Pendaftaran
Tanah dan Penggunaan Keterangan Palsu
Oleh :
Kardi Pakpahan, SH*
Pendaftaran tanah, sesuai dengan PP No. 24/1997, membutuhkan beberapa
keterangan atau dokumen yang diperlukan. Dokumen yang dimaksudkan itu haruslah
menunjukkan keterangan yang benar atas persil tanah yang dimaksudkan. Bagian-bagian
dari dokumen pendaftaran tanah yang dimaksudkan antara lain tetapi tidak terbatas pada dokumen landasan
hak hak atas tanah, akta peralihan atau
cara memperoleh hak atas tanah, dokumen PBB (Pajak Bumi Bangunan), Identitas
Para Pihak yang terkait, Dokumen SSP Penjual, Dokumen BPHTB, Keterangan Waris,
luas dan batas tanah.
Pendaftaran tanah, menurut Pasal 1 angka 1 PP No.24/1997,
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pada
pasal 6 ayat 2 PP No.24/1997, dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh
PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan
peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan
Akta yang terkait peralihan hak atas
tanah, dibuat dalam akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Akta otentik menurut pasal 1868 KUHPer jis Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg adalah
akta yang dibuat oleh Pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh Penguasa
berdasarkan perundang-undangan.
Tak dapat dipungkiri, dalam
pembuatan akta otentik yang terkait dengan pendaftaran tanah, masih kerap
ditemui terjadinya tindakan pemalsuan keterangan, membuat dokumen palsu, ataupun memalsukan dokumen
oleh berbagai pihak terkait,
termasuk oleh mafia tanah. Karenanya, diperlukan penegakan hukum yang
efektif, sehingga tercipta keadilan dan kepastian hukum. Dengan demikian, maka
ruang gerak terjadinya peristiwa pidana pemalsuan dalam pendaftaran tanah bisa
semakin berkurang atau dapat diantisipaso, di tengah-tengah semakin terbatasnya
tanah, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Kepada pihak yang membuat keterangan
palsu dalam akta otentik yang terkait dengan pendaftaran, berlakulah pasal 266
ayat 1 KUHP, yang menyatakan :”Barangsiapa
menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu
hal yang kebenaranya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian,
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Misalnya keterangan palsu
tentang identitas Para Pihak, keterangan waris, bukti perolehan hak, luas dan
batas tanah, dan lain-lain.
Unsur pidana Obyektif
dari pasal 266 ayat (1) KUHP adalah : 1)
menyuruh memasukkan ke dalam akta otentik; 2) keterangan palsu; 3) tentang hal yang kebenarannya
harus dinyatakan. Sedangkan unsur subyektifnya adalah sebagai berikut : 1) memakai akte itu ; 2) menyuruh orang lain
memakai; 3) seolah-olah keterangan itu sesuai dengan;
sebenarnya; 4) apabila pemakaian akte itu dapat mendatangkan
kerugian
Bagaimana ancaman pidana kepada
pihak-pihak yang menggunakan akta yang mengandung keterangan palsu tersebut ? Pihak-pihak
lain yang menggunakan akta tersebut, antara lain, seperti Pembeli, PPAT terkait
dengan pembuatan akta, kantor BPN tempat pendaftaran tanah, berlakukalah
ketentuan pasal 266 ayat 2 KUHP, yang menyatakan :”Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai
akte tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian”.
Pada peristiwa pidana yang diatur
pada pasal 266 KUHP, memungkinkan bahwa keterangan palsu yang dimasukkan dalam
keterangan palsu pada akta otentik adalah berasal dari upaya memalsukan dukomen
atau membuat dokumen palsu. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam penyusunan
surat dakwaan atau tuntutan dari para Penuntut sebaiknya membuatnya secara berlapis
akumulatif, misalnya dakwaan primer pasal 266, dakwaan sudsidernya adalah pasal 263 KUHP.
Pasal 263 ayat 1 KUHP menyebutkan :”Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Sedangkan pasal 263 ayat 2 KUHP menyatakan :” Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah
sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.
Dalam prakteknya, karena membutuhkan
beberapa dokumen terkait dalam pembuktian adanya dugaan pidana pada pasal 266
KUHP, maka semenjak pembuatan Laporan Polisi (LP), jika memang sudah cukup
bukti awal yang kuat telah terjadinya perbuatan pidana, sebagaimana yang
dimaksudkan pada pasal 266 KUHP itu, sudah sebaiknya penyidik di kantor polisi
yang berwewenang, proaktif melanjutkan program penyelidikan ke penyidikan,
dengan memeriksa seluruh pihak-pihak yang diduga terlibat, baik yang membuat
keterangan palsu dalam akta otentik (peralihan hak atas tanah) maupun
pihak-pihak yang menggunakan akta otentik yang mengandung keterangan palsu
tersebut. Hal tersebut dilakukan, untuk mencegah niat berbagai pihak untuk
memalsukan keterangan dalam pembuatan akta pelepasan hak atas tanah, yang saat
ini sudah merupakan sumber daya ekonomi yang sangat terbatas, dan sekaligus
pihak terkait yang diduga sebagai pelaku jangan sampai merusak alat bukti atau
melarikan diri.
Hal
tersebut memiliki relevansi juga ketentuan dengan pasal 102 ayat 1 dan pasal
106 UU No.8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada
pasal 102 ayat 1 KUHAP disebutkan :” Penyelidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana WAJIB SEGERA melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Sedangkan pada pasal 106 KUHAP
dikatakan :” Penyidik yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana WAJIB SEGERA melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan”.
(*Penulis adalah Advokat, IG = kardi_pakpahan, hp = 081328950019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar