan ke wilayah sekitar atau membuka perkampungan lain di wilayah lain.
Perkampungan
Induk
Pengembangan
Huta atau perkampungan induk secara demografik, bisa juga dengan membuka huta
yang baru. Sedangkan lapisan permukiman baru lainnya dari huta, pada masyarakat
batak toba adalah Lumban. Sama juga dengan huta, ada juga anggota masyarakat
hukum adat yang memakai Lumban sebagai sebutan untuk marga. Misalnya, Lumban
Tobing, Lumbantoruan, Lumban Raja, Lumban Gaol dan lain-lain.
Kalau
ditanya mana duluan huta (perkampungan induk) dari lumban ? Karena Lumban
adalah pengembangan wilayah perkampungan induk atau huta, maka Lumban mengikuti
Huta. Artinya duluan Huta baru Lumban. Misalnya tidak pernah disebut, Si
Pukka Lumban atau Raja Lumban, tetapi istilah yang
digunakan adalah si Pukka Huta (Tokoh yang membuka huta/perkampungan induk)
atau Raja Huta.
Pengembangan
wilayah huta atau perkampungan induk
yang lain dikenal dengan beberapa istilah, seperti Banjar (perkampungan
dengan hunian yang berbaris). Ada juga anggota masyarakat hukum adat yang
menggunakan istilah Banjar untuk penamaan marga, seperti Banjarnahor. Nama-nama
perkampungan yang menggunakan sebutan Banjar yang berbatasan dengan desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu Samosir saat ini, terdapat pada dusun I Desa
Onan Runggu, Kecamatan onan runggu, Samosir, yaitui Banjar Pasir, Banjar Dolok, Banjar Tonga.
Sosor adalah bentuk lain dari
pengembangan perkampungan, yang merupakan perluasan dari perkampungan di
kawasan pinggir danau (toba). Lazimnya perkampungan di kawasan pinggir atau di
kawasan bibir danau, disebut dengan istilah Sosor Pasir, sedangkan penamaan
huta atau nomenklatur perkampungan di
atas sosor pasir disebut dengan sosor
batu atau sosor dolok. Salah satu perkampungan Hutanamora Pakpahan di desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu adalah di sosor pasir.
Pada wilayah yang berbatasan
dengan desa Pakpahan, yaitu di desa Onan Runggu Kecamatan Onan Runggu, Samosir
dikenal beberapa perkampungan dengan sebutan sosor, seperti Sosor Sibabiat,
Sosor Mamukka, Sosor Hoda, Sosor Gaol, Sosor Sihotang. Disamping sosor, pengembangan huta atau perkampungan induk juga
dikenal dengan istlah lain, seperti lobu
atau perkampungan yang sengaja ditembok, yang biasanya digunakan untuk
membedakannya dengan perkampungan masyarakat hukum adat yang lain, seperti Lobu
Sonak, Lobu Gala, Lobu Siregar.
Perkampungan
induk/perkampungan asal atau huta Toga Pakpahan atau Raja Pakpahan terletak di
Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Batas-batas Desa Pakpahan
tersebut, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Onan Runggu dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa
Sitinjak. Sebelah Utara Desa Pakpahan adalah Desa Pardomuan dan di sebelah
selatan adalah Danau Toba.
Desa
Pakpahan, dengan luas area sekitar 3,92 Km2 adalah satu diantara 12
Desa yang terdapat pada Kecamatan Onan
Runggu Samosir. Adapun nama Desa lainnya saat ini di Kecamatan Onan Runggu
adalah Sitinjak, Onan Runggu, Harian, Tambun Sungkean, Sitamiang, Pardomuan,
Huta Hotang, Rina Bolak, Sipira, Janji Matogu, Silima Lombu. Di setiap desa
tersebut, terdapat beberapa huta atau perkampungan masyarakat hukum adat.
Dari
sisi historis, Desa Pakpahan, sebagai bagian dari Onan Runggu Samosir, sebelum masa kolonialisme adalah wilayah yang
terletak pada lereng perbukitan dengan akses keluar/masuk yang terbatas. Pada
saat ini, khususnya di era Pemerintahan Presiden Jokowi, akses infrastruktur
jalan, transportasi ke/dari desa Pakpahan, sudah semakin baik.
Pada
masa lalu, karena terbatasnya akses infrastruktur jalan ke/dari Onan Runggu umumnya, dan ke desa
Pakpahan, Samosir, khususnya, diduga menjadi salah satu faktor pemicu
perkawinan diantara empat anak Raja
Sonang, yaitu Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan dan Sitinjak. Sampai sekarang,
perkawinan diantara keturunan Raja Sonang, baik di “bonapasogit” Onan Runggu
Samosir maupun di luar wilayah “bonapasogit” masih kerap terjadi.
Keturunan
Toga Pakpahan
Sebelum
diuraikan lebih lanjut perkampungan atau “parhutaan” Omp Toga Pakpahan di Desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, perlu didepankan tentang keturunan Omp Toga atau Raja Pakpahan. Berapa anak Toga Pakpahan ? Tentu, untuk
mengetahuinnya terdapat beberapa refrensi yang dapat digunakan untuk itu. Tiga
diantaranya dikedepankan pada uraian
berikut.
Pertama, pada buku “Barita ni Datu
Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10
dan 56), yang disusun berdasarkan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh
seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu
Pemilihan Kampung Pormin, Toga Pakpahan sebagai Generasi I, mempunyai 3 anak,
yaitu a) Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja Pakpahan); 2) Hutanamora
Pakpahan/Parhutanamora Pakpahan (Simora); c) Lumban Bosi Pakpahan (Sibosi)
Kedua, Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora). Parhuta Namora mempunyai seorang anak, namanya Parbona Raja, sedangkan Parbona Raja mempunyai tiga orang anak, yaitu Panulampak, Datu Ronggur Diaji, Porhas Manjunging (Sejarah Raja Sigalingging, 2009). Sebagaimana diketahui, istri dari Parbona Raja Pakpahan, sebagai Generasi III Toga Pakpahan, adalah Boru Sigalingging, begitu juga Datu Ronggur Diadji Pakpahan, yang berada pada Generasi IV Toga Pakpahan, beristrikan Sindar Mataniari Boru Sigalingging dan Naomi Petterina Br Nainggolan. Juga, istri leluhur penulis, Omp Diharaja Pakpahan (Generasi V Toga Pakpahan) menikah dengan Boru Galingging.
Kenapa ada keturunan Omp Si Raja Galingging, bermukim di Tapanuli Utara, termasuk di Kecamatan Pangaribuan dan Humbang Hasundutan serta di wilayah Parsoburan, Habinsaran, yang memiliki perkampungan induk di Sait Nihuta, Samosir ? Jawaban terhadap hal tersebut, akan Penulis uraikan pada tulisan yang berjudul :"Parbona Raja Pakpahan, Mencari Anaknya Datu Ronggur Diadji Pakpahan ke Parsoburan".
Dari Tulisan "Sejarah Raja Sigalingging, 2009", dan berdasarkan Diskusi Penulis dengan Ompung Marko Sigalingging, salah satu keturunan Si Raja Galingging yang saat ini bermukim di Siborong-borong, Tapanuli Utara, keturunan si Raja Sigalingging (dengan gelar Pangulu Oloan), ada 3, yaitu : 1) Gr Mangarinsan Sigorak Sigalingging; 2) Raja Tinatea Tambalong Sigalingging; 3) Namora Pangujian Sigalingging. Hula-hula dari Omp Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi III Toga Pakpahan), Omp Datu Ronggur Diadji Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi IV Toga Pakpahan), Omp Diharaja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi V Toga Pakpahan), berasal dari garis keturunan anak kedua si Raja Galingging, yaitu dari Omp Raja Tinatea Tambalong Sigalingging.
