Minggu, 12 Agustus 2012

Pendaftaran Tanah dan Penggunaan Keterangan Palsu




Pendaftaran Tanah dan Penggunaan Keterangan Palsu
Oleh : Kardi Pakpahan, SH*
            Pendaftaran tanah, sesuai dengan  PP No. 24/1997, membutuhkan beberapa keterangan atau dokumen yang diperlukan. Dokumen yang dimaksudkan itu haruslah menunjukkan keterangan yang benar atas persil tanah yang dimaksudkan. Bagian-bagian dari dokumen pendaftaran tanah yang dimaksudkan antara lain  tetapi tidak terbatas pada dokumen landasan hak hak atas tanah,  akta peralihan atau cara memperoleh hak atas tanah, dokumen PBB (Pajak Bumi Bangunan), Identitas Para Pihak yang terkait, Dokumen SSP Penjual, Dokumen BPHTB, Keterangan Waris, luas dan batas tanah.
Pendaftaran tanah, menurut Pasal 1 angka 1 PP No.24/1997, adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pada pasal 6 ayat 2 PP No.24/1997, dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
            Akta yang terkait peralihan hak atas tanah, dibuat dalam akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta otentik menurut pasal 1868 KUHPer  jis Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg adalah akta yang dibuat oleh Pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh Penguasa berdasarkan perundang-undangan.
            Tak dapat dipungkiri, dalam pembuatan akta otentik yang terkait dengan pendaftaran tanah, masih kerap ditemui terjadinya tindakan pemalsuan keterangan,  membuat dokumen palsu, ataupun memalsukan dokumen oleh  berbagai pihak terkait, termasuk  oleh mafia tanah.  Karenanya, diperlukan penegakan hukum yang efektif, sehingga tercipta keadilan dan kepastian hukum. Dengan demikian, maka ruang gerak terjadinya peristiwa pidana pemalsuan dalam pendaftaran tanah bisa semakin berkurang atau dapat diantisipaso, di tengah-tengah semakin terbatasnya tanah, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
            Kepada pihak yang membuat keterangan palsu dalam akta otentik yang terkait dengan pendaftaran, berlakulah pasal 266 ayat 1 KUHP, yang menyatakan :”Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenaranya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Misalnya keterangan palsu tentang identitas Para Pihak, keterangan waris, bukti perolehan hak, luas dan batas tanah, dan lain-lain.
            Unsur pidana  Obyektif dari pasal 266 ayat (1) KUHP adalah  : 1)  menyuruh memasukkan ke dalam akta otentik; 2)  keterangan palsu; 3)  tentang hal yang kebenarannya harus dinyatakan. Sedangkan unsur subyektifnya adalah sebagai berikut : 1)  memakai akte itu ; 2) menyuruh orang lain memakai; 3)  seolah-olah keterangan itu sesuai dengan; sebenarnya; 4)  apabila pemakaian akte itu dapat mendatangkan kerugian
            Bagaimana ancaman pidana kepada pihak-pihak yang menggunakan akta yang mengandung keterangan palsu tersebut ? Pihak-pihak lain yang menggunakan akta tersebut, antara lain, seperti Pembeli, PPAT terkait dengan pembuatan akta, kantor BPN tempat pendaftaran tanah, berlakukalah ketentuan pasal 266 ayat 2 KUHP, yang menyatakan :”Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akte tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian”.
            Pada peristiwa pidana yang diatur pada pasal 266 KUHP, memungkinkan bahwa keterangan palsu yang dimasukkan dalam keterangan palsu pada akta otentik adalah berasal dari upaya memalsukan dukomen atau membuat dokumen palsu. Berangkat dari hal tersebut, maka dalam penyusunan surat dakwaan atau tuntutan dari para Penuntut sebaiknya membuatnya secara berlapis akumulatif, misalnya dakwaan primer pasal 266,  dakwaan sudsidernya adalah pasal 263 KUHP.
            Pasal 263 ayat 1 KUHP menyebutkan :”Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Sedangkan  pasal 263 ayat 2 KUHP menyatakan :” Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.
            Dalam prakteknya, karena membutuhkan beberapa dokumen terkait dalam pembuktian adanya dugaan pidana pada pasal 266 KUHP, maka semenjak pembuatan Laporan Polisi (LP), jika memang sudah cukup bukti awal yang kuat telah terjadinya perbuatan pidana, sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 266 KUHP itu, sudah sebaiknya penyidik di kantor polisi yang berwewenang, proaktif melanjutkan program penyelidikan ke penyidikan, dengan memeriksa seluruh pihak-pihak yang diduga terlibat, baik yang membuat keterangan palsu dalam akta otentik (peralihan hak atas tanah) maupun pihak-pihak yang menggunakan akta otentik yang mengandung keterangan palsu tersebut. Hal tersebut dilakukan, untuk mencegah niat berbagai pihak untuk memalsukan keterangan dalam pembuatan akta pelepasan hak atas tanah, yang saat ini sudah merupakan sumber daya ekonomi yang sangat terbatas, dan sekaligus pihak terkait yang diduga sebagai pelaku jangan sampai merusak alat bukti atau melarikan diri.
Hal tersebut memiliki relevansi juga ketentuan dengan pasal 102 ayat 1 dan pasal 106 UU No.8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada pasal 102 ayat 1 KUHAP disebutkan :” Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana WAJIB SEGERA melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Sedangkan pada pasal 106 KUHAP dikatakan :” Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana WAJIB SEGERA melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan”.
(*Penulis adalah Advokat, IG = kardi_pakpahan, hp = 081328950019)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar