Sabtu, 25 Agustus 2012

Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan ke PTUN untuk Pendaftaran Tanah Pertama Kali


Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan ke PTUN
untuk Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Oleh : Kardi Pakpahan, SH*
            Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk  pertama kali, baik secara sproradik maupun sistematik, dapat dikatakan masih tetap tinggi pada masa yang akan datang. Dikatakan demikian, dikarenakan hingga saat ini, masih banyak tanah yang telah dikuasai dan digunakan oleh masyarakat yang belum terdaftar, sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 19 UU No.5/1960 dan PP No.24/1997. Hanya saja, potensi masalah hukum atau konflik relatif tinggi pada kegiatan pendaftaran tanah pertama kali, baik pada sisi hukum tata usaha Negara, hukum perdata maupun hukum pidana.
            Tujuan pendaftaran  tanah pertama kali, adalah merupakan bagian dari tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah seperti yang dikedepankan pada pasal 3 PP No.24/1997, yaitu 1) untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak bersangkutan; 2) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan  mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; 3) untuk terselenggarannya tertip admistrasi pertanahan.
            Bagi pihak-pihak, terutama bagi pihak ketiga merasa yang dirugikan,  yang  terkait dengan pendaftaran tanah pertama kali,  bisa melakukan upaya hukum melalui pengajuan gugatan ke Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN). Dikatakan demikian, karena surat keputusan penerbitan hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah pertama kali, melalui kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor Pertanahan setempat,  adalah sebuah keputusan tata usaha Negara.
            Menurut pasal 1 angka 3 UU No.5/1986, yang dimaksudkan dengan keputusan Tata Usaha  negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
            Kalau dicermati praktek proses pengajuan gugatan yang menyoal keputusan TUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang pendaftaran tanah pertama kali, maka masalah yang  kerap  mengemuka  adalah perihal  tenggang waktu dalam pengajuan gugatan.  Pengaturan tenggang waktu pengajuan gugatan ke PTUN diatur dalam pada pasal 55 UU No.5/1986. Disana dikatakan :”Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha”.
            Dalam sebuah keputusan tata usaha Negara, secara umum ada 3 pihak yang berkepentingan, pihak Pertama, adalah pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan, pihak kedua merupakan pihak yang dituju sebuah keputusan TUN, sedangkan pihak ketiga merupakan pihak yang merasa kepentingannya dirugikan  atas dikeluarkannya sebuah keputusan TUN.
            Penghitungan  tenggang  waktu bagi pihak yang dituju sebuah keputusan TUN adalah 90 hari sejak yang bersangkutan menerima keputusan TUN, sedangkan bagi Pihak Ketiga yang merasa kepentingannya  dirugikan tentu bisa diartikan sejak 90 hari diketahui, baik karena diberitahukan maupun karena  diumumkan. Pada ketentuan hukum yang terkait dengan pendaftaran tanah, baik pada pasal 19 UU No.5/1960, PP No.24/1997, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3/1997, tidaklah mengatur kewajiban pengumuman atas keluarnya surat keputusan pendaftaran tanah, seperti penerbitan sertifikat dari proses pendaftaran tanah pertama kali.
            Pihak ketiga yang merasa dirugikan dalam sebuah keputusan TUN, seperti pada pendaftaran tanah pertama kali, secara umum memiliki peluang atau akses yang sangat kecil untuk mengetahui  keputusan yang dimaksudkan.  Untuk mengatasi hal seperti itu, pada  9 Juli 1991, Mahkamah Agung (MA), mengeluarkan Surat Edaran Mahmakah Agung (SEMA) No. 2/1991. Pada angka V (3) SEMA itu dikatakan :”bahwa tenggang waktu pengajuan gugutan bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan TUN tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 UU No.5/1986 dihitung secara kasuistis sejak ia merasa kepentingannya dirugikan oleh keputusan TUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut”.
            Dari angka V (3) SEMA No.2/1991, maka ada dua unsur yang musti dipenuhi, yaitu 1) unsur merasa kepentingannya dirugikan; 2) mengetahui. Bagaimana misalnnya jika “mengetahui” oleh pihak ketiga cuma didasarkan pada isu atau desus-desus, apakah Ketua atau majelis hakim pada PTUN, menghitung hal tersebut sebagai penghitungan tenggang waktu yang efektif  ? Tentu tidaklah demikian. Proses penegakan hukum, seperti pengajuan gugutan ke PTUN, haruslah memperhatikan 2 hal, yaitu logika hukum dan proses  itu dapat dibuktikan secara hukum melalui alat-alat bukti yang ada..
            Misalnya, seorang pihak ketiga, yang merasa kepentingannya dirugikan dari suatu pendaftaran tanah pertama kali, mendengar isu atau informasi yang kurang jelas tentang tanah yang dikuasai selama ini telah diterbitkan sertifikat, kemudian pihak ketiga tersebut menanyakan hal terkait kepada kantor pertanahan setempat, maka sejak pihak ketiga tersebut mengetahui putusan TUN dari pejabat TUN atau pejabat kantor pertanahan terkait, seperti melalui penerbitan sertifikat, maka hal itulah yang digunakan sebagai permulaan penghitungan tenggang waktu  pengajuan gugatan.
Hak Pihak  ketiga untuk mengetahui informasi pendaftaran tanah di kantor pertanahan, disamping adalah bagian dari informasi publik, sebagaimana dimaksudkan pada pasal 1 angka (2) UU No.14/2008,  sudah jelas diatur pula pada pasal 4 ayat (2) PP No.24/1997. Di situ disebutkan :”Untuk melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b, data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum”.
Dalam tahap berperkara di PTUN, masalah tenggang waktu dalam pengajuan gugatan, termasuk dalam acara prosedur dismissal, baik pada rapat permusyawaratan atan rapat persiapan sebelum pemeriksaan pokok perkara (Vide Pasal 62 ayat (1e) UU No.5/1986  dan  Pasal 63 UU No.5/1986), yang dituangkan dalam sebuah penetapan.
Pertanyataan sekarang bagaimana sekiranya kalau ada majelis Hakim di PTUN, yang setelah melalui semua tahap persidangan, mulai pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, membuat putusan :”bahwa putusan Para Penggugat harus dinyatakan tidak diterima (Niet Onvanklijk Verkllard), dengan pertimbangan bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan tidak dipenuhi, dengan dasar pertimbangan dari majelis yang tidak cermat dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas serta  sudah lolos dari prosedur dismissal dengan sebuah penetapan, dapat dikatakan adalah sebuah putusan yang tidak wajar. Tentu para Penggugat bisa melakukan upaya hukum banding, dalam pada itu, kalau sudah demikian, beracara dengan asas cepat dan biaya murah, semakin jauh dari kenyataan.           
(*Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia &* Advokat di  Dipa & Partnerss, IG = kardi_pakpahan)

2 komentar:

  1. 90 hari itu apakah termasuk tanggal merah?

    BalasHapus
  2. saya menerim SK BAPEK badan pertimbangan kepegawaian tanggal 17 januari 2018 padahal sk itu telah terbit dan saya mengetahuinya pada bulan april 2013. sejak kapan sk itu berlaku ? tgl 15 mei 2018 kemarin saya mendaftarkan gugatan ke PTUN, hakimnya menyarankan saya mundur saja karena sudah kadaluarsa? sejak diterima atau sejak mengetahui? kalau mengetahui tanpa tahu isinya berarti saya jadi korban uu 55

    BalasHapus