Bila ditelusuri silsilah Si Raja Sigalingging, dari garis keturunan anak kedua, yaitu Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, pada generasi III dan X Toga Sigalingging/Si Raja Sigalingging ditemukan keturunannya bernama DATU RONGGUR. Mengingat hal tersebut, wajarlah salah satu anak Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging, bernama Datu Ronggur Diadji Pakpahan (anak kedua). Anak Omp Parbona Raja Pakpahan yang paling besar adalah Ampanulampak Pakpahan, sedangkan anaknya ketiga/anak bungsu adalah Porhas Manjunging Pakpahan.
Dalam catatan penulis, rombongan hula-hula Si Raja Galingging, yaitu dari garis keturunan anak kedua : Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, yang menghadiri pesta Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Kecamatan Onan Runggu Samosir tahun 1976, adalah Alm St. Mayor Edy Sigalingging.
Ketiga,
pada acara Tor-Tor Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan (garis Keturunan Parhuta Raja Pakpahan), pada urutan Nomor
7 adalah Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi (Mangala Pakpahan, Hikayat Datu Ramot Pakpahan, 2007 :
39). Arti acara Nomor 7 tersebut kalau
dijabarkan sebagai berikut : a) Hutaraja
Pakpahan adalah Suhut atau tuan rumah pesta, pada pesta Horja peresmian Tugu
Datu Ramot Pakpahan, yang adalah berada pada generasi IV Toga Pakpahan; b)
Hutanamora adalah adik dari Hutaraja; c) Lumban Bosi adalah adik dari Hutaraja
dan Hutanamora. Pada acara Tor-tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi itu
tidak ada disebutkan ada keturunan Toga Pakpahan yang lain, baik karena hukum
maupun terkait dengan janji atau padan.
Menurut penulis, tarombo atau
silsilah pada acara Nomor 7 Tor-Tor
Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi pada pesta Horja Peresmian Tugu Datu
Ramot Pakpahan adalah bersesuaian dengan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan
di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin dan silsilah yang diwariskan pada keturunan Datu Ronggur Diadji Pakpahan (Barita ni
Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9
– 10 & 56).
Persebaran
perkampungan Toga Pakpahan, di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir
terdapat pada Dusun I/Lumban Baringin, Dusun II/Sosor Pasir dan Dusun III/Sosor Batu. Pada Dusun I/Lumban Baringin dan Dusun
II/Sosor Pasir Desa Pakpahan tersebut adalah tempat bermukim atau perkampungan keturunan
Hutanamora Pakpahan. Sedangkan Dusun III/Sosor Batu, Desa Pakpahan ditempati oleh keturunan
Hutaraja Pakpahan dan Lumban Bosi Pakpahan.
Sedangkan
nama-nama perkampungan Hutanamora Pakpahan di Dusun I dan Dusun II Desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir adalah 1) Huta Bolon dan Huta Sipira
Toba (kawasan pemukiman keturunan Omp Garaga Pakpahan); 2) Sosor Pasir, Dolok
Martahan (di bagian atas sebelah kanan aek
mual Simataniari), yang merupakan perkampungan atau pamoparan keturunan Omp Soengganon Pakpahan; 3) Lumban Baringin, Lumban Jabi-jabi, Lumban
Sanduduk. Yang merupakan perkampungan Omp Amani Hutasada Pakpahan; 4) Huta
Tungkup, yang merupakan perkampungan keturunan Omp Sumombun Pakpahan.
Dengan
mengetahui perkampungan atau huta, maka pada prinsipnya seseorang anggota
masyarakat hukum adat, akan bisa menelusuri silsilahnya. Jadi, asal huta atau perkampungan adalah salah satu
bukti silsilah atau tarombo.
Pengakuan seseorang sebagai bagian dari
keturunan marga pada suku batak toba, secara yuridis adalah berdasarkan hubungan
darah dengan ayah (patrilineal). Berdasarkan garis patrilineal Toga Pakpahan sesuai dengan uraian
sebelumnya, memiliki 3 anak, yaitu 1) Hutaraja Pakpahan; 2) Hutanamora
Pakpahan; 3) Lumban Bosi Pakpahan.
Pengangkatan Anak
Dalam
budaya batak toba, diakui juga pengangkatan anak, yang dikenal dengan istilah mangain atau mangarajahon. Salah satu contohnya adalah pada Toga Gultom, sebagai
anak sulung Raja Sonang.
Anak
Toga Gultom disinyalir adalah 3 orang, yaitu
a) Gultom Hutatoruan; b) Gultom Hutapea; c) Gultom Hutabagot. Pada suatu
waktu, Hutabalian diain atau diangkat menjadi anak Toga Gultom. Pada Notulen Rapat Adat Negeri Gultom dalam
pemilihan Candidat Kepala Nagari Gultom pada tanggal 18 September 1936
dikedepankan :”Segala Jang Hadir Sama
Setoedjoe Menerangkan Bahasa Hoetabalian Boekan Anak Sedjati Dari Goeltom,
Hanjalah Anak Jang Diangkat, Sedjarahnja Doeloe Ada Lelaki Dihanjoetkan Aroes =
Badai Sampai Kepoelau Samosir Ini Dari
Mana Asalnja Tiada Tentoe, Lantas Ini Orang Selakoe Teman Manoesia Dipandang
Hingga Diangkat Goeltom Djadi Anaknja Yang Boengsoe. Boekan Sadja Bagian
Goeltom Memandang Hoetabalian Sebagai Adiknya, Djuga Toeroenan Sidari
(Samosir), Pakpahan Dan Sitindjak (Segala Toeroenan Si Toga Samosir) Sama Beradik
Pada Hoetabalian, Boleh Dibilang Hoetabalian Adalah Martabat Rendah, Keterangan
Ini Dikuatkan Oleh Candidaten Toeroenan Loembantoruan Hutapea Dan Radja-Radja
Serta Ketoea-Ketoea Toeroenan Hutabagot (2016 : 9 -10)”. Dengan adanya
kesepakatan tersebut, maka anak Toga Gultom menjadi 4, yaitu 1) Gultom
Hutatoruan; 2) Gultom Hutapea; 3) Gultom Hutabagot; 4) Gultom Hutabalian.
Raja Sitindaon
Membicarakan Keluarga Besar Raja Sonang umumnya, dan Toga Pakpahan, khususnya tidak lepas dari menghubungkannya dengan Raja Sitindaon. Istri dari Raja Sonang adalah Boru Sitindaon (Si Boru Oloan), yaitu putri dari Raja Sitindaon. Keturunan Raja Sitindaon secara patrilineal ada 3, yaitu 1) Omp Passalaut Sitindaon, keturunannya bermukim di Bonapasogit, huta si Bual-bual, Kecamatan Onan Runggu, Samosir; 2) Omp Pangahu Raja Sitindaon, keturunannya pada umumnya bermukim di Barus, Pakkat; 3) Omp Panganbintua Sitindaon, umumnya keturunannya bermukim di Pantai Parbubu/Tomok, Sagala, Sidamanik (Simalungun).
Berdasarkan Diksusi Penulis, dengan Tulang Charles Sitindaon, Ketua Perkumpulan Sitindaon & Boru Se Indonesia beberapa waktu yang lalu, istri dari Omp Toga Pakpahan (Generasi I Toga Pakpahan) adalah Putri dari Omp Passalaut Sitindaon. Dalam diskusi lanjutan Penulis dengan Tulang Magus Sitindaon (Sekjen Perkumpulan Sitindaon & Boru Sitindaon Se Indonesia) belum lama ini, bahwa istri Omp Parhuta Raja Pakpahan atau Huta Raja Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) adalah putri dari Ompu Raja Holbung Sitindaon (Dalam Verifikasi).
