Asal Huta,
sebagai Bukti Silsilah
Oleh
: Kardi Pakpahan*
Perkampungan induk yang
disebut dengan huta pada sistem sosial
masyarakat batak toba dapat
dijadikan sebagai salah satu alat bukti tentang silsilah dari suatu marga.
Dikatakan demikian, karena huta adalah bentuk masyarakat hukum adat, yang
memiliki sistem yang pada umumnya mengedepankan hubungan antar anggota
masyarakat yang diikat karena adanya hubungan atau pertalian darah (genealogis) dengan pola hubungan utama
mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal. Ada beberapa marga yang
menggunakan huta dalam penyebutan marganya, seperti Hutagalung, Hutasoit,
Hutabalian, Hutasuhut, dan lain-lain. Sehubungan dengan hubungan antar anggota
masyarakat di suatu huta pada umumnya adalah berpola adanya hubungan darah,
maka huta atau perkampungan adalah salah satu bukti silsilah atau tarombo dari generasi
ke generasi.
Nama
atau sebutan untuk huta biasanya tergantung kepada tokoh atau raja yang membuka
suatu huta atau perkampungan. Misalnya, dari sisi historis si Raja Pakpahan
atau si Pakpahan, berdasarkan data antropologis dan sosiologis membuka kampung
yang pertama atau kampung asal atau
perkampungan induk bernama huta bolon, di desa Pakpahan, Kecamatan Onanrunggu,
Samosir, yang kemudian berkembang ke wilayah lainnya, baik pada jarak yang
dekat maupun ke wilayah yang jauh.
Si
Pakpahan, adalah anak ketiga dari Si Raja Sonang/Boru Oloan (Br Sitindaon).
Anak lainnya dari Raja Sonang adalah Gultom, Samosir, Sitinjak. Dari sisi
Perkampungan atau parhutaan dari keturunan Raja Sonang yang terbentang di
Kecamatan Onan Runggu, Samosir dari timur ke barat adalah Gultom,
Samosir/Harianja, Pakpahan, Sitinjak, yang berbatasan dengan kecamatan
Nainggolan.
Searah dengan pertumbuhan jumlah anggota
masyarakat hukum adat pada suatu huta atau perkampungan, dapat dikatakan
membutuhkan perluasan lahan, untuk membangun tempat tinggal yang baru, untuk
bertani maupun beternak, dan lain-lain. Untuk itu huta atau perkampungan asal
dikembangkan ke wilayah sekitar atau membuka perkampungan lain di wilayah lain.
Perkampungan
Induk
Pengembangan
Huta atau perkampungan induk secara demografik, bisa juga dengan membuka huta
yang baru. Sedangkan lapisan permukiman baru lainnya dari huta, pada masyarakat
batak toba adalah Lumban. Sama juga dengan huta, ada juga anggota masyarakat
hukum adat yang memakai Lumban sebagai sebutan untuk marga. Misalnya, Lumban
Tobing, Lumbantoruan, Lumban Raja, Lumban Gaol dan lain-lain.
Kalau
ditanya mana duluan huta (perkampungan induk) dari lumban ? Karena Lumban
adalah pengembangan wilayah perkampungan induk atau huta, maka Lumban mengikuti
Huta. Artinya duluan Huta baru Lumban. Misalnya tidak pernah disebut, Si
Pukka Lumban atau Raja Lumban, tetapi istilah yang
digunakan adalah si Pukka Huta (Tokoh yang membuka huta/perkampungan induk)
atau Raja Huta.
Pengembangan
wilayah huta atau perkampungan induk
yang lain dikenal dengan beberapa istilah, seperti Banjar (perkampungan
dengan hunian yang berbaris). Ada juga anggota masyarakat hukum adat yang
menggunakan istilah Banjar untuk penamaan marga, seperti Banjarnahor. Nama-nama
perkampungan yang menggunakan sebutan Banjar yang berbatasan dengan desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu Samosir saat ini, terdapat pada dusun I Desa
Onan Runggu, Kecamatan onan runggu, Samosir, yaitui Banjar Pasir, Banjar Dolok, Banjar Tonga.
Sosor adalah bentuk lain dari
pengembangan perkampungan, yang merupakan perluasan dari perkampungan di
kawasan pinggir danau (toba). Lazimnya perkampungan di kawasan pinggir atau di
kawasan bibir danau, disebut dengan istilah Sosor Pasir, sedangkan penamaan
huta atau nomenklatur perkampungan di
atas sosor pasir disebut dengan sosor
batu atau sosor dolok. Salah satu perkampungan Hutanamora Pakpahan di desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu adalah di sosor pasir.
Pada wilayah yang berbatasan
dengan desa Pakpahan, yaitu di desa Onan Runggu Kecamatan Onan Runggu, Samosir
dikenal beberapa perkampungan dengan sebutan sosor, seperti Sosor Sibabiat,
Sosor Mamukka, Sosor Hoda, Sosor Gaol, Sosor Sihotang. Disamping sosor, pengembangan huta atau perkampungan induk juga
dikenal dengan istlah lain, seperti lobu
atau perkampungan yang sengaja ditembok, yang biasanya digunakan untuk
membedakannya dengan perkampungan masyarakat hukum adat yang lain, seperti Lobu
Sonak, Lobu Gala, Lobu Siregar.
Perkampungan
induk/perkampungan asal atau huta Toga Pakpahan atau Raja Pakpahan terletak di
Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Batas-batas Desa Pakpahan
tersebut, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Onan Runggu dan di sebelah Barat berbatasan dengan desa
Sitinjak. Sebelah Utara Desa Pakpahan adalah Desa Pardomuan dan di sebelah
selatan adalah Danau Toba.
Desa
Pakpahan, dengan luas area sekitar 3,92 Km2 adalah satu diantara 12
Desa yang terdapat pada Kecamatan Onan
Runggu Samosir. Adapun nama Desa lainnya saat ini di Kecamatan Onan Runggu
adalah Sitinjak, Onan Runggu, Harian, Tambun Sungkean, Sitamiang, Pardomuan,
Huta Hotang, Rina Bolak, Sipira, Janji Matogu, Silima Lombu. Di setiap desa
tersebut, terdapat beberapa huta atau perkampungan masyarakat hukum adat.
Dari
sisi historis, Desa Pakpahan, sebagai bagian dari Onan Runggu Samosir, sebelum masa kolonialisme adalah wilayah yang
terletak pada lereng perbukitan dengan akses keluar/masuk yang terbatas. Pada
saat ini, khususnya di era Pemerintahan Presiden Jokowi, akses infrastruktur
jalan, transportasi ke/dari desa Pakpahan, sudah semakin baik.
Pada
masa lalu, karena terbatasnya akses infrastruktur jalan ke/dari Onan Runggu umumnya, dan ke desa
Pakpahan, Samosir, khususnya, diduga menjadi salah satu faktor pemicu
perkawinan diantara empat anak Raja
Sonang, yaitu Gultom, Samosir/Harianja, Pakpahan dan Sitinjak. Sampai sekarang,
perkawinan diantara keturunan Raja Sonang, baik di “bonapasogit” Onan Runggu
Samosir maupun di luar wilayah “bonapasogit” masih kerap terjadi.
Keturunan
Toga Pakpahan
Sebelum
diuraikan lebih lanjut perkampungan atau “parhutaan” Omp Toga Pakpahan di Desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, perlu didepankan tentang keturunan Omp Toga atau Raja Pakpahan. Berapa anak Toga Pakpahan ? Tentu, untuk
mengetahuinnya terdapat beberapa refrensi yang dapat digunakan untuk itu. Tiga
diantaranya dikedepankan pada uraian
berikut.
Pertama, pada buku “Barita ni Datu
Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10
dan 56), yang disusun berdasarkan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh
seluruh keturunan Toga Pakpahan di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu
Pemilihan Kampung Pormin, Toga Pakpahan sebagai Generasi I, mempunyai 3 anak,
yaitu a) Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja Pakpahan); 2) Hutanamora
Pakpahan/Parhutanamora Pakpahan (Simora); c) Lumban Bosi Pakpahan (Sibosi)
Kedua, Toga Pakpahan mempunyai tiga orang anak, anak nomor dua bernama Parhuta Namora (Mora). Parhuta Namora mempunyai seorang anak, namanya Parbona Raja, sedangkan Parbona Raja mempunyai tiga orang anak, yaitu Panulampak, Datu Ronggur Diaji, Porhas Manjunging (Sejarah Raja Sigalingging, 2009). Sebagaimana diketahui, istri dari Parbona Raja Pakpahan, sebagai Generasi III Toga Pakpahan, adalah Boru Sigalingging, begitu juga Datu Ronggur Diadji Pakpahan, yang berada pada Generasi IV Toga Pakpahan, beristrikan Sindar Mataniari Boru Sigalingging dan Naomi Petterina Br Nainggolan. Juga, istri leluhur penulis, Omp Diharaja Pakpahan (Generasi V Toga Pakpahan) menikah dengan Boru Galingging.
Kenapa ada keturunan Omp Si Raja Galingging, bermukim di Tapanuli Utara, termasuk di Kecamatan Pangaribuan dan Humbang Hasundutan serta di wilayah Parsoburan, Habinsaran, yang memiliki perkampungan induk di Sait Nihuta, Samosir ? Jawaban terhadap hal tersebut, akan Penulis uraikan pada tulisan yang berjudul :"Parbona Raja Pakpahan, Mencari Anaknya Datu Ronggur Diadji Pakpahan ke Parsoburan".
Dari Tulisan "Sejarah Raja Sigalingging, 2009", dan berdasarkan Diskusi Penulis dengan Ompung Marko Sigalingging, salah satu keturunan Si Raja Galingging yang saat ini bermukim di Siborong-borong, Tapanuli Utara, keturunan si Raja Sigalingging (dengan gelar Pangulu Oloan), ada 3, yaitu : 1) Gr Mangarinsan Sigorak Sigalingging; 2) Raja Tinatea Tambalong Sigalingging; 3) Namora Pangujian Sigalingging. Hula-hula dari Omp Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi III Toga Pakpahan), Omp Datu Ronggur Diadji Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi IV Toga Pakpahan), Omp Diharaja Pakpahan/Br Sigalingging (Generasi V Toga Pakpahan), berasal dari garis keturunan anak kedua si Raja Galingging, yaitu dari Omp Raja Tinatea Tambalong Sigalingging.
Bila ditelusuri silsilah Si Raja Sigalingging, dari garis keturunan anak kedua, yaitu Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, pada generasi III dan X Toga Sigalingging/Si Raja Sigalingging ditemukan keturunannya bernama DATU RONGGUR. Mengingat hal tersebut, wajarlah salah satu anak Parbona Raja Pakpahan/Br Sigalingging, bernama Datu Ronggur Diadji Pakpahan (anak kedua). Anak Omp Parbona Raja Pakpahan yang paling besar adalah Ampanulampak Pakpahan, sedangkan anaknya ketiga/anak bungsu adalah Porhas Manjunging Pakpahan.
Dalam catatan penulis, rombongan hula-hula Si Raja Galingging, yaitu dari garis keturunan anak kedua : Raja Tinatea Tambalong Sigalingging, yang menghadiri pesta Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Kecamatan Onan Runggu Samosir tahun 1976, adalah Alm St. Mayor Edy Sigalingging.
Ketiga,
pada acara Tor-Tor Horja Peresmian Tugu Datu Ramot Pakpahan (garis Keturunan Parhuta Raja Pakpahan), pada urutan Nomor
7 adalah Tor-Tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi (Mangala Pakpahan, Hikayat Datu Ramot Pakpahan, 2007 :
39). Arti acara Nomor 7 tersebut kalau
dijabarkan sebagai berikut : a) Hutaraja
Pakpahan adalah Suhut atau tuan rumah pesta, pada pesta Horja peresmian Tugu
Datu Ramot Pakpahan, yang adalah berada pada generasi IV Toga Pakpahan; b)
Hutanamora adalah adik dari Hutaraja; c) Lumban Bosi adalah adik dari Hutaraja
dan Hutanamora. Pada acara Tor-tor Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi itu
tidak ada disebutkan ada keturunan Toga Pakpahan yang lain, baik karena hukum
maupun terkait dengan janji atau padan.
Menurut penulis, tarombo atau
silsilah pada acara Nomor 7 Tor-Tor
Haha-anggi Huta Namora dan Lumban Bosi pada pesta Horja Peresmian Tugu Datu
Ramot Pakpahan adalah bersesuaian dengan Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan
di Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin dan silsilah yang diwariskan pada keturunan Datu Ronggur Diadji Pakpahan (Barita ni
Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9
– 10 & 56).
Persebaran
perkampungan Toga Pakpahan, di Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir
terdapat pada Dusun I/Lumban Baringin, Dusun II/Sosor Pasir dan Dusun III/Sosor Batu. Pada Dusun I/Lumban Baringin dan Dusun
II/Sosor Pasir Desa Pakpahan tersebut adalah tempat bermukim atau perkampungan keturunan
Hutanamora Pakpahan. Sedangkan Dusun III/Sosor Batu, Desa Pakpahan ditempati oleh keturunan
Hutaraja Pakpahan dan Lumban Bosi Pakpahan.
Sedangkan
nama-nama perkampungan Hutanamora Pakpahan di Dusun I dan Dusun II Desa
Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir adalah 1) Huta Bolon dan Huta Sipira
Toba (kawasan pemukiman keturunan Omp Garaga Pakpahan); 2) Sosor Pasir, Dolok
Martahan (di bagian atas sebelah kanan aek
mual Simataniari), yang merupakan perkampungan atau pamoparan keturunan Omp Soengganon Pakpahan; 3) Lumban Baringin, Lumban Jabi-jabi, Lumban
Sanduduk. Yang merupakan perkampungan Omp Amani Hutasada Pakpahan; 4) Huta
Tungkup, yang merupakan perkampungan keturunan Omp Sumombun Pakpahan.
Dengan
mengetahui perkampungan atau huta, maka pada prinsipnya seseorang anggota
masyarakat hukum adat, akan bisa menelusuri silsilahnya. Jadi, asal huta atau perkampungan adalah salah satu
bukti silsilah atau tarombo.
Pengakuan seseorang sebagai bagian dari
keturunan marga pada suku batak toba, secara yuridis adalah berdasarkan hubungan
darah dengan ayah (patrilineal). Berdasarkan garis patrilineal Toga Pakpahan sesuai dengan uraian
sebelumnya, memiliki 3 anak, yaitu 1) Hutaraja Pakpahan; 2) Hutanamora
Pakpahan; 3) Lumban Bosi Pakpahan.
Pengangkatan Anak
Dalam
budaya batak toba, diakui juga pengangkatan anak, yang dikenal dengan istilah mangain atau mangarajahon. Salah satu contohnya adalah pada Toga Gultom, sebagai
anak sulung Raja Sonang.
Anak
Toga Gultom disinyalir adalah 3 orang, yaitu
a) Gultom Hutatoruan; b) Gultom Hutapea; c) Gultom Hutabagot. Pada suatu
waktu, Hutabalian diain atau diangkat menjadi anak Toga Gultom. Pada Notulen Rapat Adat Negeri Gultom dalam
pemilihan Candidat Kepala Nagari Gultom pada tanggal 18 September 1936
dikedepankan :”Segala Jang Hadir Sama
Setoedjoe Menerangkan Bahasa Hoetabalian Boekan Anak Sedjati Dari Goeltom,
Hanjalah Anak Jang Diangkat, Sedjarahnja Doeloe Ada Lelaki Dihanjoetkan Aroes =
Badai Sampai Kepoelau Samosir Ini Dari
Mana Asalnja Tiada Tentoe, Lantas Ini Orang Selakoe Teman Manoesia Dipandang
Hingga Diangkat Goeltom Djadi Anaknja Yang Boengsoe. Boekan Sadja Bagian
Goeltom Memandang Hoetabalian Sebagai Adiknya, Djuga Toeroenan Sidari
(Samosir), Pakpahan Dan Sitindjak (Segala Toeroenan Si Toga Samosir) Sama Beradik
Pada Hoetabalian, Boleh Dibilang Hoetabalian Adalah Martabat Rendah, Keterangan
Ini Dikuatkan Oleh Candidaten Toeroenan Loembantoruan Hutapea Dan Radja-Radja
Serta Ketoea-Ketoea Toeroenan Hutabagot (2016 : 9 -10)”. Dengan adanya
kesepakatan tersebut, maka anak Toga Gultom menjadi 4, yaitu 1) Gultom
Hutatoruan; 2) Gultom Hutapea; 3) Gultom Hutabagot; 4) Gultom Hutabalian.
