Catatan
Budaya :
Masyarakat Hukum Adat sebagai Indikator
Silsilah
(Hutanamora Pakpahan Anak Toga
Pakpahan)
Oleh : Kardi Pakpahan*

“.......Tuat
na di dolok martungkothon sialagundi, adat (silsilah/Tarombo)
dohot uhum pinungka ni ompunta parjolo ihuthon hita sian pudi; tona
ima toto, poda ima sulu-sulu, patik ima tungkot, uhum ima lombu-lombu”.
Untuk
mengetahui silsilah dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba dapat dilihat
dari keberadaan masyarakat hukum adat nyang ada, seperti huta, desa, lumban. Dalam perkembanganya,
karena pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, maka masyarakat hukum adat
sudah sering dibagi ke kelompok yang lebih kecil yang memiliki hukum yang hidup
(living law) dalam menjalankan adat
istiadat atau memberikan sanksi sosial kepada anggota kelompoknya yang
melakukan penyimpangan (misalnya, kalau ada anggota masyarakat yang melakukan
perjinahan pada suatu masyarakat hukum adat, maka salah satu sanksi yang
diterapkan adalah sanksi “dipabali” dari adat atau mengeluarkan anggota
masyarakat yang melakukan penyimpangan
dari kelompok masyarakat hukum adat).
Kalau kelompok masyarakat hukum adat sudah terlalu besar penduduknya
dalam satu desa, maka kelompok
masyarakat hukum adat dapat
dibangun dalam satu atau dua atau lebih huta, satu atau lebih huta digabung
dengan lumban atau varian lainnya.
Sampai saat ini keberadaan masyarakat
hukum adat masih tetap eksis dan diakui
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diatur
pada pasal 18 ayat 2 UUD 1945. Disana dikatakan :”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indinesia yang
diatur dalam undang–undang”.
Untuk memahami pengertian masyarakat
hukum adat, dapat dipahami antara lain namun tidak terbatas pada pemaparan Prof
Dr Soerjono Soekanto, SH (2012 :43). Beliau
menyatakan :”masyarakat hukum adat adalah
Masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari
di Minangkabau, huta atau kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah
kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan
untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan
penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan
air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear,
matrilinear, atau bilateral mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama
berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan
dan hasil air, ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan
mereka berciri, Komunal di mana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu
mempunyai peranan yang besar”. Misalnya dalam salah satu masyarakat hukum
adat, jika ada orang tua yang meninggal, maka dalam rangka mendukung pemenuhan
adat “pasidung ari-ari”,
masing-masing anggota masyarakat) hukum adat mengumpulkan “guguan” berupa 2 kaleng beras.
Disamping faktor genealogis dan faktor
teritorial, adapun ikatan pemersatu atau bond
of union masyarakat hukum adat menurut Prof Dr Soepomo, SH (Bab-Bab tentang
Hukum Adat 1976 : 46) adalah genealogis
teritorial dan teritorial genealogis.
Maksud faktor geanealogis sebagai
faktor ikatan pemersatu atau sumber pembentukan dalam masyarakat hukum
adat adalah karena adanya hubungan
darah. Komunitas masyarakat pada masyarakat hukum adat terbentuk karena adanya
hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang lainya.
Terbentuknya masyarakat hukum adat
karena hubungan darah ini dapat dibagi 3, yaitu pertama, patrilinial, yaitu garis keturunan menurut garis bapak.
Masyarakat hukum adat seperti itu misalnya orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.
Bagi komunitas Batak Toba, marga adalah kelompok
kekerabatan menurut garis keturunan ayah, yang mengakibatkan garis silsilah
atau tarombo ditarik dari garis keturunan ayah.
Kedua, matrilineal, yaitu pertalian hubungan darah
dalam membentuk masyarakat hukum adat, seperti keluarga di Minangkabau.
Ketiga,
parental atau bilateral, yaitu pertalian hubungan darah dalam membentuk
masyarakat hukum adat yang didasarkan menurut garis keturunan Ibu dan Bapak, seperti orang-orang Jawa,
Sunda, Aceh, dan Kalimantan.
Dalam
konteks masyarak hukum adat pada komunitas Batak Toba, pada prinsipnya
terbentuk dikarenakan hubungan darah (genealogis). Memang ada peluang anggota
masyarakat di komunitas Batak Toba memasuki suatu masyarakat hukum adat karena
tempat tinggal atau faktor teritorial, seperti karena sonduk hela atau menantu pria tinggal di rumah mertua atau menantu
pria dapat warisan tanah/rumah di komunitas masyarakat hukum adat mertua. Bisa
juga pada bagian ini, karena peran sebagai pekerja. Misalnya, beberapa ASN atau
PNS pada komunitas masyarakat hukum adat di kampung halaman penulis, yaitu pada
komunitas Pinompar ni Ompung Raja Lubuk di desa Pakpahan Pangaribuan, ada juga
ASN dari daerah lain yang ikut bergabung, dalam bentuk ikut menjadi anggota Saparliatan atau menjadi kerabat dekat,
yang ikut juga menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak sebagai anggota
masyarakat hukum adat.
Toga
Pakpahan dari sisi tempat tinggal asalnya di kecamatan Onan Runggu Kabupaten
Samosir adalah sebuah masyarakat hukum adat yang terbentuk secara genealogis
atau terbentuk karena hubungan darah. Disamping, di tempat asalnya, dari Komunitas
masyarakat hukum adat Toga Pakpahan, seiring waktu, sudah membentuk beberapa kelompok masyarakat
hukum adat di daerah lainnya, seperti di desa Pakpahan di Pangaribuan, desa
Sampagul di Pangaribuan, desa Parulohan di Lintong Nihuta dan lain-lain. Tetapi
kalau mau mengetahui atau menyusun tarombo atau silsilah masyarakat hukum adat
asal Toga Pakpahan lebih tepatnya berangkat
dari tempat asalnya karena biasanya keturunan
Toga Pakpahan dari Generasi I sampai generasi III masih (pernah) tinggal di
sana, serta di sana masih didukung dengan pentunjuk lainnya yang bersesuaian,
seperti artefak atau tugu, pemakanan, penguasaan dan penggunan tanah, bangunan,
acara adat, maupun saksi-saksi.
Masyarakat
hukum adat asal Toga Pakpahan, sebagai Generasi I, yang memiliki 3 anak, yaitu 1)
Hutaraja Pakpahan (Parhutaradja); 2) Hutanamora Pakpahan (Simora); 3) Lumban
Bosi Pakpahan (Sibosi), sebagai Generasi II, sebagaimana dimuat pada Buku “Barita ni Datu Ronggur Diadji Pakpahan dohot
Tarombo ni Saluhut Pinomparna” (1969 : 9, 10 dan 56), yang disusun berdasarkan
Tarombo Toga Pakpahan yang disusun oleh seluruh keturunan Toga Pakpahan di
Pangaribuan pada tahun 1928 sewaktu Pemilihan Kampung Pormin, dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk penyusunan silsilah atau tarombo Toga Pakpahan,
terutama bagi keturunan dari Toga Pakpahan yang masih tinggal di tempat asal
masyarakat hukum adat Toga Pakpahan.
Sebagaimana
yang telah diketahui, masyarakyat hukum adat asal Toga Pakpahan, khususnya yang
tinggal di Sosor Pasir, Onan Runggu Kabupaten Samosir, sebuah tempat yang
indah, terletak di bagian bibir Danau Toba, saat ini, adalah Hutanamora Pakpahan,
khususnya dari garis keterunan Ompung Appanulampak Pakpahan dan di sana masih ada tanah parripean
(tanah ulayat) masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan yang pada kawasan
lahan tersebut juga didirikan Tugu Hutanamora Pakpahan pada tahun 1976,
terletak mual Simataniari dengan
pohon Ambasang milik Ompung Parbona Radja Pakpahan, ayah dari Ompung
Appanulampak Pakpahan, Ompung Daturonggur Diadji Pakpahan, Porhasmandjunging
Pakpahan.
Artinya
apa ? Hutanamora Pakpahan adalah salah satu anak Toga Pakpahan. Alasan
dikatakan demikian ? Sebagai sebuah masyarakat hukum adat asal, Hutanamora
Pakpahan memiliki hubungan darah (dengan orangtuanya), yaitu Toga Pakpahan,
karena menguasai dan menggunakan lahan atau tanah yang berasal dari orang tuanya
secara terus menerus atau bertahun-tahun. Pada umumnya, dari sisi konteks masyarakat
hukum adat Batak, anak (prialah) yang dapat menguasai dan menggunakan tanah dari
orangtuannya.
Pertanyaan
berikutnya, bagaimana kalau di lahan atau pada tanah masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan di Sosor Pasir, Onan
Runggu Kabupaten Samosir, ada pihak lain yang menggunakan sebagian tanah
bersama atau tanah parripean tersebut
? Sehubungan UU No.5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), juga mengakui
keberadaan hak ulayat (Vide : Pasal 2 dan 3 UUPA) dan azas pemisahan horizontal
atas tanah, maka masyarakat hukum adat Hutanamora Pakpahan, terbuka untuk meminta
atau menghimbau pihak lain yang menggunakan lahan tersebut mengosongkan lahan
terkait, dengan memindahkan bangunan atau mengosongkan tanah atau mencabut
tanaman jika tanah tersebut mau digunakan masyarakat hukum adat Hutanamora
Pakpahan.
Dari sisi
konteks masyarakat Hukum adat asal, Hutanamora Pakpahan merupakan salah satu
anak dari Toga Pakpahan. Dan berangkat dari uraian yang disampaikan di atas,
maka anak Toga Pakpahan itu terdiri dari 3, yaitu Hutaraja Pakpahan, Hutanamora
Pakpahan, dan Lumban Bosi Pakpahan.
Adapun uraian yang lainnya akan disampaikan pada Catatan
Budaya/Hukum berikutnya dan kalau ada masukan atau kritik terhadap catatan ini, dapat
disampaikan melalui email : dipapusat.1@gmail.com.
(*Penulis adalah
Seorang Advokat dan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
#HutanamoraPakpahan