Sebagai anak dari Toga Pakpahan, keturunan Omp Hutanamora
Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan), yang menikah dengan Pinta Haumasom Br Simbolon, baik pada era
sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia serta saat ini, selalu memegang unsur
kepemimpinan di wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Hal itu
dimungkinkan karena jumlah penduduk dan wilayah Desa Pakpahan Kecamatan Onan Runggu tersebut didominasi
keturunan Hutanamora Pakpahan. Saat ini yang menjabat Kepala Desa di Desa
Pakpahan, adalah tetap berasal dari keturunan Hutanamora Pakpahan.
Garis silsilah Keluarga istri Omp Hutanamora Pakpahan, yaitu Pinta Haumasom Br Simbolon, merupakan anak bungsu dari
Toga Simbolon, yaitu Simbolon Hapotan, yang berasal dari Huta Marhuliang, Desa
Sigaol Marbun, Kecamatan Palipi, Samosir. Sampai saat ini perkampungan utama
atau perkampungan induk dari Simbolon Hapotan masih ada di Huta Marhuliang. Penulis sudah 2 kali berkunjung ke perkampungan Omp Pinta Haumasom Br Simbolon tersebut. Tulang Nasib Simbolon, yang saat ini masih bermukim di huta Marhuliang, adalah bagian dari hula-hula Omp Hutanamora Pakpahan, salah satu yang ikut dalam rombongan dari hula-hula Simbolon pada pesta Horja tugu parsadaan Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) di Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, pada tahun 1976 yang lalu.
Tugu Persadaan atau Tugu Persatuan
Hutanamora Pakpahan, terletak di dusun II Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan
Onan Runggu, Samosir. Tugu tersebut,
dibangun melibatkan kerjasama yang baik oleh
3 keturunan Hutanamora Pakpahan, yaitu 1) Ampanulampak; 2) Datu Ronggur
Diadji; 3) Porhas Manjunging. Pesta Horja Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan
dilangsungkan pada tahun 1976. Adapun filosofi dari kerjasama itu menurut
penulis adalah adalah :”mangangkat rap tu
ginjang, manimbung rap tu holbung”.
Adapun persebaran perkampungan Toga Pakpahan di luar wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir akan penulis bahas pada tulisan yang lain.
(*Penulis Adalah Seorang Advokat, Alumnus : Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Minggu, 08 Agustus 2021
Solusi Equitas Perbankan : Dari pada Gelontorkan PMN ke BNI & BTN, Sebaiknya Memilih Resolusi Merger
Solusi Equitas Perbankan :
Oleh : Kardi
Pakpahan*
Rencana menggelontorkan PMN ke BNI sekitar Rp 7 Triliun dan ke BTN Rp 2 Triliun pada tahun buku 2022, di tengah-tengah semakin tingginya nilai hutang Pemerintah, maka peluang itu tampaknya tidak mungkin dilaksanakan atau setidak-tidaknya upaya itu kecil direalisasikan, baik karena sisi resiko hukum maupun karena skala prioritas dalam rangka pemulihan ekonomi.
Kenapa dari sisi hukum
penambahan PMN ke BNI dan BTN ada resiko hukumnya ? Karena beberapa tahun ke
depan, berhubung pinjaman atau hutang pemerintah cenderung kian besar, maka
KESEIMBANGAN PRIMER pada APBN diproyeksikan akan negatif. Artinya, Pemerintah
ketika menambah PMN ke BUMN sumber dananya kemungkinan besar berasal dari
HUTANG atau PINJAMAN.
Apakah PMN dalam rangka peningkatan modal disetor (paid up
capital) Bank diperkenankan sumber dananya dari hutang atau pinjaman. Dari sisi
hukum ada resiko hukumnya. Pada ketentuan UU BUMN, PMN adalah Kekayaan Negara
yang dipisahkan. Dari sisi Ketentuan setoran modal bank, jelas dilarang OJK
(otoritas Jasa Keuangan), karena setoran modal bagi bank tidak boleh berasal
dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun (Vide : pasal 9 PBI
(Peraturan Bank Indonesia) No.2/27/PBI/2000 jo pasal 14 huruf (a) PBI
No.2/27/PBI/2000. Pemegang saham bank yang ketahuan menggunakan pinjaman
sebagai setoran modal bank, akan dimasukkan OJK dalam Daftar Tidak Lulus (DTL)
atau tidak lulus fit & profer test sebagai pemegang saham Bank, dan
biasanya akan diberikan sanksi administratif oleh OJK.
Dalam pada itu, dapat dikatakan PMN ke BNI dan BTN bukanlah
termasuk skala prioritas Pemulihan Ekonomi.
Jadi, apa resolusi yang paling tepat ? Kalau urgensi pemenuhan
PMN kepada BNI dan BTN itu, sebagai exit meeting Bank yang bersangkutan dengan
OJK, adalah dalam memenuhi peraturan perundangan-undangan, seperti dalam
memenuhi ketentuan Legal Lending Limit (BMPK), CAR (Capital Adequacy Ratio),
pengendalian resiko Bank secara keseluruhan, dan untuk syarat going concern
Bank, maka sebaiknya resolusi yang dipilih adalah MERGER. Misalnya, merger Bank
Mandiri dengan BNI dan BTN atau Merger BRI dengan BNI dan BTN. Urgensi merger
bank BUMN ini, sudah pernah saya bahas dalam artikel di FORUM FINANSIAL
tertanggal 8 September 2019 pada tulisan yang berjudul :"Perlu,
Dipersiapkan Merger Bank Pelat Merah". Untuk Bank-bank Syariah yang
dikendalikan Bank BUMN, mergernya sudah dilaksanakan pada tahun 2020. Sudah
sebaiknya, kebijakan merger untuk Bank konvensional Pelat Merah dapat segera
diwujudkan.(*Adalah Advokat & Konsultan Perbankan). #PMN #BUMN #BankBUMN #Merger #PemulihanEkonomi #BNI #BTN
Selasa, 12 Januari 2021
Masyarakat Hukum Adat sebagai Indikator Silsilah : Hutanamora Pakpahan Anak Toga Pakpahan
Catatan
Budaya :
Masyarakat Hukum Adat sebagai Indikator
Silsilah
(Hutanamora Pakpahan Anak Toga
Pakpahan)
Oleh : Kardi Pakpahan*
Untuk
mengetahui silsilah dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba dapat dilihat
dari keberadaan masyarakat hukum adat nyang ada, seperti huta, desa, lumban. Dalam perkembanganya,
karena pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, maka masyarakat hukum adat
sudah sering dibagi ke kelompok yang lebih kecil yang memiliki hukum yang hidup
(living law) dalam menjalankan adat
istiadat atau memberikan sanksi sosial kepada anggota kelompoknya yang
melakukan penyimpangan (misalnya, kalau ada anggota masyarakat yang melakukan
perjinahan pada suatu masyarakat hukum adat, maka salah satu sanksi yang
diterapkan adalah sanksi “dipabali” dari adat atau mengeluarkan anggota
masyarakat yang melakukan penyimpangan
dari kelompok masyarakat hukum adat).
Kalau kelompok masyarakat hukum adat sudah terlalu besar penduduknya
dalam satu desa, maka kelompok
masyarakat hukum adat dapat
dibangun dalam satu atau dua atau lebih huta, satu atau lebih huta digabung
dengan lumban atau varian lainnya.
Sampai saat ini keberadaan masyarakat
hukum adat masih tetap eksis dan diakui
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diatur
pada pasal 18 ayat 2 UUD 1945. Disana dikatakan :”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indinesia yang
diatur dalam undang–undang”.