Raja Sitindaon
Membicarakan Keluarga Besar Raja Sonang umumnya, dan Toga Pakpahan, khususnya tidak lepas dari menghubungkannya dengan Raja Sitindaon. Istri dari Raja Sonang adalah Boru Sitindaon (Si Boru Oloan), yaitu putri dari Raja Sitindaon. Keturunan Raja Sitindaon secara patrilineal ada 3, yaitu 1) Omp Passalaut Sitindaon, keturunannya bermukim di Bonapasogit, huta si Bual-bual, Kecamatan Onan Runggu, Samosir; 2) Omp Pangahu Raja Sitindaon, keturunannya pada umumnya bermukim di Barus, Pakkat; 3) Omp Panganbintua Sitindaon, umumnya keturunannya bermukim di Pantai Parbubu/Tomok, Sagala, Sidamanik (Simalungun).
Berdasarkan Diksusi Penulis, dengan Tulang Charles Sitindaon, Ketua Perkumpulan Sitindaon & Boru Se Indonesia beberapa waktu yang lalu, istri dari Omp Toga Pakpahan (Generasi I Toga Pakpahan) adalah Putri dari Omp Passalaut Sitindaon. Dalam diskusi lanjutan Penulis dengan Tulang Magus Sitindaon (Sekjen Perkumpulan Sitindaon & Boru Sitindaon Se Indonesia) belum lama ini, bahwa istri Omp Parhuta Raja Pakpahan atau Huta Raja Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) adalah putri dari Ompu Raja Holbung Sitindaon (Dalam Verifikasi).
Sebagai anak dari Toga Pakpahan, keturunan Omp Hutanamora
Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan), yang menikah dengan Pinta Haumasom Br Simbolon, baik pada era
sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia serta saat ini, selalu memegang unsur
kepemimpinan di wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir. Hal itu
dimungkinkan karena jumlah penduduk dan wilayah Desa Pakpahan Kecamatan Onan Runggu tersebut didominasi
keturunan Hutanamora Pakpahan. Saat ini yang menjabat Kepala Desa di Desa
Pakpahan, adalah tetap berasal dari keturunan Hutanamora Pakpahan.
Garis silsilah Keluarga istri Omp Hutanamora Pakpahan, yaitu Pinta Haumasom Br Simbolon, merupakan anak bungsu dari
Toga Simbolon, yaitu Simbolon Hapotan, yang berasal dari Huta Marhuliang, Desa
Sigaol Marbun, Kecamatan Palipi, Samosir. Sampai saat ini perkampungan utama
atau perkampungan induk dari Simbolon Hapotan masih ada di Huta Marhuliang. Penulis sudah 2 kali berkunjung ke perkampungan Omp Pinta Haumasom Br Simbolon tersebut. Tulang Nasib Simbolon, yang saat ini masih bermukim di huta Marhuliang, adalah bagian dari hula-hula Omp Hutanamora Pakpahan, salah satu yang ikut dalam rombongan dari hula-hula Simbolon pada pesta Horja tugu parsadaan Hutanamora Pakpahan (Generasi II Toga Pakpahan) di Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir, pada tahun 1976 yang lalu.
Tugu Persadaan atau Tugu Persatuan
Hutanamora Pakpahan, terletak di dusun II Sosor Pasir, Desa Pakpahan, Kecamatan
Onan Runggu, Samosir. Tugu tersebut,
dibangun melibatkan kerjasama yang baik oleh
3 keturunan Hutanamora Pakpahan, yaitu 1) Ampanulampak; 2) Datu Ronggur
Diadji; 3) Porhas Manjunging. Pesta Horja Tugu Parsadaan Hutanamora Pakpahan
dilangsungkan pada tahun 1976. Adapun filosofi dari kerjasama itu menurut
penulis adalah adalah :”mangangkat rap tu
ginjang, manimbung rap tu holbung”.
Adapun persebaran perkampungan Toga Pakpahan di luar wilayah Desa Pakpahan, Kecamatan Onan Runggu, Samosir akan penulis bahas pada tulisan yang lain.
(*Penulis Adalah Seorang Advokat, Alumnus : Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar