Selasa, 12 Januari 2021

Masyarakat Hukum Adat sebagai Indikator Silsilah : Hutanamora Pakpahan Anak Toga Pakpahan

 

Catatan Budaya :

Masyarakat Hukum Adat sebagai Indikator Silsilah
(Hutanamora Pakpahan  Anak Toga Pakpahan)
Oleh : Kardi Pakpahan*

         

“.......Tuat na di dolok martungkothon sialagundi, adat (silsilah/Tarombo) dohot uhum pinungka ni ompunta parjolo ihuthon hita sian pudi; tona ima toto, poda ima sulu-sulu, patik ima tungkot, uhum ima lombu-lombu”.

Untuk mengetahui silsilah dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba dapat dilihat dari keberadaan masyarakat hukum adat nyang ada, seperti  huta, desa, lumban. Dalam perkembanganya, karena pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, maka masyarakat hukum adat sudah sering dibagi ke kelompok yang lebih kecil yang memiliki hukum yang hidup (living law) dalam menjalankan adat istiadat atau memberikan sanksi sosial kepada anggota kelompoknya yang melakukan penyimpangan (misalnya, kalau ada anggota masyarakat yang melakukan perjinahan pada suatu masyarakat hukum adat, maka salah satu sanksi yang diterapkan adalah sanksi “dipabali” dari adat atau mengeluarkan anggota masyarakat yang melakukan penyimpangan  dari kelompok masyarakat hukum adat).  Kalau kelompok masyarakat hukum adat sudah terlalu besar penduduknya dalam satu desa, maka kelompok  masyarakat  hukum adat dapat dibangun dalam satu atau dua atau lebih huta, satu atau lebih huta digabung dengan lumban atau varian lainnya.

          Sampai saat ini keberadaan masyarakat hukum adat masih tetap eksis dan  diakui dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat 2 UUD 1945. Disana dikatakan :”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indinesia yang diatur dalam undang–undang”.

          Untuk memahami pengertian masyarakat hukum adat, dapat dipahami antara lain namun tidak terbatas pada pemaparan Prof Dr Soerjono Soekanto, SH (2012 :43). Beliau menyatakan :”masyarakat hukum adat adalah Masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, huta atau kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear, matrilinear, atau bilateral mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri, Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar”. Misalnya dalam salah satu masyarakat hukum adat, jika ada orang tua yang meninggal, maka dalam rangka mendukung pemenuhan adat “pasidung ari-ari”, masing-masing anggota masyarakat) hukum adat mengumpulkan “guguan” berupa 2 kaleng beras.

          Disamping faktor genealogis dan faktor teritorial, adapun ikatan pemersatu atau bond of union masyarakat hukum adat menurut Prof Dr Soepomo, SH (Bab-Bab tentang Hukum Adat 1976 : 46) adalah  genealogis teritorial dan teritorial  genealogis.

          Maksud faktor geanealogis sebagai faktor ikatan pemersatu atau sumber pembentukan dalam masyarakat hukum adat  adalah karena adanya hubungan darah. Komunitas masyarakat pada masyarakat hukum adat terbentuk karena adanya hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lainya.

          Terbentuknya masyarakat hukum adat karena hubungan darah ini dapat dibagi 3, yaitu pertama, patrilinial, yaitu garis keturunan menurut garis bapak. Masyarakat hukum adat seperti itu misalnya orang Batak, Nias, Sumba dan Bali. Bagi komunitas Batak Toba, marga adalah kelompok  kekerabatan menurut garis keturunan ayah, yang mengakibatkan garis silsilah atau tarombo ditarik dari garis keturunan ayah.

          Kedua,  matrilineal, yaitu pertalian hubungan darah dalam membentuk masyarakat hukum adat, seperti keluarga di Minangkabau.

          Ketiga, parental atau bilateral, yaitu pertalian hubungan darah dalam membentuk masyarakat hukum adat yang didasarkan menurut garis keturunan  Ibu dan Bapak, seperti orang-orang Jawa, Sunda,  Aceh, dan Kalimantan.

          Dalam konteks masyarak hukum adat pada komunitas Batak Toba, pada prinsipnya terbentuk dikarenakan hubungan darah (genealogis). Memang ada peluang anggota masyarakat di komunitas Batak Toba memasuki suatu masyarakat hukum adat karena tempat tinggal atau faktor teritorial, seperti karena sonduk hela atau menantu pria tinggal di rumah mertua atau menantu pria dapat warisan tanah/rumah di komunitas masyarakat hukum adat mertua. Bisa juga pada bagian ini, karena peran sebagai pekerja. Misalnya, beberapa ASN atau PNS pada komunitas masyarakat hukum adat di kampung halaman penulis, yaitu pada komunitas Pinompar ni Ompung Raja Lubuk di desa Pakpahan Pangaribuan, ada juga ASN dari daerah lain yang ikut bergabung, dalam bentuk ikut menjadi anggota Saparliatan atau menjadi kerabat dekat, yang ikut juga menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak sebagai anggota masyarakat hukum adat.

          Toga Pakpahan dari sisi tempat tinggal asalnya di kecamatan Onan Runggu Kabupaten Samosir adalah sebuah masyarakat hukum adat yang terbentuk secara genealogis atau terbentuk karena hubungan darah. Disamping, di tempat asalnya, dari Komunitas masyarakat hukum adat Toga Pakpahan, seiring waktu,  sudah membentuk beberapa kelompok masyarakat hukum adat di daerah lainnya, seperti di desa Pakpahan di Pangaribuan, desa Sampagul di Pangaribuan, desa Parulohan di Lintong Nihuta dan lain-lain. Tetapi kalau mau mengetahui atau menyusun tarombo atau silsilah masyarakat hukum adat asal  Toga Pakpahan lebih tepatnya berangkat dari  tempat asalnya karena biasanya keturunan Toga Pakpahan dari Generasi I sampai generasi III masih (pernah) tinggal di sana, serta di sana masih didukung dengan pentunjuk lainnya yang bersesuaian, seperti artefak atau tugu, pemakanan, penguasaan dan penggunan tanah, bangunan, acara adat,  maupun saksi-saksi.

          Masyarakat hukum adat asal Toga Pakpahan, sebagai Generasi I, yang memiliki 3 anak, yaitu 1) Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja); 2) Hutanamora Pakpahan (Simora); 3) Lumban Bosi Pakpahan (Sibosi), sebagai Generasi II, sebagaimana dimuat pada Buku “Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10 dan 56), yang disusun berdasarkan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin, dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk penyusunan silsilah atau tarombo Toga Pakpahan, terutama bagi keturunan dari Toga Pakpahan yang masih tinggal di tempat asal masyarakat hukum adat Toga Pakpahan.

          Sebagaimana yang telah diketahui, masyarakyat hukum adat asal Toga Pakpahan, khususnya yang tinggal di Sosor Pasir, Onan Runggu Kabupaten Samosir, sebuah tempat yang indah, terletak di bagian bibir Danau Toba,  saat ini, adalah Hutanamora Pakpahan, khususnya dari garis keterunan Ompung Appanulampak Pakpahan dan di sana masih  ada tanah parripean (tanah ulayat) masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan yang pada kawasan lahan tersebut juga didirikan Tugu Hutanamora Pakpahan pada tahun 1976, terletak mual Simataniari dengan pohon Ambasang milik Ompung Parbona Radja Pakpahan, ayah dari Ompung Appanulampak Pakpahan, Ompung Daturonggur Diadji Pakpahan, Porhasmandjunging Pakpahan.

          Artinya apa ? Hutanamora Pakpahan adalah salah satu anak Toga Pakpahan. Alasan dikatakan demikian ? Sebagai sebuah masyarakat hukum adat asal, Hutanamora Pakpahan memiliki hubungan darah (dengan orangtuanya), yaitu Toga Pakpahan, karena menguasai dan menggunakan lahan atau tanah yang berasal dari orang tuanya secara terus menerus atau bertahun-tahun. Pada umumnya, dari sisi konteks masyarakat hukum adat Batak,  anak (prialah) yang dapat  menguasai dan menggunakan tanah dari orangtuannya.

          Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau di lahan atau pada tanah masyarakat hukum adat  Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Onan Runggu Kabupaten Samosir, ada pihak lain yang menggunakan sebagian tanah bersama atau tanah parripean tersebut ? Sehubungan UU No.5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), juga mengakui keberadaan hak ulayat (Vide : Pasal 2 dan 3 UUPA) dan azas pemisahan horizontal atas tanah, maka masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan, terbuka untuk meminta atau menghimbau pihak lain yang menggunakan lahan tersebut mengosongkan lahan terkait, dengan memindahkan bangunan atau mengosongkan tanah atau mencabut tanaman jika tanah tersebut mau digunakan masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan.

          Dari sisi konteks masyarakat Hukum adat asal, Hutanamora Pakpahan merupakan salah satu anak dari Toga Pakpahan. Dan berangkat dari uraian yang disampaikan di atas, maka anak Toga Pakpahan itu terdiri dari 3, yaitu Hutaraja Pakpahan, Hutanamora Pakpahan, dan Lumban Bosi Pakpahan.

Adapun uraian yang lainnya akan disampaikan pada Catatan Budaya/Hukum berikutnya dan kalau ada masukan atau kritik terhadap catatan ini, dapat disampaikan melalui email : dipapusat.1@gmail.com.

(*Penulis adalah Seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

#HutanamoraPakpahan