Untuk memahami pengertian masyarakat
hukum adat, dapat dipahami antara lain namun tidak terbatas pada pemaparan Prof
Dr Soerjono Soekanto, SH (2012 :43). Beliau
menyatakan :”masyarakat hukum adat adalah
Masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari
di Minangkabau, huta atau kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah
kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan
untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan
penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan
air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear,
matrilinear, atau bilateral mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan
dan hasil air, ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan
mereka berciri, Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu
mempunyai peranan yang besar”. Misalnya dalam salah satu masyarakat hukum
adat, jika ada orang tua yang meninggal, maka dalam rangka mendukung pemenuhan
adat “pasidung ari-ari”,
masing-masing anggota masyarakat) hukum adat mengumpulkan “guguan” berupa 2 kaleng beras.
Disamping faktor genealogis dan faktor
teritorial, adapun ikatan pemersatu atau bond
of union masyarakat hukum adat menurut Prof Dr Soepomo, SH (Bab-Bab tentang
Hukum Adat 1976 : 46) adalah genealogis
teritorial dan teritorial genealogis.
Maksud faktor geanealogis sebagai
faktor ikatan pemersatu atau sumber pembentukan dalam masyarakat hukum
adat adalah karena adanya hubungan
darah. Komunitas masyarakat pada masyarakat hukum adat terbentuk karena adanya
hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lainya.
Terbentuknya masyarakat hukum adat
karena hubungan darah ini dapat dibagi 3, yaitu pertama, patrilinial, yaitu garis keturunan menurut garis bapak.
Masyarakat hukum adat seperti itu misalnya orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.
Bagi komunitas Batak Toba, marga adalah kelompok
kekerabatan menurut garis keturunan ayah, yang mengakibatkan garis silsilah
atau tarombo ditarik dari garis keturunan ayah.
Kedua, matrilineal, yaitu pertalian hubungan darah
dalam membentuk masyarakat hukum adat, seperti keluarga di Minangkabau.
Ketiga,
parental atau bilateral, yaitu pertalian hubungan darah dalam membentuk
masyarakat hukum adat yang didasarkan menurut garis keturunan Ibu dan Bapak, seperti orang-orang Jawa,
Sunda, Aceh, dan Kalimantan.
Dalam
konteks masyarak hukum adat pada komunitas Batak Toba, pada prinsipnya
terbentuk dikarenakan hubungan darah (genealogis). Memang ada peluang anggota
masyarakat di komunitas Batak Toba memasuki suatu masyarakat hukum adat karena
tempat tinggal atau faktor teritorial, seperti karena sonduk hela atau menantu pria tinggal di rumah mertua atau menantu
pria dapat warisan tanah/rumah di komunitas masyarakat hukum adat mertua. Bisa
juga pada bagian ini, karena peran sebagai pekerja. Misalnya, beberapa ASN atau
PNS pada komunitas masyarakat hukum adat di kampung halaman penulis, yaitu pada
komunitas Pinompar ni Ompung Raja Lubuk di desa Pakpahan Pangaribuan, ada juga
ASN dari daerah lain yang ikut bergabung, dalam bentuk ikut menjadi anggota Saparliatan atau menjadi kerabat dekat,
yang ikut juga menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak sebagai anggota
masyarakat hukum adat.
Toga
Pakpahan dari sisi tempat tinggal asalnya di kecamatan Onan Runggu Kabupaten
Samosir adalah sebuah masyarakat hukum adat yang terbentuk secara genealogis
atau terbentuk karena hubungan darah. Disamping, di tempat asalnya, dari Komunitas
masyarakat hukum adat Toga Pakpahan, seiring waktu, sudah membentuk beberapa kelompok masyarakat
hukum adat di daerah lainnya, seperti di desa Pakpahan di Pangaribuan, desa
Sampagul di Pangaribuan, desa Parulohan di Lintong Nihuta dan lain-lain. Tetapi
kalau mau mengetahui atau menyusun tarombo atau silsilah masyarakat hukum adat
asal Toga Pakpahan lebih tepatnya berangkat
dari tempat asalnya karena biasanya keturunan
Toga Pakpahan dari Generasi I sampai generasi III masih (pernah) tinggal di
sana, serta di sana masih didukung dengan pentunjuk lainnya yang bersesuaian,
seperti artefak atau tugu, pemakanan, penguasaan dan penggunan tanah, bangunan,
acara adat, maupun saksi-saksi.
Masyarakat
hukum adat asal Toga Pakpahan, sebagai Generasi I, yang memiliki 3 anak, yaitu 1)
Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja); 2) Hutanamora Pakpahan (Simora); 3) Lumban
Bosi Pakpahan (Sibosi), sebagai Generasi II, sebagaimana dimuat pada Buku “Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot
Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10 dan 56), yang disusun berdasarkan
Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di
Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin, dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk penyusunan silsilah atau tarombo Toga Pakpahan,
terutama bagi keturunan dari Toga Pakpahan yang masih tinggal di tempat asal
masyarakat hukum adat Toga Pakpahan.
Sebagaimana
yang telah diketahui, masyarakyat hukum adat asal Toga Pakpahan, khususnya yang
tinggal di Sosor Pasir, Onan Runggu Kabupaten Samosir, sebuah tempat yang
indah, terletak di bagian bibir Danau Toba, saat ini, adalah Hutanamora Pakpahan,
khususnya dari garis keterunan Ompung Appanulampak Pakpahan dan di sana masih ada tanah parripean
(tanah ulayat) masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan yang pada kawasan
lahan tersebut juga didirikan Tugu Hutanamora Pakpahan pada tahun 1976,
terletak mual Simataniari dengan
pohon Ambasang milik Ompung Parbona Radja Pakpahan, ayah dari Ompung
Appanulampak Pakpahan, Ompung Daturonggur Diadji Pakpahan, Porhasmandjunging
Pakpahan.
Artinya
apa ? Hutanamora Pakpahan adalah salah satu anak Toga Pakpahan. Alasan
dikatakan demikian ? Sebagai sebuah masyarakat hukum adat asal, Hutanamora
Pakpahan memiliki hubungan darah (dengan orangtuanya), yaitu Toga Pakpahan,
karena menguasai dan menggunakan lahan atau tanah yang berasal dari orang tuanya
secara terus menerus atau bertahun-tahun. Pada umumnya, dari sisi konteks masyarakat
hukum adat Batak, anak (prialah) yang dapat menguasai dan menggunakan tanah dari
orangtuannya.
Pertanyaan
berikutnya, bagaimana kalau di lahan atau pada tanah masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Onan
Runggu Kabupaten Samosir, ada pihak lain yang menggunakan sebagian tanah
bersama atau tanah parripean tersebut
? Sehubungan UU No.5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), juga mengakui
keberadaan hak ulayat (Vide : Pasal 2 dan 3 UUPA) dan azas pemisahan horizontal
atas tanah, maka masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan, terbuka untuk meminta
atau menghimbau pihak lain yang menggunakan lahan tersebut mengosongkan lahan
terkait, dengan memindahkan bangunan atau mengosongkan tanah atau mencabut
tanaman jika tanah tersebut mau digunakan masyarakat hukum adat Hutanamora
Pakpahan.
Dari sisi
konteks masyarakat Hukum adat asal, Hutanamora Pakpahan merupakan salah satu
anak dari Toga Pakpahan. Dan berangkat dari uraian yang disampaikan di atas,
maka anak Toga Pakpahan itu terdiri dari 3, yaitu Hutaraja Pakpahan, Hutanamora
Pakpahan, dan Lumban Bosi Pakpahan.
Adapun uraian yang lainnya akan disampaikan pada Catatan
Budaya/Hukum berikutnya dan kalau ada masukan atau kritik terhadap catatan ini, dapat
disampaikan melalui email : dipapusat.1@gmail.com.
(*Penulis adalah
Seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
#HutanamoraPakpahan